JAKARTA, GRESNEWS.COM - Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) meminta agar DPRD DKI Jakarta melanjutkan proses pembahasan Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) terkait reklamasi di Teluk Jakarta. Langkah Ahok untuk melanjutkan pembahasan raperda reklamasi ini menjadi kontroversi lantaran, dalam kajiannya, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menyatakan, proyek reklamasi masih menyimpan beberapa masalah.

Wakil Ketua KPK Laode Muhammad Syarief menyatakan, proyek reklamasi Teluk Jakarta belum memenuhi beberapa kriteria. Pertama, reklamasi harus memiliki kajian lingkungan dan amdal (analisis mengenai dampak lingkungan) yang komprehensif sebelum suatu proyek dimulai. Kedua, proyek reklamasi tidak boleh bertentangan dengan sejumlah undang-undang seperti UU Lingkungan Hidup, UU Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil, UU Tata Ruang, dan lain-lain.

Ketiga, reklamasi harus memenuhi kriteria-kriteria sosial dan tidak mengorbankan atau merugikan rakyat kecil. Keempat, reklamasi harus diinisiasi oleh pemerintah dan harus dibangun untuk kepentingan publik dan bukan untuk menampung kepentingan orang per orang atau perusahaan-perusahaan tertentu saja.

Oleh karena itu, kata Syarif, reklamasi sebenarnya masih belum bisa dijalankan. "Yang jelas KPK memiliki kajian tentang reklamasi di Indonesia dan hasil kajian tersebut mengatakan bahwa setiap proyek reklamasi harus memenuhi kriteria-kriteria," kata Syarif, Rabu (12/10).

Para aktivis lingkungan pun menilai langkah Ahok untuk meneruskan pembahasan raperda reklamasi tak wajar. Perwakilan Eksekutif Nasional Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Edo Rahman menilai, selaku kepala daerah Ahok seharusnya mengetahui jika raperda itu masih mempunyai banyak ganjalan.

"Raperda yang bermasalah, baik dari segi aturan maupun dari segi prosesnya. Dampak dari itu adalah kasus suap yang menyeret anggota DPRD DKI dan juga salah satu pengembang juga jadi tersangka yang proses hukumnya sedang berjalan di pengadilan tipikor," kata Edo saat dikonfirmasi gresnews.com, Minggu (16/10).

Anggota dewan yang dimaksud Edo adalah Mohamad Sanusi, mantan Ketua Komisi D DPRD DKI Jakarta. Ia diduga menerima suap sebesar Rp2 miliar dari Presiden Direktur PT Agung Podomoro Land (APL) Ariesman Widjaja.

Selain itu, Edo juga meminta agar KPK mengusut tuntas perkara ini, termasuk tidak ragu untuk menjerat pihak eksekutif yang memang terbukti terlibat. "Dalam hal ini, kami juga mendesak pihak KPK untuk mengembangkan kasus ini hingga ke level eksekutif," terang Edo.

Tak hanya itu, Edo juga beranggapan, raperda hanya dianggap sebagai alat untuk menghalalkan aktivitas reklamasi yang sedang berlangsung. Padahal, para nelayan sedang memperjuangkan hidupnya dengan mencari keadilan di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN), Jakarta.

"Raperda ini hanya sebagai alat untuk meligitimasi aktivitas reklamasi yang sedang berjalan, meski nelayan muara angke dan Koalisi Selamatkan Teluk Jakarta juga sedang menempuh upaya hukum dan targetnya adalah pembatalan izin pelaksanaan reklamasi yang dikeluarkan oleh Pemprov DKI Jakarta," tutur Edo.

Edo dan para aktivis lingkungan mengaku tidak akan menyerah memperjuangkan penolakan reklamasi di Teluk Jakarta. Pihaknya akan terus memperjuangkan keadilan bagi masyarakat khususnya yang langsung terdampak bagi masyarakat seperti nelayan.

Perlawanan, kata Edo juga akan terus dilakukan melalui proses hukum yang berlaku. Jika Pemprov DKI Jakarta dan DPRD tetap akan menyetujui Raperda tersebut, pihaknya akan mengajukan uji materi di Mahkamah Konstitusi (MK).

"Kami juga tidak akan menyerah, meski pemerintah dan DPRD ngotot untuk tetap menyelesaikan ranperda tersebut, kami pasti akan melakukan uji materi atas kebijakan tersebut," pungkas Edo.

ALASAN AHOK - Sebelumnya diketahui, Ahok telah mengirim surat ke DPRD DKI untuk melanjutkan kembali Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) tentang reklamasi di pantai utara Jakarta. Ada dua Raperda yang kini pembahasanya hendak dilanjutkan yaitu Rencana Tata Ruang Kawasan Strategi Pantai Utara Jakarta dan Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. Awal mula pembahasannya sudah sejak tahun 2015.

Awalnya, Raperda ini diserahkan oleh Ahok ke DPRD DKI pada 23 April 2015 silam. Saat itu, namanya adalah Raperda Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil Tahun 2015-2035. Setahun berselang, Raperda tak juga disahkan dan tidak terdengar gaungnya.

Pada tahun 2016, DPRD DKI memasukkan Raperda ini menjadi 1 dari 23 target legislasi dewan di 2016. Hanya saja, Raperda tak kunjung disahkan dengan satu alasan: tidak kuorum.

Berkali-kali rapat membahas raperda terkait reklamasi hanya dihadiri tak lebih dari 50 anggota DPRD sehingga pembahasan urung dilanjutkan.Tak kunjung kuorum, akhirnya DPRD DKI malah memutuskan untuk menunda pembahasan raperda terkait reklamasi ini.

Pembahasan raperda terkait reklamasi yang tak kunjung selesai malah berujung ke kasus korupsi. Ketua Komisi D DPRD DKI, M Sanusi tertangkap tangan telah menerima suap dari PT Agung Podomoro Land. Uang sebesar Rp2 miliar diberikan terkait pembahasan raperda reklamasi.

Ahok sendiri menyatakan pihaknya memiliki dua alasan untuk meminta DPRD DKI Jakarta melanjutkan pembahasan raperda reklamasi. Pertama, DPRD DKI telah membahas hal tersebut namun tidak kunjung disahkan dengan alasan tidak kuorum.

Kasus tertangkapnya Ketua Komisi D DPRD M Sanusi yang diduga menerima suap Rp2 miliar dari PT Agung Podomoro Land juga turut menunda pembahasan raperda reklamasi. "Kita minta ke DPRD untuk selesaikan (raperda reklamasi). Kan dulu sudah ada pembahasan. Tinggal ketok (disahkan)," ujar Ahok di Balai Kota, Jalan Medan Merdeka Selatan, Jakarta Pusat, Kamis (13/10).

Alasan kedua adalah adanya pernyataan dari perusahaan pengembang reklamasi yang setuju dengan kontribusi tambahan 15 persen. "Sekarang semua pengusaha reklamasi di depan sidang sudah membuat pernyataan termasuk berita acaranya, kami sama sekali tidak keberatan dikenai kontribusi 15 persen. Berarti enggak ada masalah dong. Dulu kan alasan dewan bilang pengusaha keberatan. Ini kan enggak keberatan," ujar Ahok.

Terkait hal ini, Ketua DPRD DKI Prasetio Edi Marsudi mengatakan akan mengumpulkan fraksi-fraksi serta mengundang KPK dan penegak hukum untuk membahas raperda. "Dan kita akan mengundang juga istilahnya dari KPK dari Bareskrim dari Kejaksaan untuk menjaga gitu supaya yang bener, kan ini tidak ada masalah gitu," ujar Prasetio di Gedung DPRD, Jalan Kebon Sirih, Jakarta Pusat, Rabu (12/10). (dtc)

BACA JUGA: