JAKARTA, GRESNEWS.COM - Sengketa tanah antara petani Karawang, Jawa Barat, dan salah satu perusahaan pengembang properti, PT Sumber Air Mas Pratama (PT SAMP), yang telah berlangsung selama 24 tahun itu kian runcing. Bahkan potensi konflik terbuka kian memanas. Baik petani maupun PT SAMP sama-sama mengklaim memiliki tanah seluas 350 hektare yang berlokasi di empat Desa; Margamulya, Wanakerta, dan Wanasari, Telukjambe Barat di Kabupaten Karawang. Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) merasa perlu untuk turun tangan langsung.

Wakil Ketua Komnas HAM bidang Eksternal, Dianto Bachriadi, mengatakan persoalan sengketa ini kian meruncing dan mengarah pada konflik yang makin besar. Komnas HAM perlu turun untuk menghindari dan mengantisipasi peluang konflik yang akan kembali muncul menyusul rencana eksekusi yang akan dilakukan pihak perusahaan. Pasalnya, konflik antara masyarakat dan pihak perusahaan, sudah kerap terjadi atas kasus tersebut.

Terakhir aksi penutupan jalan Tol, yang mengakibatkan kerugian dari berbagai pihak.  Tidak terbantahkan, korban jiwa bisa terjadi jika ini tidak diantisipasi.  "Peluang konflik yang besar akan muncul jika tidak diantisipasi," ujar Dianto di Jakarta, Minggu, (8/6).

Terkait permasalahan ini, Dianto mengatakan akan melakukan empat hal penting. Pertama, Komnas HAM akan melihat dan meneliti kembali berbagai putusan yang dikeluarkan oleh pengadilan terhadap objek sengketa berupa tanah yang disengketakan oleh para pihak, baik petani maupun perusahaan. Karena banyak putusan yang tumpang tindih dari pengadilan tingkat tinggi higga putusan MA dalam objek sengketa yang sama.

Kedua, Komnas HAM akan memeriksa kembali dokumen-dokumen kepemilikan tanah yang diklaim oleh perusahaan dan juga para petani. Serta meminta BPN untuk membuka dokumen tersebut. "Kami akan meminta BPN memberikan penjelasan kepada kami, mengenai kepemilikan tanah yang kini masih tidak jelas hingga sekarang,"imbuhnya.

Ketiga, Dianto menyesalkan berbagai putusan pengadilan yang dihasilkan baik dari tingkat pengadilan tinggi hingga Mahkamah Agung. Pasalnya, putusan itu tidak berdasarkan pada pertimbangan yang manusiawi dengan melihat kondisi sosial dan ekonomi masyarakat setempat. Bahwa di sana banyak warga dan petani yang menggantungan hidupnya dari lahan tersebut. Sebelum eksekusi dilakukan harus mengacu pada hal tersebut, sehingga tidak menimbulkan dampak yang semakin serius terhadap masyarakat disana.

Keempat, Dianto juga menyinggung aksi demonstrasi yang dilakukan masyarakat petani di sana yang terjadi hingga pada penutupan jalan tol. Menurutnya, kasus tersebut jangan dilihat sebagai sebuah kesalahan yang belakangan dilontarkan banyak pihak. Aksi itu, kata dia, bisa dilihat sebagai sebagai ekses yang timbul. Namun harus dilihat akar masalahnya. Masyarakat melakukan aksi merupakan sebuah ajakan kepada negara dan pemerintah agar hadir dalam permasalahan yang tengah mereka hadapi.

"Jika hal ini luput dari perhatian pemerintah dan negara. Bukan tidak mungkin kerugian yang lebih besar lagi akan terjadi, bukan hanya kerugian material yang sebelumnya telah terjadi dengan penutupan tol, tetapi bahkan akan menimbulkan korban nyawa sebagaimana yang terjadi pada kasus-kasus tanah yang banyak terjadi negeri ini," pungkasnya.

Kuasa Hukum warga petani pemilik tanah, Yono Kurniawan, mengatakan selama ini para warga dan petani sudah berkali-kali mendatangi berbagai instansi pemerintahan yang ada di Jakarta yang berhubungan dengan kasus ini. Mereka meminta perhatian dan bantuan permasalahan atas permasalahan yang tengah dihadapi. Diantaranya Badan Pertanahan Nasional, Mabes Polri, Kejagung dan Mahkamah Agung. Hingga pada akhirnya mereka pun mengadukan persolan ini ke Komnas HAM.

"Berbagai instansi telah kami datangi dengan ratusan petani pemilik tanah. Namun tidak ada yang menggubris, akhirnya kami meminta Komnas HAM untuk melindungi para petani yang tanahnya dirampas oleh perusahaan. Serta meminta Komnas HAM mengantisipasi konflik. Masyarakat di sini siap mati untuk mempertahankan tanahnya," ujar Yono Kurniawan.

Yono mengatakan konflik ini bermula ketika PT SAMP pada 1990 mengaku sebagai pemilik tanah yang didiami warga. PT SAMP mengaku telah membeli tanah tersebut dari PT  Makmur Jaya Utama tahun 1986. "Hanya saja perusahaan tidak bisa memberikan bukti kepemilikan tanah," kata Yono.

Dalam perjalanan kasus ini, terdapat empat putusan yang memenangkan petani dan warga. Sementara dari perusahaan juga terdapat putusan pengadilan yang memenangkannya dengan objek yang sama. "Dan yang menjadi persoalan, pengadilan Karawang akan memaksakan untuk mengeksekusi salah satu putusan, dan warga menolak," kata Yono.

BACA JUGA: