JAKARTA, GRESNEWS.COM - Kasus pengeroyokan dan pengrusakan rumah milik Direktur Galang Press Julis Felicianus oleh sekelompok orang tak dikenal menjadi coreng yang kesekian kalinya bagi rezim pimpinan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Hal itu menunjukkan, hingga menjelang akhir masa jabatannya SBY belum mampu dan menghapus segala bentuk intoleransi dan kekerasan berbasis agama.

Berbagai penyerangan dan kekerasan terus saja terjadi di berbagai daerah dan ditujukan terhadap kelompok-kelompok agama minoritas. Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (Elsam) berpendapat bahwa tindak kekerasan berbasis agama/kepercayaan yang dilakukan terhadap jemaat Ibadah Doa Rosario di Yogyakarta Kamis (29/5) kemarin merupakan pelanggaran terhadap hukum dan Konstitusi UUD 1945 yang menjamin setiap warga negara untuk beragama dan berkeyakinan tanpa ada gangguan dan halangan dari siapapun.

"Tidak  seorangpun atau kelompok manapun berhak untuk menghalang-halangi, apalagi membubarkan dengan kekerasan ibadah atau ritual agama atau kepercayaan kelompok lain," kata Adiani Viviana dari Elsam lewat pernyataan tertulis yang diterima redaksi Gresnews.com, Sabtu (31/5).

Adiani mengatakan, negara sebagai pemangku kewajiban atas penghormatan dan perlindungan hak asasi, berkewajiban mengusut tuntas tindakan anarki massa intoleran tersebut. Langkah-langkah konkrit harus ditempuh guna menjamin persamaan perlakuan terhadap tiap-tiap pemeluk agama.

"Selain mencegah peristiwa serupa terjadi di masa yang akan datang, negara dalam hal ini SBY harus memerintahkan Kapolri dan Kapolda DIY untuk memproses hukum secara tegas terhadap pelaku  yang melakukan tindak kekerasan yang terjadi pada hari dimana semua umat Kristen di muka bumi memperingati hari raya Kenaikan Isa Al Masih dengan damai," ujarnya.

Tindak kekerasan berbasis agama yang telah sering terjadi, memiliki pola-pola yang sama. Demikian juga pola penyelesaiannya. Aparat cenderung menyeret pelaku lapangan dengan hukuman ringan. Tanpa mengusut tuntas otak pelaku tindakan. Sebaliknya memperlakukan korban secara diskriminatif, bahkan mengkriminalisasi. Padahal, tidak ada kasus yang sama persis. Melainkan mirip. Sehingga tiap-tiap penyelesaian kasus berbeda-beda.

Elsam mendesak aparat penegak hukum meningkatkan dan mempertimbangkan rasa keadilan yang lebih. Salah satu faktor yang memicu berulangnya peristiwa-peristiwa intoleran adalah, karena gagalnya aparat penegak hukum dalam memeriksa kasus tersebut. "Pola itu seakan melegalkan dan melanggengkan kekerasan-kekerasan berbasis agama karena pelakunya bebas melenggang," kata Adiani.

Kebebasan menjalankan ibadah tiap-tiap orang sesuai keyakinannya secara terang dijamin dalam Konstitusi Pasal 29 ayat (2), UU No 39 Tahun 1999 tentang HAM Pasl 22 ayat (1), (2), dan (55). Negara juga telah memberikan jaminan kebebasan tersebut melalui Pasal 18 ayat (1) UU No 12 Tahun 2006 tentang Pengesahan ICCPR.

Pasal itu berbunyi: "Setiap orang berhak atas kebebasan berfikir, berkeyakinan, dan beragama. Hak ini meliputi kebebasan untuk memeluk suatu agama atau kepercayaan pilihannya sendiri dan kebebasan baik secara sendiri maupun bersama-sama dengan orang lain secara terbuka atau pribadi, menjalankan agama atau kepercayaannya dalam kegiatan beribadah, mentaati, mengamalkan dan pengajaran".

Deklarasi 1981 mengenai Intoleransi Agama menunjukkan bahwa diskriminasi tidak saja dilarang pada tingkat negara, tetapi juga pada semua tingkat masyarakat. Masyarakat harus menghormati dan memperlakukan mereka yang memiliki keyakinan berbeda.

"Kepolisian Daerah Yogyakarta harus menyelesaikan kasus ini dengan tegas, adil, tidak diskriminatif dan intimidatif terhadap korban dengan memperhatikan prinsip-prinsip peradilan yang adil," kata Adiani.

Aparat penegak hukum harus mampu melihat bahwa kasus ini bukan kasus kriminal semata. Namun di dalamnya terdapat masalah mendasar tiap-tiap manusia hak asasi beragama dan berkepercayaan.

Sementara itu, Wakil Kapolri Komjen Badrodin Haiti meminta agar jajarannya menangkap pelaku penyerangan rumah milik Julius Felicianus di Sleman. Dia juga berharap agar aktor intelektual di balik kasus tersebut diungkap tuntas.

"Saya sangat menyesalkan atas kejadian ini, oleh karena itu kasus ini harus bisa diungkap para pelakunya dan juga dibongkar motif dari para pelaku melakukan tindakan tersebut, termasuk aktor intelektualnya," tegas Badrodin kepada wartawan, Jumat (30/5) kemarin.

Bagi Badrodin, kasus penyerangan yang juga melukai salah seorang wartawan ini merupakan kasus yang sangat melukai semangat pluralisme bangsa Indonesia. Menurutnya, Polda DIY saat ini terus bejibaku melakukan penyelidikan terkait penyerangan.

Dia berharap jajarannya itu dapat segera menangkap dan mengungkap tuntas aksi kekerasan itu. "Semoga terungkap. Hal ini bisa menjadi bibit konflik yang dapat berkembang menjadi konflik komunitas, bila tdk bisa diungkap pelaku dan dicegah dimasa mendatang," ujarnya. (dtc)

BACA JUGA: