JAKARTA, GRESNEWS.COM – DPR telah memasuki babak akhir pembahasan Rancangan Undang Undang Pemilihan Kepala Daerah (RUU Pilkada). Tinggal selangkah lagi, RUU ini akan menjadi undang-undang setelah diparipurnakan. Salah satu poin yang diatur dalam aturan itu adalah mekanisme penyelesaian sengketa Pilkada.
 
Dalam RUU itu disebutkan, semua hal yang terkait dengan penyelesain hukum diatur dalam satu bab khusus. Diantaranya meliputi pelanggaran administrasi, pidana sengketa pilkada hingga perselisihan hasil pilkada. Khusus perselisihan pilkada, kata Ketua Panitia Kerja RUU Pilkada Abdul Hakam Naja, disebutkan perselisihan hanya bisa ditempuh jika gugatan berpotensi mengubah hasil pemenang.
 
"Dalam aturan itu disebutkan, perselisihan pilkada hanya bisa ditempuh kalau hasil perolehan suara yang bersengketa pilkada selisihnya maksimal 0,25%," jelas Hakam disela-sela Paripurna DPR, di Senayan, Jakarta, Kamis (25/9).
 
Kemudian, terkait lembaga mana yang menangani, akan diserahkan kepada Mahakamah Agung ketika dalam penetapannya nanti yang disepakati adalah pemilihan kepala daerah secara langsung. Sedangkan jika yang disepakati pemilihan kepala daerah lewat DPRD maka mekanisme penyelesaiannya diserahkan ke pengadilan setempat.
 
Mahkamah Konstitusi (MK) telah memutuskan tidak lagi memiliki kewenangan untuk mengadili perkara Perselisihan Hasil Pemilu Umum (PHPU) Kepala Daerah. Meski demikian, untuk menghindari adanya kevakuman serta ketidakpastian hukum pasca putusan ini, dalam putusan itu juga disebutkan MK akan tetap melaksanakan kewenangan memeriksa, mengadili dan memutus perkara PHPU Kepala Daerah samapai terbentuk undang-undang yang memberikan kewenangan ini kepada suatu lembaga.
 
Dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) bersama Komisi III DPR pada Rabu (24/9) kemarin, MK sendiri sudah mengasumsikan tidak lagi menagani PHPU Kepala Daerah tersebut di 2015. Hal itu tercermin dari Rencana Kerja dan Anggaran MK Tahun Anggaran 2015 dengan tidak lagi mengalokasikan anggaran untuk penanganan perkara PHPU Kepala Daerah.
 
Disi lain, dalam keputusan keputusan yang dibacakan pada 19 Mei 2014 lalu itu, MK tidak secara eksplisit mengatakan kewenangan itu dikembalikan atau berada di bawah Mahkamah Agung (MA). "Sebelum ada undang-undang yang menetukan lembaga baru, MK tetap berwenang dan tidak boleh menolak," kata Pengamat Hukum Tata Negara Universitas Brawijaya Malang Muhammad Ali Syafaat kepada Gresnews.com, Kamis (25/9).
 
Hal itu, lanjut Ali, sesuai dengan keputusan MK yang dibacakan pada 19 Mei 2014 lalu. Sebaliknya, ia menyarankan agar presiden terpilih Joko Widodo dan anggota DPR periode 2004-2019 menyusun beleid itu secara lebih sistemik, terkait UU Pemilu, UU Pemerintahan Daerah dan UU Pemilukada.
 
Namun, kata dia, dengan ditetapkannya pemilihan bupati dan walikota melalui DPR, maka sengketa penyelesaian sengketa pilkada tidak memerlukan mekanisme dan peradilan sendiri. "Cukup melalui mekanisme hukum di pengadilan biasa," ujarnya.
 
Sebelumnya, anggota Koalisi Penyelamat MK yang juga peneliti Indonesian Legal Roundtable (ILR) Erwin Natosmal Oemar mengatakan, mau tidak mau DPR dan Presiden ke depan harus secepatnya membuat sistem dalam mengakhiri masa transisi itu.

"Kalau dalam masa dua tahun ini Presiden dan DPR tidak bisa merespon putusan MK tersebut dengan baik, maka untuk mengantisipasinya Presiden dapat mengeluarkan Perppu," ujarnya kepada Gresnews.com, Kamis (25/9).

BACA JUGA: