JAKARTA, GRESNEWS.COM - Singapura masih menjadi surga bagi pada koruptor asal Indonesia. Buktinya selain kerap kali menjadi tempat parkir uang hasil korupsi plus melarikan diri bagi koruptor, Singapura juga menjadi tempat favorit para koruptor dalam melakukan transaksi suap. "Mereka transaksi di luar negeri, antara lain Singapura," kata Wakil Ketua Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) Agus Santoso, Selasa (31/12).

Agus mengatakan, menerima suap di luar negeri seperti Singapura dilakukan untuk menghindari penegak hukum. "Modus pejabat ketemuan di Singapura untuk terima suap menghindari KPK dan PPATK. Mulai dari kasus RR, RCA-AM-TCW, dan 5 hakim yang dipantau MA," katanya.

Selain itu para pejabat korup juga cenderung menggunakan mata uang asing dalam transaksi tunai tersebut dalam pecahan besar. "Misalnya dengan US$ pecahan 100 dan Singapore dolar pecahan 1.000 dan 10.000," ujar Agus menambahkan.

Pernyataan Agus Santoso bahwa negara seperti Singapura masih menjadi surga bagi para koruptor memang ada benarnya. Dalam kasus suap terhadap mantan Ketua SKK Migas Rudi Rubiandini oleh bos Kernel Oil dan Fossus Energy Ltd, Widodo Ratanachaitong misalnya, diketahui Rudi pernah bertemu Widodo di Singapura. Diduga pertemuan itu untuk membahas hal-hal teknis terkait penyerahan uang suap untuk memenangkan perusahaan milik Widodo dalam tender penjualan kondensat yang diadakan SKK Migas.

Pertemuan di Singapura itu terungkap dari sidang pembacaan dakwaan terhadap Komisaris Kernel Oil Indonesia Simon Gunawan. Dalam persidangan itu jaksa penuntut umum KPK Surya Nelli mengatakan Rudi bersama Deviardi bertemu Widodo pada tanggal 19 Juli 2013 di Hotel Fullerton Singapura. "Rudi Rubiandini dan Deviardi yang membicarakan teknis pemberian uang yang akan diberikan kepada Rudi Rubiandini," ujar Surya Nelli.

Dalam kasus penanganan sengketa Pilkada Kabupaten Lebak yang melibatkan Gubernur Banten Ratu Atut Chosiyah, mantan Ketua MK Akil Mochtar dan adik Atut Tubagus Chaeri Wardana, pembicaraan dan penyerahan uang suap juga diduga terjadi di Singapura. Atut, Wawan dan Akil diduga bertemu di Hotel JW Marriot Singapura untuk mengatur putusan perkara Pilkada Lebak. Ketiganya diketahui beberapa kali pernah melakukan perjalanan ke Singapura secara bersamaan meski menggunakan penerbangan yang berbeda.

Singapura menjadi tempat favorit para koruptor memang tidak mengherankan. Sejak lama negara mungil ini memang sulit bekerjasama di bidang penegakan hukum khususnya dengan Indonesia. Indonesia-Singapura sendiri berupaya bekerjasama dalam soal ekstradisi buronan hukum khususnya kasus korupsi sejak tahun 1974. Di tahun 2007 sempat ada terobosan dimana Singapura mau menandatangani perjanjian ekstradisi tersebut namun setelah itu Singapura tidak melakukan ratifikasi hingga kini.

Malah Singapura sempat menjadi masalah ini sebagai alat penekan Indonesia terkait perjanjian Defence Cooperation Agreement (DCA). Lewat DCA, Singapura menekan Indonesia agar dapat menggunakan wilayah Indonesia untuk menjadi basis pelatihan militer Singapura, sebagai balasannya Singapura akan meratifikasi perjanjian ekstradisi itu. Jelas saja Indonesia menolak proposal itu dan hingga kini masalah ekstradisi masih belum jelas juga.

Bahkan dalam  Sidang Umum Southeast Asian Parliamentarians Against Corruption (SEAPAC), tanggal 23-24 Oktober lalu, Singapura juga tidak hadir. Padahal forum itu penting untuk memuluskan kerjasama untuk menjerat koruptor di kawasan Asia Tenggara. Ketua DPR-RI Marzuki Ali ketika itu menjelaskan Singapura tidak datang karena ada ketentuan terkait Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Anti Korupsi (UNCAC) yang belum dijalankan Singapura. Khususnya mengenai pencucian uang dan ekstradisi pelaku korupsi.

Sikap mbalelo Singapura dalam menjalankan aturan hukum internasional inilah yang membuat negara itu makmur dari menikmati hasil parkiran dana haram dari negara lain khususnya Indonesia. Saat ini diperkirakan dana koruptor asal Indonesia yang parkir di Singapura mencapai US$162 juta atau sekitar Rp 1,87 triliun. (dtc)

BACA JUGA: