JAKARTA, GRESNEWS.COM - Putusan Pengadilan Tinggi Lampung hari Jumat (21/2) kemarin, benar-benar bak pukulan palu godam yang menyakitkan bagi para petambak eks Dipasena. Majelis hakim PT Lampung memutuskan untuk mengabulkan gugatan PT Aruna Wijaya Sakti (eks PT Dipasena Citra Darmaja-red) terhadap sekitar 400 petambak yang diklaim memiliki utang kepada PT DCD sebesar Rp165 juta per petambak. "Kita kecolongan, kasus ini diputus diam-diam saat kita sedang ada di luar kota," kata Ari Suharso, salah seorang petambak eks Dipasena, kepada Gresnews.com, Senin (24/2).

Kasus tersebut merupakan buntut perselisihan antara para petambak dengan perusahaan yang dulunya dimiliki oleh taipan Sjamsul Nursalim. Usaha pertambakan Dipasena sendiri dimulai sejak tahun 1989. Ketika itu Sjamsul Nursalim melalui Group Dipasena menunjuk perusahaan sebagai inti yaitu PT DCD untuk menjalankan pola kemitraan pengembangan tambak udang Bumi Dipasena di Kecamatan Rawajitu, Kabupaten Tulang Bawang, Lampung.

Usaha ini mulanya berjalan lancar. Tercatat, Dipasena berhasil menyumbang devisa sebesar US$3 jutadi tahun 1990-1991 dari hasil tambak itu. Keuntungan yang berhasil dicatat Dipasena pun sangat luar biasa. Tahun 1991 Dipasena mencatatkan keuntungan US$10 juta, disusul tahun 1992 sebesar US$30 juta. Puncaknya adalah tahun 1995-1998 dimana Dipasena membukukan penghasilan sebesar US$167 juta.

Petambak Dipasena tidak hanya berasal dari wilayah Lampung dan sekitarnya, tetapi juga dari berbagai daerah di Indonesia. Masing-masing petambak mendapatkan sebuah rumah sederhana dan 2 petak lahan seluas 2000 meter persegi. Semua yang didapatkan petambak Dipasena tertanggung sebagai utang yang besarannya Rp165 juta untuk setiap petambak. Sistem pelunasannya dilakukan dengan pemotongan hasil panen 20% setiap usai panen. Utang tersebut diperkirakan akan lunas dalam 8 tahun.

Sayangnya pola kemitraan ini kemudian berantakan memasuki tahun 1997. PT DCD ternyata tidak transparan dalam mengelola keuangan para petambak. Saat itu budidaya petambak plasma berhasil, namun sudah berjalan 8 tahun lebih, utang yang ditanggung petambak tak juga lunas, bahkan jumlahnya bertambah. Perusahaan menganggap utang itu muncul akibat krisis moneter yang melanda pada tahun itu.

Di sisi lain para petambak merasa sudah melunasi kewajibannya karena selama 8 tahun itu terus mencicil sebesar 20% dari hasil panen. Namun bukannya keterbukaan yang diperoleh, perusahaan malah semakin menekan petambak. Perusahaan mulai menentukan sendiri harga beli udang dari para petambak dan menentukan harga produksi udang. Akhirnya para petambak pun mulai melancarkan protes.

Nasib para petambak terus terkatung-katung terutama setelah pada tahun 2000, Sjamsul Nursalim dinyatakan terlibat kasus korupsi Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI). Aset-aset milik Sjamsul disita termasuk PT DCD dan diambil alih oleh BPPN. Tanggal 24 Maret 2004, aset Grup Dipasena termasuk tambak Bumi Dipasena diserahkan kepada PT Perusahaan Pengelola Aset Negara (PT PPA). Dan pada September 2004 Dipasena dimasukkan dalam program revitalisasi yang merupakan amanat DPR.

Program revitalisasi ini juga menjadi program kerja 100 hari pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang saat itu baru saja terpilih. Lewat program revitalisasi itu, tambak Dipasena akan dipulihkan ke kondisi awal dengan cara memperbaiki pola kemitraan. Hubungan kerjasama anatara perusahaan sebagai inti dan petambak sebagai plasma diaktualisasikan dengan memperbaiki perjanjian kerjasama antara petambak dengan PT DCD.

Namun PT PPA kemudian pada 24 Mei 2007 menjual aset kredit dan saham Grup Dipasena kepada PT Central Proteina Prima (CPP Group). Penjualan ini sendiri menjadi kontroversial karena aset yang bernilai Rp2,388 triliun itu ternyata hanya dijual seharga Rp688 miliar. PT CPP yang membeli aset itu adalah anak perusahaan Charoen Pokphand asal Thailand dan dalam perjanjian pembelian disebutkan sisa aset perusahaan sebesar Rp1,7 triliun dialokasikan untuk revitalisasi tambak selama 12 bulan sebagai kelanjutan amanat revitalisasi tahun 2004.

Sejak itu PT DCD sebagai inti digantikan oleh PT AWS/CPP dan perjanjian kerjasama dengan plasma ditandatangani pada 17 Desember 2007. Dalam perjanjian itu disebutkan PT AWS/CPP akan memberikan kredit kepada petambak dengan jaminan sertifikat para petambak. Sayangnya sejak awal perjanjian itu sudah tidak berjalan mulus karena PT AWS ternyata mangkir dari kewajiban.


Hingga awal tahun 2011 PT AWS/CPP hanya melakukan revitalisasi pada lima blok saja yaitu Blok 0, Blok 1, Blok 2, Blok 3 dan Blok 7. Itupun dilakukan bersama masyarakat. Sementara banyak petambak yang lahannya belum direvitalisasi menggantungkan hidup dari utang yang diberikan perusahaan sebesar Rp. 900 ribu perbulan sebagai Biaya Hidup Petambak Plasma (BHPP). Uang tersebut bukanlah pemberian cuma-cuma, namun menjadi tanggungan hutang petambak kepada perusahaan yang jumlahnya semakin besar.

Tak hanya itu, sebagian besar petambak yang tambaknya sudah direvitalisasi dan sudah berbudidaya merasakan kesewenang-wenangan perusahaan karena Sisa Hasil Usaha (SHU) dari penjualan udang yang telah dipanen tak dibayar oleh perusahaan. Seharusnya petambak menerima SHU 14 hari setelah masa panen, tetapi hingga Mei 2011 SHU petambak antara bulan Februari-April tak kunjung dibayarkan. Total SHU seluruh Petambak Plasma Bumi Dipasena yang belum dibayarkan kepada petambak mencapai sebesar Rp38 miliar.

Hal ini kemudian menimbulkan berbagai gesekan antara perusahaan dengan para petambak yang berjumlah sekitar 7.512 petambak. Para petambak menuntut pembayaran SHU namun tidak ditanggapi perusahaan. Sebaliknya PT AWS sendiri dengan alasan krisis global menghentikan program revitalisasi dan menaikkan harga pakan udang namun menetapkan harga beli udang sangat rendah. Nasib petambak semaki suram karena kondisi pertambakan yang buruk membuat udang banyak yang terkena penyakit dan ekspor udang AWS ditolak di beberapa negara karena diduga mengandung antibiotik yang diberikan oleh PT AWS.

Ketegangan makin memuncak ketika pada 11 Januari 2011 para petambak mendeklarasikan pemutusan hubungan kerjasama/kemitraan dengan PT. AWS. Pemerintah pun akhirnya turun tangan membenahi masalah ini. Pada 7 Februari 2011, Menteri Kelautan dan Perikanan, yang saat itu dijabat Fadel Muhammad membentuk tim untuk melakukan evaluasi terhadap kerjasama antara PT AWS dengan petambak.

Investigasi tim tersebut mengungkapkan PT AWS tidak mampu menjalankan kewajibannya kepada petambak, maupun menjalankan amanat pemerintah untuk menghentikan konflik dengan para petambak. Pada 29 Maret 2011 pemerintah membentuk tim terpadu yang akan memediasi perusahaan dan petambak plasma. Tugas tim tersebut adalah untuk memfasilitasi pencapaian solusi yang saling menguntungkan kedua belah pihak sesuai dengan Amanat Revitalisasi Dipasena Tahun 2004.

Pemerintah meminta kedua belah pihak menciptakan suasana kondusif, dengan tidak saling memaksakan kehendak. Pemerintah mengusulkan solusi melalui proses mediasi antara pihak PT. AWS/CPP dengan Petambak Plasma dalam waktu maksimal 45 hari. Hanya saja alih-alih melakukan mediasi PT AWS justru melakukan "perlawanan" dengan memutus aliran listrik secara sepihak di pertambakan Bumi Dipasena pada 7 Mei 2011.

Akibat pemadaman listrik tersebut 1.380 petambak plasma Bumi Dipasena merugi hingga Rp62,1 juta. Petambak pun kemudian mengadu kepada Komnas HAM pada tanggal 18 Mei 2011. Komnas HAM menduga telah terjadi pelanggaran HAM yang dilakukan oleh PT. Aruna Wijaya Sakti/CP Proteina Prima dan mendesak untuk segera mengambil tindakan yang diperlukan guna mengatasi masalah pemutusan aliran listrik bagi Petambak eks Dipasena. Sebaliknya, jika Perusahaan Inti/PT. AWS mengabaikan surat tersebut dengan tidak mengupayakan penyelesaian permasalahan ini dapat digolongkan sebagi pelanggaran hak asasi manusia, baik yang bersifat kesengajaan (by commmision) maupun pembiaran (by ommision).

Menteri Kelautan dan Perikanan RI juga mengupayakan untuk menyelesaikan permasalahan pemadaman listrik yang dilakukan oleh Perusahaan Inti PT. AWS.  Menteri Kelautan dan Perikanan mendesak kepada Menteri Keuangan RI; Menteri Pekerjaan Umum RI; dan Direktur Utama PT. PLN.

Desakan tersebut isinya: (1) bahwa telah terjadi indikasi perbuatan wanprestasi yang dilakukan oleh PT. AWS/CPP; (2) Meminta Kementerian Keuangan untuk mencari solusi berupa langkah strategis agar Revitalisasi Bumi Dipasena dapat terus berlanjut sehingga dapat menghindari dampak negatif bagi para pembudidaya dan kegagalan target produksi udang nasional dan ekspor udang; (3) Kementerian Pekerjaan Umum untuk memberikan dukungan perbaikan jalan di kawasan tambak; (4) PT PLN diharapkan sesegera mungkin memberikan sambungan listrik ke area Bumi dipasena yang diperkirakan sebesar 116.500.000 watt.


Pada 3 Agustus 2011 Fadel Muhammad serta Direktur utama PLN Dahlan Iskan meninjau langsung Bumi Dipasena yang terletak di pesisir utara Lampung. Fadel saat itu menjanjikan akan segera menindak perusahaan dan Fadel juga menjanjikan akan mejadikan Bumi Dipasena sebagai minapolitan udang. Konsep pengelolaan pertambakan udang secara mandiri oleh pemerintah dan petambak.

Sementara Dahlan berjanji mengembalikan operasional listrik di Bumi Dipasena dalam jangka waktu 3 bulan. Namun niat baik PLN pun kandas ketika jaringan PLN sudah sampai di gerbang Bumi Dipasena. Pihak perusahaan dengan alasan kawasan berikat yang didalamnya terdapat aset perusahaan tak begitu saja mengizinkan PLN masuk. Perusahaan meminta PLN terlebih dahulu membeli aset listrik milik perusahaan yang akan digunakan. Karena itu, hingga kini Dipasena masih gelap gulita tanpa dialiri listrik.

Pada 5 Agustus 2011 Komnas HAM melakukan langkah lanjutan dengan mengadakan mediasi antara Petambak Plasma Dipasena dengan pemerintah yaitu KKP, Pemprov Lampung, Pemkab Tulang Bawang, BPH Migas, PT. PLN, dan PT. Pertamina namun PT. AWS/CPP tidak hadir.

Mediasi tersebut menghasilkan delapan kesepakatan yaitu: (1) Pemberian bantuan benur senilai Rp 1,5 miliar oleh Kementerian Perikanan dan Kelautan; (2) Penyediaan listrik oleh PLN persero dalam tiga bulan ke depan; (3) Pemanfaatan infrastruktur listrik di areal tambak; (4) Mengubah pengelolaan Dipasena menjadi konsep minapolitan yang dimulai tahun 2011; (5) Menyepakati pemutusan hubungan kemitraan dengan CP Prima; (6) Jaminan pasokan bahan bakar minyak dan gas; (7) Meminta Menteri Keuangan mencabut status kawasan berikat Dipasena; (8) Komnas HAM akan memantau pelaksanaan kesepakatan itu.

Tindak lanjut terhadap hasil mediasi 5 Agustus 2011 di Lampung, Komnas HAM mengadakan mediasi lanjutan pada 4 Mei 2012. Dari mediasi tersebut, dihasilkan kesepakatan bersama terkait restrukturisasi utang petambak kepada perbankan. Dengan adanya komitmen petambak plasma untuk menyelesaikan hutang dan sambutan positif pihak perbankan, maka terjadi kesepakatan untuk merestrukturisasi hutang.

Petambak akan membayar semua kewajibannya kepada Bank Rakyat Indonesia (BRI) dan Bank Negara Indonesia (BNI), sebagai pemberi kredit usaha. Sementara itu, BRI dan BNI juga berkomitmen memberikan informasi dan data, terkait utang piutang petambak Bumi Dipasena.

Namun, sikap sebaliknya ditunjukkan oleh PT AWS/CPP dengan tidak menunjukkan itikad baik untuk menyelesaikan permasalahan. Perusahaan malah bersikukuh melanjutkan gugatan terhadap sekitar 400 petambak di PN Menggala tanpa memperhatikan keberlangsungan usaha pertambakan udang Dipasena, termasuk belum membayar SHU dari petambak yang berhak mencapai total sebesar kurang lebih Rp38 juta.

Upaya hukum PT AWS/CPP itu kandas karena majeli hakim PN Menggala, yang dipimpin oleh Ojo Sumarna, dengan anggota majelis Estiono, Siti Yutistia Akuan, memutuskan gugatan PT. AWS/CPP tidak dapat diterima berdasarkan eksepsi dari tergugat. Eksepsi yang dikabulkan oleh Majelis Hakim adalah karena terjadi penggabungan gugatan yang salah dilakukan oleh PT. AWS/CPP terhadap 200 tergugat petambak plasma dalam dua gelombang dengan total 400 tergugat petambak plasma.

Majelis hakim berpendapat bahwa satu gugatan mengandung satu kepentingan hukum, sehingga dalam satu gugatan tidak dibenarkan lebih dari satu kepentingan subjek hukum dan tidak dibenarkan secara hukum adanya generalisasi terhadap 400 tergugat atas dasar adanya perbuatan person tertentu dari para tergugat. Hal pentingnya adalah majelis hakim menitikberatkan kepada substansi keadilan dalam penyelesaian persoalan yang disengketakan oleh kedua pihak.

Dari pertimbangan hukum tersebut majelis hakim menyimpulkan tidak beralasan secara hukum 400 tergugat petambak plasma Bumi Dipasena ditarik sebagai para tergugat dalam satu gugatan. Kalah di PN, PT AWS/CPP kemudian melakukan banding ke PT Lampung, dan pada Jumat kemarin akhirnya diputuskan menang. Inilah yang membuat para petambak Dipasena yang kini jumlahnya menyusut tinggal 6.900-an orang (dari sekitar 7.512 orang) resah bukan kepalang.


Ari bercerita, dalam masa sengketa itu, sebenarnya para petambak sudah mampu mengelola tambak eks Dipasena itu secara mandiri. Untuk permodalan, setiap rukun warga mengumpulkan dana iuran yang besarnya Rp5 juta-Rp70 juta per petambak. Di wilayah RW Delta, tempat tinggalnya, kata Ari, ada sekitar 80 KK dengan jumlah petambak mencapai 2.000 orang. "Modal yang terkumpul bisa cukup besar untuk menghidupkan tambak," ujarnya.

Para petambak kemudian secara mandiri mencari bibit udang dari wilayah pantai utara Jawa, Kalianda (Lampung), Jawa Timur hingga ke Makasar. "Kami saat ini mengembangkan udang panami, yang hasilnya lebih bagus," kata Ari. Tak hanya bibit, mereka pun mengembangkan sendiri Standar Operasional Prosedur (SOP) pengelolaan tambak sehingga menjadi lebih ramah lingkungan.

Dahulu kata Ari, perusahaan mewajibkan petambak menggunakan obat-obatan kimia seperti dichlorfos, sulfat, dan sebagainya untuk membunuh penyakit dan udang yang tidak diharapkan. "Penggunaan obat kimia memang efektif, tetapi kami sadari efeknya berbahaya dalam jangka panjang," ujar Ari. Karena itu mereka saat ini menggunakan obat alami dari tanaman saponia untuk membunuh bibit penyakit.

Penggunaan pakan pun dibuat lebih efektif yang dulunya food consumption ratio (FCR) sebesar 1,6 persen, artinya untuk meproduksi udang sebanyak 1 kilogram memerlukan 1,6 kilogram pakan, kini FCR-nya hanya maksimal 1 persen. Pakan yang digunakan juga dari pakan alami seperti moluska, tetes tebu, dan dedak padi ketimbang pakan berbahan kimia yang dulu biasa disediakan perusahaan.

Dengan cara-cara seperti itu, petambak justru bisa menghasilkan keuntungan 3 kali lipat. Dengan modal antara Rp20 juta-Rp100 juta misalnya, para petambak kini bisa menghasilkan uang sebesar Rp60 juta-Rp300 juta per periode. Satu periode pembibitan udang hingga panen memakan waktu antara 2,5-3,5 bulan. Dari menyebar 10.000 bibit, saat ini petambak bisa menghasilkan rata-rata 100 kilogram udang dengan harga Rp78 ribu-Rp80 ribu per kilogram dengan size standar 60 ekor udang per kilogram.

Kini semua hasil jerih payah itu terancam hilang dengan dimenangkannya gugatan PT AWS oleh PT Lampung. "Karena salah satu materi gugatan itu adalah perusahaan akan mengambil alih aset milik petambak," kata Ari. Dia mengaku para petambak akan mempelajari dulu putusan itu sebelum mengambil langkah hukum berikutnya. Yang jelas bagi para petambak yang melakukan wanprestasi adalah pihak perusahaan. "Sampai sekarang mereka belum membayar SHU sebesar Rp38 miliar," kata Ari.

BACA JUGA: