JAKARTA, GRESNEWS.COM - Konflik agraria di Karawang Jawa Barat antara warga dan petani pemilik tanah dengan perusahaan PT Sumber Air Mas Pratama (PT SAMP), perusahaan yang telah diakuisisi oleh perusahaan properti Agung Podomoro Land, kian memanas. Pengadilan Negeri Karawang mengancam akan mengeksekusi lahan seluas 350 hektare milik petani. Namun petani menolak dan siap melawan.

Hal tersebut disampaikan kuasa hukum warga dan petani yang bersengketa, Yono Kurniawan, kepada Gresnews.com, Senin (9/6). Yono mengatakan hari ini warga dan petani dipanggil pengadilan. Mereka diberi opsi menyerahkan sukarela dengan kompensasi ganti sebesar Rp 3.000 per meter atau upaya paksa.

"Sangat tidak manusiawi, dan warga menyatakan menolak," kata Yono.

Kata Yono, selama ini yang berperkara hanya 84 warga dengan luas tanah 74 hektare. Warga itulah yang dinyatakan kalah di pengadilan. Hanya saja tanah yang akan dieksekusi seluas 350 hektare. Itulah yang ditolak warga.

Anggota DPR Komisi II Rahadi Zakaria yang ikut melakukan pendampingan menyatakan prihatin kasus sengketa agraria yang menahun ini. Tidak hanya petani yang rugi tetapi juga pengusaha.

Dalam banyak kasus agraria, kata Rahadi, petani dan warga selalu menjadi korban. Karena itu perlu dicari terobosan untuk menyelesaikan sengketa ini. Tidak hanya proses pengadilan semata dalam menyelesaikan kasus ini, pendekatan lain juga diperlukan.

Apalagi diketahui dalam sengketa ini, lahan yang bakal dieksekusi bukanlah lahan yang bersengketa. "Penegakan hukum perlu tapi jangan dieksploitir dan semena-mena kepada masyarakat," kata anggota Komisi II dari F-PDIP ini.

Karena itu rencana eksekusi lahan dengan cara paksa perlu dikaji ulang. Rahadi mendesak pengadilan menunda eksekusi hingga ditemukan titik temu dalam perkara ini. Semua pihak duduk bareng mencari solusinya. "Jangan dilakukan karena akan menimbulkan konflik di masyarakat, apalagi warga akan melawan," tegas Rahadi.

Hal yang sama dilakukan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM). Komnas HAM juga meminta kepada pihak pengadilan untuk menunda eksekusi terhadap  putusan PK dengan No.150 PK/PDT/2011, tanggal 25 Mei 2011 yang rencananya dilangsungkan dalam waktu delapan hari ke depan terhitung sejak Senin, 9 Juni 2014. Komnas HAM sendiri telah melakukan pertemuan dengan warga Karawang.

Kepala Biro Penegakan HAM dari Komnas HAM, Johan Efendi, yang turun langsung ke lokasi lahan sengketa untuk melakukan penyelidikan terkait pengaduan warga atas kasus ini.

Menurutnya, situasi politik menjelang pilpres ini sudah cukup panas, sehingga jangan lagi dipicu konflik dengan eksekusi terkait lahan ini. "Kami meminta kepada pihak pengadilan untuk menunda eksekusi ini. Suhu politik saat ini sangat panas menjelang pilpres, jangan lagi ditambah dengan konflik yang muncul apabila eksekusi dilakukan," tutur Johan di Karawang dalam keterangannya kepada Gresnews.com.

Johan menyampaikan, dari penyelidikan yang sudah dilakukan sebelumnya, ada fakta dan data-data yang terlewatkan oleh pengadilan dan juga pertimbangan-pertimbangan putusan yang dikeluarkan. Begitu juga dengan fakta-fakta baru yang ditemukan. Untuk itu, pihaknya akan melakukan pemeriksaan dokumen-dokumen yang  didapat dengan dokumen-dokumen yang ada di pengadilan, karena diduga banyak pemalsuan, sehingga harus dibuktikan mana yang benar.

"Tujuan penyelidikan ini adalah untuk menemukan kebenaran hakiki, mulai hari ini kami akan keliling ke lembaga-lembaga terkait mengkroscek semua dokumen yang kini menjadi permasalahan atas sengketa lahan ini. Karena kedua pihak sama-sama mengklaim kepemilikan, begitu juga mengenai penundaan eksekusi akan kami bicarakan di sana," ujar Johan.

Selain itu, Johan juga beralasan bahwa penundaan ini bisa dilakukan, karena melihat masih ada proses hukum yang sedang berjalan yang berhubungan dengan kasus ini, sehingga menurutnya tidak serta-merta putusan PK tersebut langsung bisa dieksekusi. Pasalnya, warga juga memenangkan putusan PK dengan nomor yang berbeda namun dalam objek sengketa yang sama, dan ada beberapa proses hukum lain yang sedang dan tengah berjalan.  Sehingga jika eksekusi dilakukan tanpa ada solusi yang didapatkan para warga, akan menimbulkan masalah yang lebih besar lagi.

Johan mengaku belum bisa memberi kesimpulan maupun rekomendasi dari Komnas HAM untuk menanggapi kasus sengketa lahan ini. Terkait siapa pemilik dari tanah 350 hektare yang selama hampir 24 tahun menjadi persengketaan antara pihak warga dan pihak perusahaan. "Kami sudah bertemu dengan para warga, dan mendapat barbagai data baru," kata Johan.

BACA JUGA: