JAKARTA, GRESNEWS.COM – Upaya sebagian warga untuk menggugat kewenangan Kepolisian Republik Indonesia dalam menerbitkan Rebuwes (dari bahasa Belanda rijbewijs) alias Surat Izin Mengemudi, gagal total. Alih-alih dikabulkan, Mahkamah Konstitusi malah (MK) memperkuat kewenangan Polri untuk menerbitkan SIM.

Majelis Hakim Konstitusi yang diketuai Arief Hidayat memutuskan untuk menolak permohonan uji materi atas UU Nomor 2 Tahun 2002 tentang Polri dan UU Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (UU LLAJ). "Mengadili, menolak permohonan pemohon secara seluruhnya," ucap Arief Hidayat saat membacakan amar putusan di muka persidangan MK, Senin (16/11).

Dengan diputuskannya gugatan uji materi UU Polri dan UU LLAJ itu artinya MK telah menyatakan bahwa kewenangan Polri dalam menerbitkan SIM, STNK, dan BPKB adalah perbuatan yang tidak melanggar konstitusi atau UUD 1945.Dalam pertimbangannya, Arief menyatakan, kepengurusan atau penerbitan SIM, STNK, dan BPKB yang dilakukan oleh Polri adalah salah satu tugas Kepolisian dalam rangka mewujudkan keamanan dan ketertiban masyarakat.

Selain itu, Hakim Manahan Sitompul menyatakan, kewenangan Kepolisian dalam melakukan identifikasi dan registrasi kendaraan melalui penerbitan SIM, STNK, dan BPKB adalah terkait dengan relevansi Polri sebagai institusi keamanan yang memiliki keahlian forensik kendaraan bermotor. "Terutama jika terjadi tindak kejahatan kendaraan bermotor," tegas Manahan.

Selain itu, menurut Manahan, permohonan pemohon dapat berpotensi menimbulkan kekosongan hukum. Alasannya, dalam permohonannya para pemohon dinilai tidak memiliki alasan yang cukup kuat untuk mengalihkan kewenangan Polri ini kepada lembaga atau instansi lain. Ia pun menyatakan, persoalan yang lebih penting hari ini adalah bagaimana mendorong Kepolisian agar dapat meningkatkan kualitas pelayanan registrasi kendaraan bermotor dan penerbitan SIM, STNK, dan BPKB.

"Mengalihkan kewenangan Kepolisian kepada instansi lain tidak dapat menyelesaikan masalah. Akan lebih baik, yang terpenting adalah meningkatkan pelayanan dalam registrasi kendaraan bermotor dan penerbitan SIM," Manahan menjelaskan.

Uji materi atas kedua UU tersebut diajukan oleh sejumlah Warga Negara Indonesia yaitu, Alissa Q. Munawaroh Rahman, Hari Kurniawan, Lutfi J.Kurniawan, Alvon Kurnia Palma, dan Dahnil Anzhar. Kesemuanya adalah warga Negara Indonesia yang mewakili penyandang disabilitas dan perwakilan Lembaga Swadaya Manusia (LSM) dengan mengatasnamakan dirinya Koalisi untuk Reformasi Polri.

Para pemohon mempersoalkan sejumlah Pasal yang terdapat dalam UU Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri) dan UU Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (UU LLAJ). Pasal yang dipersoalkan adalah, Pasal 15 Ayat (2) huruf b dan huruf c UU Polri serta Pasal 64 Ayat (4) dan Ayat (6), Pasal 67 Ayat (3), Pasal 68 Ayat (6), Pasal 69 Ayat (2) dan Ayat (3), Pasal 72 Ayat (1) dan Ayat (3), Pasal 75, Pasal 85 Ayat (5), Pasal 87 Ayat (2) dan Pasal 88 UU LLAJ.

Mereka menganggap kewenangan Polri dalam menerbitkan SIM, STNK dan BPKB bertentangan dengan Pasal 30 Ayat (4) UUD 1945 yang menyatakan polisi sebagai alat keamanan negara yang bertugas melindungi dan mengayomi masyarakat. Pemohon juga menilai kepolisian tidak berwenang mengurus administrasi penerbitan SIM, STNK dan BPKB namun hanya sebatas mengamankan dan menertibkan masyarakat.

KONTROVERSI KRIMINALISASI – Para pemohon menyatakan kekecewaannya atas putusan Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi (MK) ini. Kuasa hukum para pemohon, Erwin Nastomal Oemar mengatakan, mahkamah tidak memperhatikan argumentasi para pemohon dan ahli yang sempat diajukan para pemohon.

Ia menjelaskan, di sejumlah negara maju, penerbitan SIM, STNK, dan BPKB di bawah kendali Departemen Perhubungan. Ia pun menyesalkan putusan MK yang seolah-olah menafsirkan Departemen Perhubungan tidak memiliki kemampuan dalam mengelola administrasi kendaraan bermotor seperti yang diajukan oleh para pemohon. "Padahal praktik di banyak negara, seharusnya ditangani oleh mereka (Dephub)," katanya memaparkan.

Selain itu, Erwin juga menyayangkan proses persidangan uji materi yang sempat diwarnai pemanggilan sejumlah kuasa hukum para pemohon dan para pemohon oleh pihak kepolisian terkait dengan adanya dugaan pemalsuan tandatangan kuasa hukum para pemohon atas berkas pengajuan uji materi tersebut.

Menurut Erwin, proses pemanggilan pihaknya oleh aparat kepolisian pada sekitar persidangan kelima telah mengganggu konsentrasi kuasa hukum pemohon principal. Pasalnya, Kepolisian adalah pihak terkait dalam pokok uji materi yang diajukan oleh Koalisi Masyarakat untuk Reformasi Polri itu. "Soal adanya konflik interest juga tidak dijelaskan oleh MK sebagaimana yang kita mintakan. Tentu kita kecewa ya dengan proses persidangan ini ya," tegas Erwin.

Sementara, Kepala korlantas Mabes Polri, Inspektur Jenderal Pol. Condro Kirono mengapresiasi putusan MK tersebut. Ia mengaku dengan putusan MK ini pihaknya akan meningkatkan kualitas pelayanan terkait dengan penerbitan SIM, STNK, dan BPKB yang menjadi tanggung jawab jajarannya.

Ketika disinggung apakah Kepolisian akan melanjutkan pemeriksaan terhadap sejumlah kuasa hukum pemohon dan para pemohon terkait dengan dugaan pemalsuan tandatangan pada berkas permohonan uji materi kasus ini, Condro pun enggan menanggapi pertanyaan tersebut.

Ia pun lanjut memaparkan rencana peningkatan kualitas pelayanan untuk pembuatan SIM bagi penyandang disabilitas yang menjadi salah satu poin permohonan para pemohon. Menurut Condro, pihaknya sudah berkoordinasi dengan YPAC di sejumlah kota seperti Ibukota Jakarta, Solo dan Malang.

"Jenis model spek kendaranan seperti apa yang bisa kita adakan untuk para disabilitas di daerah, itu kan disesuaikan dengan kebutuhan. Makanya untuk itu (disabilitas) kita kordinasi dengan YPAC," kata Condro Kirono sebelum meninggalkan Gedung MK.

Diketahui sebelumnya, pada persidangan Kamis (22/10) lalu, kuasa hukum para pemohon menyatakan keberatannya kepada Ketua MK Arief Hidayat atas pemanggilan penyidik kepolisian terhadap sejumlah kuasa hukum pemohon dan para pemohon uji materi UU Kepolisian dan UU LLAJ ini atas dugaan pemalsuan tandatangan dalam berkas perbaikan permohonan gugatan. Erwin menuding Hakim MK telah memfasilitasi kriminalisasi terhadap kuasa hukum dan para pemohon dalam kasus ini.

Alasan, pihak Kepolisian dalam kasus ini adalah pihak terkait (tergugat). Menanggapi sangkaan kriminalisasi itu, Ketua MK Arief Hidayat pun membantahnya. Menurut Arief, dipanggilnya para pemohon dan kuasa hukum pemohon merupakan tindak lanjut dari temuan di Persidangan dan bukan delik aduan atau aduan yang dilakukan oleh Hakim Mahkamah Konstitusi (MK).

"Tidak, tidak ada yang melapor dalam kasus ini. Ini temuan dalam persidangan bukan laporan," kata Ketua Hakim MK, Arief Hidayat menanggapi pertanyaan kuasa hukum para pemohon saat mengkonfirmasi kepada Majelis Hakim di ruang persidangan.

KEMAMPUAN POLRI – Pada persidangan sebelumnya, Polri menghadirkan sejumlah ahli untuk menguatkan pendapat soal kewenangan Polri dalam menerbitkan SIM, STNK, dan BPKB kendaraan bermotor. Juga terkait dengan kemampuan Polri dalam menjalankan tugas-tugasnya sebagai aparat penegak hukum di Indonesia.

Salah satu ahli yang dihadirkan Polri adalah Guru Besar Ilmu Hukum Universitas Gajah Mada (UGM) Marcus Priyo Gunarto. Di persidangan Gunarto mengatakan, kewenangan Polri dalam menerbitkan SIM, STNK, dan BPKB memiliki keterkaitan dengan tugas dan kewajiban Polri dalam menjalankan amanah Pasal 30 Ayat (4) Undang-Undang Dasar (UUD 1945) tentang menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat.

Menurut Gunarto, berdasarkan statistik kriminalitas, kendaraan bermotor merupakan objek dari kejahatan pencurian, dan kerap kali kendaraan bermotor juga sebagai alat untuk melakukan aksi kejahatan. Data di sejumlah kota besar menunjukan pencurian kendaraan bermotor menduduki peringkat atas dibandingkan dengan tindak kejahatan kriminal lainnya.

Ia mencontohkan, di DKI Jakarta sepanjang tahun 2014 kasus pencurian kendaraan bermotor tercatat sebanyak 3.162 kasus. Angka itu menduduki peringkat kedua setelah kasus pencurian dengan pemberatan (curat) lainnya yang tercatat sebanyak 3.515 kasus.

Sementara data di Poltabes Surabaya, pada tahun yang sama kasus pencurian kendaraan bermotor tercatat sebanyak 324 kasus, angka itu juga menduduki peringkat kedua setelah kasus pencurian dan pemberatan (curat) dengan total kasus sebanyak 520 kasus.

"Data tersebut menunjukkan bahwa di DKI pada tahun 2014, rata-rata setiap hari terjadi delapan samapai dengan sembilan curanmor. Dan di Polrestaber Surabaya, pada tahun yang sama, rata-rata terjadi satu kasus curanmor untuk setiap harinya," kata Gunarto.

Data statistik kriminal itu, menurut dia, belum sepenuhnya menjelaskan realitas kejahatan. Dan itu juga belum termasuk data kasus kriminal yang menggunakan kendaraan bermotor seperti tabrak lari, penjambretan, dan tindak kejahatan lainnya.

Ia menambahkan, fakta sosial yang menunjukkan banyaknya kasus pencurian bermotor dan penggunaan kendaraan bermotor untuk melakukan kejahatan harus disikapi melalui kebijakan pemberian wewenang yang mendukung penegakan hukum yang menjadi tugas Polri melalui keputusan politik untuk mempercepat, mengefektifkan, dan mengefisienkan tugas penyelidikan dan penyidikan.

Hal tersebut, menurut Gunarto, sesuai dengan prinsip open legislative policy yang dianut oleh Undang-Undang Dasar Tahun 1945. Dengan prinsip tersebut, pembentuk konstitusi telah mendelegasikan secara atributif kepada Presiden dan DPR untuk mengatur lebih lanjut mengenai penjabaran tugas keamanan, dan ketertiban masyarakat, dan penegakan hukum.

"Salah satu wujud penjabarannya adalah kewenangan regident ranmor (registrasi dan identifikasi kendaraan bermotor-red) dan penerbitan SIM kepada Polri," tegasnya.

Selain itu, kewenangan Polri dalam menerbitkan SIM, STNK, dan BPKB untuk kendaraan bermotor juga memiliki kepentingan sebagai data forensik kendaraan bermotor yang ada di seluruh Indonesia. Hal ini terkait dengan pengungkapan tindak kejahatan yang menggunakan kendaraan bermotor.

Fakta tersebut, kata Gunarto, telah terbukti dalam pengungkapan Kasus Bom Bali. Kasus Bom Bali yang semula diragukan, dapat terungkap karena nomor rangka dan nomor mesin kendaraan yang digunakan, dan sebelumnya telah dirusak oleh para pelaku. "Dalam waktu yang relatif cepat, dapat diketahui pelakunya oleh Polri, berhasil mengungkap nomor rangka dan nomor mesin yang telah dirusak dengan cairan kimia melalui metode penimbulan kembali," ungkapnya.

Dalam kesempatan yang sama, ahli lain yang dihadirkan oleh Polri, Profesor Yusril Ihza Mahendra mengatakan, yang dipersoalkan oleh para pemohon lebih pada keluhan atau ketidakpuasan para pemohon terhadap pelayanan aparat Kepolisian atau konstitusional complaint yang sebenarnya bukan menjadi ranah Mahkamah Konstitusi (MK).

Yusril juga menilai, kewenangan Polri dalam menerbitkan SIM, STNK, dan BPKB adalah ranah administrasi Negara yang tidak diatur secara spesifik dalam Undang-Undang Dasar 1945.

Hanya saja menurut Yusril, Polri ditunjuk oleh Pemerintah melalui UU Kepolisian untuk bertanggung jawab terhadap kewenangan tersebut dengan mempertimbangkan efektivitas, relevansi, dan akar historis penyelenggaraan administrasi pemerintah sejak zaman kolonial.

Ia menambahkan, jika registrasi diserahkan kepada Kementerian Perhubungan (Kemenhub) seperti yang diinginkan oleh para pemohon, hal tersebut tidak akan efektif karena Kemenhub terbentur dengan otonomi daerah yang membuat konektivitas aparat Dinas Perhubungan daerah terputus dengan daerah lainnya.

"Tidak ada network yang secara efektif yang dapat menghubungkan suatu dinas LLAJ di suatu daerah dengan daerah lainnya, sehingga negara akan mengalami kesulitan memiliki database kendaraan bermotor, apalagi melakukan identifikasi kendaraan bermotor yang tidak jarang terkait dengan kemampuan forensik yang sama sekali bukan keahlian dan kemampuan DLLAJ, terlebih lagi jika hal itu dikaitkan dengan upaya penegakan hukum dalam mengungkap terjadinya suatu tindak pidana atau kejahatan," kata Yusril memaparkan.

Dia menilai, Polri adalah instansi yang paling relevan untuk diberi kewenangan melakukan registrasi dan identifikasi kendaraan bermotor secara nasional. Dasarnya, Kepolisian tidak terbentur dengan otonomi daerah dan tetap sentralistik sampai sekarang. Selain itu, institusi Polri memiliki sistem kerja komando dari pusat hingga daerah-daerah terpencil, dan memiliki kemampuan melakukan uji forensik kendaraan bermotor dalam kaitannya dengan pengungkapan suatu tindak pidana. (Rifki Arsilan/Gresnews.com

 

BACA JUGA: