JAKARTA,GRESNEWS.COM - Komisi VII DPR akan meminta  Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) melakukan audit investigasi terhadap Satuan Kerja Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas). Audit investigasi diminta menyusul adanya temuan ketidakwajaran dalam biaya konsultasi pengembangan lapangan gas bumi di Blok Masela Maluku senilai Rp3,8 miliar.

"Saya meminta  BPK  agar melakukan audit investigasi terhadap SKK Migas," kata Satya menanggapi hasil audit BPK terhadap laporan keuangan SKK Migas di Gedung DPR RI, Jakarta, Kamis (13/10).

Dalam Ikhtisar Hasil Pemeriksaan Semester (IHPS) I Tahun 2016 yang disampaikan kepada DPR, BPK memberikan opini tidak wajar terhadap laporan keuangan SKK Migas tahun 2015. Alasannya  ada dua kelemahan dalam laporan yang disampaikan SKK Migas diantaranya, BPK menilai pengakuan kewajiban diestimasi atas imbalan pascakerja berupa manfaat penghargaan atas pengabdian (MPAP), masa persiapan pensiun (MPP), imbalan kesehatan purna karya (IKPK) serta penghargaan ulang tahun dinas (PUTD) senilai Rp1,02 triliun tidak disetujui oleh Kementerian Keuangan.

Pengakuan kewajiban itu merupakan bagian dari persoalan pemutusan hubungan kerja atau PHK yang dilakukan terhadap para pegawai Badan Pelaksana Kegiatan Hulu Minyak dan Gas (BP Migas) 13 November 2012 lalu.

Selain itu terdapat piutang abandonment & site restoration (ASR) kepada delapan kontraktor kontrak kerja sama (KKKS) senilai Rp72,23 miliar yang belum dilaporkan. Padahal kewajiban pencadangan ASR telah diatur dalam klausul perjanjian atau production sharing contract.

Sementara dalam paket pemeriksaan dengan tujuan tertentu (PDTT) terkait perhitungan bagi hasil dan komersialisasi minyak dan gas, BPK menyatakan pembebanan cost recovery tidak sesuai ketentuan yakni Peraturan Pemerintah (PP) No 79/2010 tentang Cost Recovery. Permasalahannya antara lain koreksi perhitungan bagi hasil minyak dan gas sebesar ekuivalen Rp2,56 triliun.

Selain itu BPK juga mempermasalahkan penunjukan SKK Migas terhadap konsultan independen untuk mengevaluasi pengembangan Blok Masela. Penunjukan langsung terhadap PT Synergy Energi (SE) yang kemudian menunjuk konsultan asing Poten and Partner (PP) itu dinilai tidak sesuai aturan. Disebutkan penunjukan ini berdasarkan proses seleksi tim counterpart,  yang terdiri dari Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Dirjen Migas, dan Kepala SKK Migas selaku Tim Pengarah.

Namun BPK menemukan fakta berbeda, dari proses seleksi Tim Counterpart tanggal 3 November 2015 tidak disebutkan Synergy turut diundang dan melakukan penawaran. Tim itu hanya mengundang enam konsultan internasional, antara lain WoodMackenzie, IHS, Black & Veatch, Fluor, Poten, serta DNV GL.

Berdasar dokumen penawaran, Poten menawaran pekerjaan itu senilai US$ 249 ribu,  DNV GL sebesar Rp 8,83 miliar, serta WoodMackenzie Rp 4,05 miliar. Belakangan Poten memasukkan patner lokal Synergi saat proses seleksi sudah berjalan dan penawaran awal sudah dimasukkan.

BPK menilai, penunjukan langsung tersebut tidak sesuai dengan ketentuan yang ada. Lembaga ini juga menilai proses seleksi konsultan tersebut oleh Tim Counterpart tidak sesuai dengan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 54 Tahun 2010 jo. Perpres 4 Tahun 2015 tentang Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah.

Pelimpahan pekerjaan utama oleh Synergy kepada subkontraktor, dalam hal ini Poten juga dinilai tidak tepat. Sebab  Synergy sebagai kontraktor justru hanya melakukan pekerjaan suporting data, sementara subkontraktor mendapat tugas utama memutuskan rekomendasi terbaik.Padahal sesuai Perpres 4/2015, penyedia jasa dilarang melakukan subkontrak pekerjaan utama.

Tak hanya meminta audit investigasi  DPR juga akan memanggil dan meminta keterangan pimpinan SKK Migas atas hasil audit tersebut.

Menanggapi temuan BPK ini, Serikat Pekerja (SP) SKK Migas justru mempertanyakan kualitas temuan dan standar yang digunakan auditor BPK dalam mengaudit laporan keuangan SKK Migas.

Menurut Ketua Umum SP SKK Migas Dedi Suryadi terjadi inkonsistensi terhadap hasil akhir audit BPK. Sebab, pada tahun-tahun sebelumnya hasil audit BPK dengan materi yang sama menyatakan penilaiannya Wajar Tanpa Pengecualian.

Ia menyebutkan, yang jadi audit finding antara lain hak-hak pekerja yang terdiri dari: penghargaan atas pengabdian, masa persiapan pensiun, imbalan kesehatan purna karya, penghargaan ulang tahun dinas, pencatatan pesangon, serta abandonment & site restoration. Ini menurutnya temuan rutin dari auditor sebagaimana tahun-tahun sebelumnya. "Temuan tersebut sudah kami jawab dan klarifikasi," katanya  melalui keterangan tertulis Jumat (7/10).

Kendati mengaku menghormati hasil temuan BPK Tersebut. Namun menurut Dedi,  Serikat Pekerja siap membawa hasil laporan BPK ini menjadi seperti laporan "RS Sumber Waras".

KAJIAN ECEK-ECEK - Menurut Direktur Eksekutif CERI (Center of Energy and Resources Indonesia) Yusri Usman selain proses tunjuk langsung yang dianggap penyimpangan dari aturan yang ada. Ia juga melihat ada persoalan lain dalam penunjukan konsultan itu. Sebab diketahui yang dikaji konsultan itu berdasarkan data-data yang dibuat dan diusulkan oleh Inpex Masela dalam POD (Plan of Development). Inpex adalah kontraktor karya yang memperoleh hak pengelolaan lapangan gas abadi Masela.  

"Akibatnya hasilnya tetap skema offshore yang direkomendasikan, hal ini mengesankan studi yang dilakukan ecek ecek saja dan membuang uang negara secara sia-sia. Mau 10 sampai 100 konsultan yang mengevaluasi, ya tetap begitu hasilnya" ujarnya

Dia menambahkan, seharusnya konsultan yang ditunjuk melakukan pencarian data dari sumber yang berbeda untuk  membandingkan data yang berasal dari Inpex. Selain akan memberikan hasil yang objektif dan secara keilmuan dapat dipertanggungjawabkan.

Namun belakangan Presiden justru memutuskan skema di darat. Skema itu justru dianggap menguntungkan karena akan memberikan efek berantai baik bagi penerimaan negara dari industri turunan.

"Dan menyerap lebih banyak tenaga kerja dan menjadi pusat pertumbuhan ekonomi baru dikawasan sekitar Masela," jelasnya.

BACA JUGA: