GRESNEWS.COM - Masih soal pasal santet dalam Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), tetapi kali ini yang angkat bicara adalah Ketua Tim Perumus RUU KUHP itu: Prof. Andi Hamzah.

"Sebenarnya (pasal) santet sudah ada dari dulu namun anak-anak muda mengubah lagi sendiri," kata profesor hukum pidana Universitas Trisakti itu di Jakarta, Sabtu (23/3). Siapa anak-anak muda itu? Ya, para legislator di Senayan.

Sekadar menyegarkan ingatan, berikut ditampilkan lagi pasal-pasal santet yang bikin heboh itu dalam Bab V tentang Tindak Pidana terhadap Ketertiban Umum Pasal 293:

(1) Setiap orang yang menyatakan dirinya mempunyai kekuatan gaib, memberitahukan, memberikan harapan, menawarkan atau memberikan bantuan jasa kepada orang lain bahwa karena perbuatannya dapat menimbulkan penderitaan mental atau fisik seseorang, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 tahun atau pidana denda paling banyak Kategori IV;

(2) Jika pembuat tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 melakukan perbuatan tersebut untuk mencari keuntungan atau menjadikan sebagai mata pencaharian atau kebiasaan, maka pidananya ditambah dengan sepertiga."

Prof Andi berkata pasal-pasal itu sebenarnya bermaksud baik, yaitu, supaya orang jangan sampai ditipu oleh santet-santetan itu. Rakyat pula yang menjadi korban. Bagaimana pembuktiannya Prof?

Andi menjelaskan, pembuktian santet tak sesulit yang disebutkan oleh para anggota Komisi III DPR. Tak perlu ada ahli dalam santet. Andi bilang, "Ada penghasutan, menghina, langsung tindak pidana. Jadi yang harus dibuktikan itu adalah yang menawarkan jasa santet itu."

Prof Andi, yang mengaku tak percaya santet, meyakinkan kita semua bahwa tak ada pasal yang tak bisa dibuktikan. Soal pasal santet itu, katanya, sudah basi dibahas terus dari dulu. "Tiap ganti menteri selalu berubah, makanya tak pernah selesai," ujarnya.

Pendapat berikutnya datang dari ´praktisi´, paranormal yang juga politisi, yaitu Permadi Satrio Wiwoho, yang bergelar sarjana hukum Universitas Indonesia tahun 1965. Santet harus diatur secara keseluruhan, terutama perlindungan bagi dukun santet. Dukun santet itu justru tidak berkepentingan ketika melakoni aksi santet.

"Dukun santet melaksanakan tugas karena ada yang meminta. Yang nyuruh santet bukan hanya orang kampung, elite politik pun pernah menyuruh dukun santet untuk menyantet lawan politiknya. Tanya Ki Gendeng Pamungkas dan Ki Joko Bodo, siapa saja elite yang pernah pesan (santet)," ungkapnya.

Permadi makin serius mempersoalkan perlindungan hukum dukun santet. Pasal santet dalam RUU KUHP, katanya, masih menggantung. Tukang santet dikejar tetapi yang menyuruh santet justru didiamkan. "Di mana keadilannya?" tanya Permadi yang selalu berbusana warna hitam itu.

Makin ngeri keadaannya. Permadi bilang banyak orang yang akan merasa disantet maka makin banyak dukun santet dibunuh tanpa penegak hukum. "Ahli hukum harus yakin apakah santet itu ada atau tidak. Kalau sudah yakin baru dirumuskan, ajak orang yang mengetahui tentang santet, kalau tidak ini akan banyak penyelewengan," tegasnya.

Permadi pun ´bermaklumat´ bahwa santet sangat ilmiah dan bisa dibuktikan. "Ahli santet yang bisa membuktikan."

Senayan juga bicara. Politisi PPP Ahmad Dimyati Natakusumah berkata pembuktian santet sangat sulit. Meskipun dia mengakui praktik santet ini sudah menjadi mata pencaharian sebagian orang.

Dimyati menegaskan pasal santet dalam RUU KUHP hanya merupakan pasal ancaman bagi orang yang mempromosikan keahlian santet. Dia pun seolah mematahkan argumen Permadi bahwa sesungguhnya tidak akan ada main hakim sendiri terhadap dukun santet kalau pasal itu berlaku.

Namun, pengamat kepolisian Alfons Loemau berkata selama ini belum pernah ada tersangka kasus santet yang maju ke persidangan karena menyantet orang. Penyidikannya sulit, apalagi mencari saksi ahli. "Polemik ini tidak akan selesai," sergahnya.

Dia mengusulkan pasal santet itu masukkan saja ke pasal 378 KUHP tentang penipuan agar lebih mudah pembuktiannya. "Biar ada kepastian hukum," tegasnya. (LAN/GN-02)

BACA JUGA: