JAKARTA, GRESNEWS.COM - Pada hari Kamis 20 Februari lalu Pengadilan Tinggi Lampung memenangkan gugatan PT Aruna Wijaya Sakti/Central Proteina Prima (CPP) terhadap 400 pertambak plasma eks Dipasena. Putusan tersebut terbagi menjadi dua berkas masing-masing yang digugat adalah 200 petambak yaitu Putusan Nomor: 20/Pdt/2013/PT.TK jo.01/PDT.G/2012/PN.MGL dan Nomor 21/Pdt/2013/PT.TK jo. 04/PDT.G/2012/PN.MGL.

Masing-masing putusan dipimpin majelis hakim yang sama dengan komposisi berbeda, untuk Putusan dengan Nomor: 20/ Pdt/2013/PT.TK diketuai oleh Sulaiman dengan anggota Antono Rustono, dan Budi Setyono. Sedangkan Putusan dengan Nomor 21/Pdt/2013/PT.TK diketuai oleh Budi Setyono dengan hakim anggota Sulaiman dan Antono Rustono. Kedua putusan PT Lampung tersebut dalam amar putusan yang sama menerima banding dari PTAWS/CPP dan membatalkan putusan tingkat pertama di Pengadilan Negeri Menggala.

Majelis Hakim PT mengabulkan gugatan dari PT AWS/CPP dengan menyatakan Perjanjian Kemitraan Inti-Plasma adalah sah secara hukum. Juga menyatakan bahwa petambak telah melakukan wanprestasi dan Perjanjian Kemitraan Inti-Plasma berakhir dan putus dengan segala konsekuensi dan akibat hukumnya. Majelis hakim telah menyatakan tergugat masing-masing dalam gugatan dibebani hutang total sebesar lebih dari Rp13 miliar dan Rp13,8 miliar.

Jika tidak mampu membayar hutang masing-masing petambak maka PT. AWS/CPP berhak untuk menjual aset tambak udang milik petambak sebagai kompensasi hutang. Putusan ini dinilai tidak adil oleh para  petambak. "Substansi putusan tidak memperhatikan keadilan," kata Wakil Ketua Perhimpunan Petambak Plasma Udang Windu (P3UW) Lampung Thowilun kepada Gresnews.com, Senin (10/3).

Merujuk pada putusan PN Menggala sebelumnya, kata Thowilun, gugatan PT AWS/CPP seharusnya tidak diterima karena terjadi penggabungan gugatan yang salah dilakukan oleh PT AWS/CPP terhadap 200 tergugat petambak plasma dalam dua gelombang dengan total 400 tergugat petambak plasma. Namun majelis hakim tinggi menyatakan bahwa terdapat satu hubungan hukum yang sama dari beberapa subyek hukum yang saling terikat dalam Perjanjian Kerjasama Inti Plasma antara PT AWS/CPP dengan Petambak Udang.

Hal inilah yang menurut Thowiliun salah, karena alasan penggabungan gugatan tidak diperbolehkan salah satunya adalah karena pemilik obyek gugatan berbeda. "Dalam hal ini obyek gugatan adalah perjanjian kerjasama yang berbeda-beda faktanya antara satu dengan yang lain juga objek jaminan berupa tambak udang yang pasti berbeda satu dengan yang lain," ujarnya.

Bahkan subjek dalam gugatan memiliki fakta hukum yang berbeda baik fakta pelaksanan perjanjian maupun obyek perjanjiannya. Karena itulah kata Thowilun, majelis hakim PT Lampung telah membuat keputusan yang mengancam kemandirian petambak yang baru berjalan pasca PT AWS/CPP hengkang.

Putusan ini mengancam keberlanjutan cerita bahagia tentang kemakmuran dan kesejahteraan petambak udang eks Dipasena. "Kemandirian petambak udang untuk berusaha budidaya udang dengan cara mandiri yang berbeda dengan hubungan inti-plasma yang memperbudak dapat berakhir jika putusan PT Lampung berkekuatan hukum tetap," kata Thowilun.

Seperti dikatakan salah seorang petambak Arie Suharso dalam masa sengketa antara petambak dengan PT AWS/CPP, para petambak sebenarnta sudah mampu mengelola tambak secara mandiri. Untuk permodalan, setiap rukun warga mengumpulkan dana iuran yang besarnya Rp5 juta-Rp70 juta per petambak. Di wilayah RW Delta, tempat tinggalnya, kata Ari, ada sekitar 80 KK dengan jumlah petambak mencapai 2.000 orang. "Modal yang terkumpul bisa cukup besar untuk menghidupkan tambak," ujarnya kepada Gresnews.com.

Para petambak juga menggunakan metode sendiri seperti memberi pakan dan obat-obatan alami pada udang serta rasio pemberian pakan yang efisien sehingga hasil panen lebih meningkat. Dengan cara-cara seperti itu, petambak bisa menghasilkan keuntungan 3 kali lipat. Dengan modal antara Rp20 juta-Rp100 juta misalnya, para petambak kini bisa menghasilkan uang sebesar Rp60 juta-Rp300 juta per periode.


Satu periode pembibitan udang hingga panen memakan waktu antara 2,5-3,5 bulan. Dari menyebar 10.000 bibit, saat ini petambak bisa menghasilkan rata-rata 100 kilogram udang dengan harga Rp78 ribu-Rp80 ribu per kilogram dengan size standar 60 ekor udang per kilogram. "Kini semua hasil jerih payah itu terancam hilang, kami akan melawan," kata Arie.

Thowilun juga menyatakan para petambak akan melawan putusan PT Lampung. "Pengadilan Negeri Menggala telah nyatakan bahwa CPP grup telah ingkar janji, dan itu fakta yang terjadi dilapangan. Seharusnya pengadilan tinggi Lampung melihat kondisi yang sebenarnya, jangan asal ambil keputusan" ujar thowilun

Para petambak dalam waktu dekat akan mengajukan kasasi atas putusan PT Lampung. "Ini adalah satu bentuk pembuktian bahwa sesungguhnya masyarakat di bumi dipasena adalah masyarakat yang taat hukum," ujar Thowilun lagi.

Perkara yang membelit para petambak eks Dipasena ini memang sudah berlangsung lama sejak Dipasena masih dikuasai konglomerat Sjamsul Nursalim. Saat itu lewat PT Dipasena Citra Darmaja menjalankan pola kemitraan pengembangan tambak udang Bumi Dipasena di Kecamatan Rawajitu, Kabupaten Tulang Bawang, Lampung.

Masing-masing petambak mendapatkan sebuah rumah sederhana dan 2 petak lahan seluas 2000 meter persegi. Semua yang didapatkan petambak Dipasena tertanggung sebagai utang yang besarannya Rp165 juta untuk setiap petambak. Sistem pelunasannya dilakukan dengan pemotongan hasil panen 20% setiap usai panen. Utang tersebut diperkirakan akan lunas dalam 8 tahun.

Sayangnya pola kemitraan ini kemudian berantakan memasuki tahun 1997. PT DCD ternyata tidak transparan dalam mengelola keuangan para petambak. Saat itu budidaya petambak plasma berhasil, namun sudah berjalan 8 tahun lebih, utang yang ditanggung petambak tak juga lunas, bahkan jumlahnya bertambah. Perusahaan menganggap utang itu muncul akibat krisis moneter yang melanda pada tahun itu.

Di sisi lain para petambak merasa sudah melunasi kewajibannya karena selama 8 tahun itu terus mencicil sebesar 20% dari hasil panen. Namun bukannya keterbukaan yang diperoleh, perusahaan malah semakin menekan petambak. Perusahaan mulai menentukan sendiri harga beli udang dari para petambak dan menentukan harga produksi udang. Akhirnya para petambak pun mulai melancarkan protes.

Nasib para petambak terus terkatung-katung terutama setelah pada tahun 2000, Sjamsul Nursalim dinyatakan terlibat kasus korupsi Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI). Aset-aset milik Sjamsul disita termasuk PT DCD dan diambil alih oleh BPPN. Tanggal 24 Maret 2004, aset Grup Dipasena termasuk tambak Bumi Dipasena diserahkan kepada PT Perusahaan Pengelola Aset Negara (PT PPA). Dan pada September 2004 Dipasena dimasukkan dalam program revitalisasi yang merupakan amanat DPR.

Program revitalisasi ini juga menjadi program kerja 100 hari pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang saat itu baru saja terpilih. Lewat program revitalisasi itu, tambak Dipasena akan dipulihkan ke kondisi awal dengan cara memperbaiki pola kemitraan. Hubungan kerjasama anatara perusahaan sebagai inti dan petambak sebagai plasma diaktualisasikan dengan memperbaiki perjanjian kerjasama antara petambak dengan PT DCD.

Namun PT PPA kemudian pada 24 Mei 2007 menjual aset kredit dan saham Grup Dipasena kepada PT Central Proteina Prima (CPP Group). Penjualan ini sendiri menjadi kontroversial karena aset yang bernilai Rp2,388 triliun itu ternyata hanya dijual seharga Rp688 miliar.

PT CPP yang membeli aset itu adalah anak perusahaan Charoen Pokphand asal Thailand dan dalam perjanjian pembelian disebutkan sisa aset perusahaan sebesar Rp1,7 triliun dialokasikan untuk revitalisasi tambak selama 12 bulan sebagai kelanjutan amanat revitalisasi tahun 2004.


Sejak itu PT DCD sebagai inti digantikan oleh PT AWS/CPP dan perjanjian kerjasama dengan plasma ditandatangani pada 17 Desember 2007. Dalam perjanjian itu disebutkan PT AWS/CPP akan memberikan kredit kepada petambak dengan jaminan sertifikat para petambak. Sayangnya sejak awal perjanjian itu sudah tidak berjalan mulus karena PT AWS ternyata mangkir dari kewajiban.

Hingga awal tahun 2011 PT AWS/CPP hanya melakukan revitalisasi pada lima blok saja yaitu Blok 0, Blok 1, Blok 2, Blok 3 dan Blok 7. Itupun dilakukan bersama masyarakat. Sementara banyak petambak yang lahannya belum direvitalisasi menggantungkan hidup dari utang yang diberikan perusahaan sebesar Rp. 900 ribu perbulan sebagai Biaya Hidup Petambak Plasma (BHPP). Uang tersebut bukanlah pemberian cuma-cuma, namun menjadi tanggungan hutang petambak kepada perusahaan yang jumlahnya semakin besar.

Tak hanya itu, sebagian besar petambak yang tambaknya sudah direvitalisasi dan sudah berbudidaya merasakan kesewenang-wenangan perusahaan karena Sisa Hasil Usaha (SHU) dari penjualan udang yang telah dipanen tak dibayar oleh perusahaan. Seharusnya petambak menerima SHU 14 hari setelah masa panen, tetapi hingga Mei 2011 SHU petambak antara bulan Februari-April tak kunjung dibayarkan. Total SHU seluruh Petambak Plasma Bumi Dipasena yang belum dibayarkan kepada petambak mencapai sebesar Rp38 miliar.

Hal ini kemudian menimbulkan berbagai gesekan antara perusahaan dengan para petambak yang berjumlah sekitar 7.512 petambak. Para petambak menuntut pembayaran SHU namun tidak ditanggapi perusahaan. Sebaliknya PT AWS sendiri dengan alasan krisis global menghentikan program revitalisasi dan menaikkan harga pakan udang namun menetapkan harga beli udang sangat rendah.

Nasib petambak semakin suram karena kondisi pertambakan yang buruk membuat udang banyak yang terkena penyakit dan ekspor udang PT AWS ditolak di beberapa negara karena diduga mengandung antibiotik yang diberikan oleh PT AWS. Ketegangan makin memuncak ketika pada 11 Januari 2011 para petambak mendeklarasikan pemutusan hubungan kerjasama/kemitraan dengan PT AWS.

Pemerintah pun akhirnya turun tangan membenahi masalah ini. Pada 7 Februari 2011, Menteri Kelautan dan Perikanan, yang saat itu dijabat Fadel Muhammad membentuk tim untuk melakukan evaluasi terhadap kerjasama antara PT AWS dengan petambak.

Berbagai proses mediasi dilakukan untuk menyelesaikan masalah ini namun selalu menemui jalan buntu. Hingga akhirnya PT AWS/CPP mengajukan gugatan kepada para petambak. Pada tingkat pertama, upaya hukum PT AWS/CPP kandas karena majelis hakim PN Menggala, yang dipimpin oleh Ojo Sumarna, dengan anggota majelis Estiono, Siti Yutistia Akuan, memutuskan gugatan PT AWS/CPP tidak dapat diterima berdasarkan eksepsi dari tergugat.

Eksepsi yang dikabulkan oleh Majelis Hakim adalah karena terjadi penggabungan gugatan yang salah dilakukan oleh PT. AWS/CPP terhadap 200 tergugat petambak plasma dalam dua gelombang dengan total 400 tergugat petambak plasma.

Majelis hakim berpendapat bahwa satu gugatan mengandung satu kepentingan hukum, sehingga dalam satu gugatan tidak dibenarkan lebih dari satu kepentingan subjek hukum dan tidak dibenarkan secara hukum adanya generalisasi terhadap 400 tergugat atas dasar adanya perbuatan person tertentu dari para tergugat. Hal pentingnya adalah majelis hakim menitikberatkan kepada substansi keadilan dalam penyelesaian persoalan yang disengketakan oleh kedua pihak.

Dari pertimbangan hukum tersebut majelis hakim menyimpulkan tidak beralasan secara hukum 400 tergugat petambak plasma Bumi Dipasena ditarik sebagai para tergugat dalam satu gugatan. Kalah di PN, PT AWS/CPP kemudian melakukan banding ke PT Lampung dan akhirnya diputuskan menang. Inilah yang membuat para petambak Dipasena yang kini jumlahnya menyusut tinggal 6.900-an orang (dari sekitar 7.512 orang) resah bukan kepalang.

BACA JUGA: