JAKARTA, GRESNEWS.COM - Majelis Kehormatan Hakim (MKH) kembali menggelar sidang kode etik. Kali ini MKH mengadili para penegak hukum yang diduga menerima suap dan melakukan perselingkuhan.  

Dalam sidang MKH, Wakil Ketua Pengadilan Negeri (PN) Mataram Pastra Joseph Ziraluo mengaku sempat menerima uang senilai Rp20 juta dari Lina, pengusaha yang berperkara sengketa tanah pada tahun 2009 di tempatnya sebelumnya bertugas. Pastra sebelumnya adalah Ketua Pengadilan Negeri Pematang Siantar pada 2009.

Namun uang pemberian itu tak dinikmatinya melainkan langsung dikembalikan pada Lina. Atas perbuatan itu, Pastra meminta diampuni dan diberikan hukuman seringan-ringannya.

Pengakuan itu disampaikan Pastra dalam sidang MKH yang dipimpin Komisioner Komisi Yudisial (KY) Eman Suparman dengan anggota Hakim Agung Djafni Djamal, Hakim Agung Soltony Mohdally, Hakim Agung Gayus Lumbuun, Komisioner KY Imam Anshori Saleh, Komisioner KY Taufiqurrahman Syahuri, dan Komisioner KY Jaja Ahmad Jayus, di Ruang Wiryono, Gedung MA, Jalan Medan Merdeka Utara, Selasa (25/2).

Sidang yang diawali dengan membacakan kronologi dan rekomendasi pemberhentian Pastra terkait dugaan suap sekitar pukul 09.00 itu sempat diskors hingga pukul 14.00 siang.

Sidang MKH tersebut digelar atas rekomendasi KY yang meminta pemecatan kepada Pastra atas perbuatannya melanggar kode etik sebagai hakim. KY merekomendasikan Pastra mendapatkan sanksi pemberhentian tetap tidak dengan terhormat sebagaimana diatur dalam Pasal 22 D Ayat (2) huruf C Angka 5 Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2011 tentang perubahan atas UU Nomor 22 tahun 2004 tentang Komisi Yudisial.

Pastra menjalani sidang ini setelah sebelumnya diperiksa KY sejak 2013. Namun, sebelum diambil keputusan resmi, MKH mempersilakan Pastra sebagai terlapor untuk melakukan pembelaan diri dalam sidang tersebut. Sidang merujuk pada Pasal 20 Ayat (6) Undang Undang (UU) Nomor 48 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas UU Nomor 2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum jo Pasal 23 Ayat (4) UU Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial, menentukan bahwa sebelum Mahkamah Agung dan/atau Komisi Yudisial mengajukan usul pemberhentian, hakim pengadilan mempunyai hak untuk membela diri di hadapan majelis kehormatan hakim.

"Sidang MKH hanya untuk hakim yang terancam dipecat untuk memberi kesempatan bagi hakim bersangkutan menjelaskan dan membela diri," kata Ketua Komisi Yudisial Bidang Investigasi dan Pengawasan Hakim Eman Suparman.

Dalam kesempatan yang diberikan itu, Pastra membantah telah menikmati gratifikasi senilai Rp20 juta dari pihak Lina. Ia mengaku uang diserahkan kuasa hukum Lina yang mengharapkan agar ruko milik pengusaha itu tidak disita. Pengacara tersebut datang ke kantor Pastra membawa uang tanpa diundang dan penjanjian sebelumnya. Sambil menyerahkan uang yang dimasukkan dalam kantong plastik hitam, pengacara itu meminta agar ruko milik kliennya, Lina, tidak disita.

"Tidak ada pembicaraan penawaran putusan seperti yang dituduhkan pada saya karena dia langsung pergi," ujar Pastra saat membacakan berkas pembelaan dirinya dalam sidang MKH. Dan pemberian itu, kata dia, tidak berdampak pada putusan perkara Lina.

Pastra mengaku uang sempat berada di kantornya beberapa hari dan tidak digunakan. Selanjutnya, ia bertemu dengan pihak Lina untuk mengembalikan secara utuh uang tersebut. Kasus ini tidak diberitahukannya kepada dua hakim anggota lainnya karena sudah dikembalikan dan menganggap kasusnya sudah selesai.

Namun, ia mengaku, dirinya melakukan kelalaiannya dan berjanji tidak akan menggulangi kejadian serupa yang akibatnya dirinya harus disidang oleh MKH. Pastra meminta diampuni dan diberikan hukuman seringan-ringannya.

Atas pengakuan wakil ketua PN Mataram tersebut, Eman Suparman memberikan apresiasi kepada terlapor mengakui. MKH akhirnya memberi vonis 6 bulan non palu kepada Pastra karena melanggar beberapa kode etik yang telah disepakati oleh MA dan KY.

Ada pun pelanggaran yang dilakukan Pastra adalah bertemu pihak berperkara dan menerima uang Rp20 juta dari pihak berperkara.

"Hakim tidak boleh meminta dan menerima baik janji, hadiah, hibah warisan dari seorang advokat, pihak berperkara, penuntut umum, orang yang sedang diadili, pihak yang punya kepentingan dan pihak yang kemungkinan akan diadili," ujar Eman.

Meski ada pelanggaran, majelis MKH hanya menjatuhkan sanksi 6 bulan skorsing dan tidak boleh terima tunjangan selama menjalani masa skorsing. Sanksi itu diberikan karena majelis menganggap Pastra mempunyai pembelaan yang cukup kuat sehingga hukuman pemecatan tidak terjadi pada Pastra.

Selain menggelar sidang etik atas Pastra, dihari yang sama MKH juga mengadili hakim PN Ternate M Reza Latuconsina terkait dugaan perselingkuhan. Sebelumnya Reza juga sudah menjalani pemeriksaan di KY. Oleh KY, ia direkomendasikan penjatuhan sanksi berupa pemberhentian dengan hormat tidak atas permintaan sendiri.

Reza diduga berselingkuh dengan istri orang berinisial SN atau SIN di rumah dinas kehakiman Ternate di RT 03/RW01 Kelurahan Salahuddin Kecamatan Ternate Tengah. Sidang MKH ini digelar sesuai dengan Pasal 20 Ayat 6 UU No 48/2009 tentang peradilan umum dan Pasal 23 ayat 4 UU No 22/2004 tentang Komisi Yudisial.

Sidang dipimpin ketua majelis Taufiqqurohman Sahuri dengan anggota Habiburrahman, Dudu Duswara, Abbas Said, Imam Anshori Saleh dan Ibrahim. Berbeda dengan sidang Pastra, sidang ini dilakukan secara tertutup karena merupakan perkara asusila.

BACA JUGA: