JAKARTA, GRESNEWS.COM - Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU KPK) telah mengatur ketentuan adanya mekanisme khusus bagi pimpinan KPK karena KPK merupakan lembaga yang memiliki kewenangan yang sangat besar. Konsekuensi mekanisme khusus tersebut yaitu adanya aturan pemberhentian sementara pimpinan KPK yang terjerat kasus pidana sesuai Pasal 32 Ayat (2) UU KPK. Meski Pasal tersebut terlihat sebagai konsekuensi dari mekanisme khusus, tidak dapat diabaikan pasal tersebut telah membuat KPK terguncang dan menghambat kinerja KPK ketika ada pimpinannya ditetapkan menjadi tersangka.

Dalam agenda pemberian keterangan dari pihak terkait atas pengujian Pasal 32 Ayat (2) UU KPK, Kepala Biro Hukum KPK Chatarina Muliana Girsang menjelaskan pasal tersebut memang harus dilihat dalam konteks adanya mekanisme khusus yang diberikan kepada pimpinan KPK. Sebab KPK merupakan lembaga memiliki kewenangan yang besar untuk menangangi pemberantasan korupsi. Dengan demikian, pimpinannya juga harus memiliki karakter bersih dan berintegritas dalam dirinya.

Tapi ia mengakui pada praktiknya pasal ini menjadi peluang menghambat kinerja dan upaya pemberantasan korupsi yang dilakukan KPK. "UU KPK tidak menguraikan lebih lanjut tindak pidana kejahatan apa yang dilakukan pimpinan KPK sehingga layak diberhentikan sementara dari jabatannya ketika menjadi tersangka," ujar Chatarina dalam keterangan di depan majelis hakim, gedung Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Kamis (26/3).

Tidak adanya detail penjelasan jenis tindak pidana dapat diartikan semua tindakan yang berdasarkan undang-undang dinyatakan kejahatan pidana akan membuat pimpinan KPK diberhentikan sementara sesuai pasal tersebut. Padahal dalam KUHP saja terdapat 33 kualifikasi tindak pidana kejahatan. "Itu pun belum termasuk tindak pidana lain yang tersebar di luar KUHP dengan kualitas ringan hingga berat," urai Chatarina.

Contoh tindak pidana dari ringan hingga berat misalnya pencemaran nama baik, perbuatan tidak menyenangkan sampai dengan pembunuhan, narkotika, korupsi dan tindak pidana lainnya. Lalu kelemahan yang terdapat dalam Pasal 32 UU KPK yaitu tidak diaturnya kriteria waktu dilakukannya tindak pidana (tempus delicti).

Selanjutnya, Pasal 1 angka 14 KUHAP terkait penetapan tersangka hanya mensyaratkan bukti permulaan. Bukti permulaan tersebut hanya didapat dengan adanya satu alat bukti sesuai Pasal 184 dan laporan polisi. Sehingga pihak yang merasa dirugikan dengan adanya pemberantasan korupsi oleh KPK berpeluang menyampaikan laporan pidana kepada polisi.

Akibat kelemahan-kelemahan Pasal 32 UU KPK itu, kata Chatarina, pimpinan KPK bisa dengan mudah diberhentikan sementara dan berpeluang mengganggu kerja KPK dalam pemberantasan korupsi meskipun tindak pidana yang dituduhkan berkualitas ringan. "Pasalnya, terlepas bila dalam penyidikan perkara dihentikan, ketika dalam proses pemberhentian sementara pimpinan KPK mengakibatkan KPK tidak dapat mengambil keputusan strategis. Sebab pengambilan keputusan bersifat kolektif kolegial untuk pimpinan KPK," ujarnya.

Chatarina menjelaskan dalam menjalankan tugas KPK menyelidiki, menyidik, dan menuntut diperlukan keputusan yang harus diambil. Sementara ketika pimpinan KPK diberhentikan sementara keputusan jelas tidak bisa diambil. Akibatnya berdampak pada hilangnya kepastian hukum terhadap seorang tersangka atau pihak yang terkait perkara di KPK.

Ia mencontohkan terdapat dua peristiwa yang berkaitan dengan penetapan tersangka pimpinan KPK. Pertama, penetapan tersangka pimpinan KPK dalam kasus Bibit-Chandra. Kedua penetapan tersangka pimpinan KPK Abraham Samad-Bambang Widjojanto. Terlepas dari kepastian kebenaran tuduhan tersebut, kejadian tersebut menurutnya telah menimbulkan guncangan dan hambatan terhadap kinerja KPK.

Menanggapi penjelasan Chatarina, Hakim Konstitusi Aswanto memberikan tanggapannya. Dia menuturkan sebagian besar norma yang tercantum dalam UU KPK betul-betul memastikan agar KPK bisa menjaring orang yang bersih. Seperti pada tahap rekrutmen terdapat penelusuran rekam jejak.

"Bahwa ada persoalan ketika rekam jejak belum ketahuan ada kasus. Lalu belakangan baru diketahui, apakah ini melemahkan KPK? Apakah dalam kondisi seseorang dinyatakan sebagai tersangka bisa mengambil keputusan obyektif? Menurut saya norma ini harus tetap dipegang teguh karena memastikan lembaga ini betul-betul clean ," ujar Aswanto pada kesempatan yang sama ditujukan pada Chatarina.

Menjawab pertanyaan Aswanto, Chatarina menuturkan pada proses penyusunan ia mengakui UU KPK ideal. Tapi pada praktiknya memang pimpinan KPK sangat mudah ditersangkakan. Ketika penetapan tersangka pimpinan KPK dikaitkan dengan proses fit and proper test yang belum maksimal, menurutnya hal tersebut bukan lagi menjadi tanggungjawab KPK secara lembaga.

"Tapi akibat proses seleksi yang tidak proper menyebabkan KPK menjadi tersandera. Sebab bukti permulaan begitu mudah. Sementara KPK harus kolektif kolegial dalam pengambilan keputusan. Ini yang menjadi sandera," ujar Chatarina.

Sebelumnya, pemohon dari Forum Kajian HUkum dan Konstitusi (FKHK) Victor Santoso Tandiasa mengajukan gugatan atas Pasal 32 Ayat (2) UU KPK. Pasal tersebut berisi ketentuan pemberhentian sementara pimpinan KPK ketika menjadi tersangka tindak pidana kejahatan.

Sementara dalam Pasal 184 KUHAP, penetapan seseorang sebagai tersangka hanya membutuhkan laporan polisi dan satu alat bukti. Ia menilai pasal tersebut membuat pimpinan KPK mudah diberhentikan sementara oleh presiden.

BACA JUGA: