JAKARTA, GRESNEWS.COM - Kasus dugaan pencemaran nama baik yang diadukan oleh pakar hukum pidana Universitas Padjadjaran (Unpad) Bandung, Prof. Romli Atmasasmita, ke Badan Reserse dan Kriminal (Bareskrim) Mabes Polri terus berlanjut. Dua dari tiga orang yang diadukan, yakni aktivis Indonesia Corruption Watch (ICW) Emerson Yuntho dan Adnan Topan Husodo (satu orang lagi yang diadukan adalah mantan penasihat KPK Said Zainal Abidin), hadir memenuhi panggilan penyidik Bareskrim pada Senin (27/7). Namun, kehadiran mereka dalam kapasitas sebagai saksi, hanya untuk menyerahkan surat kepada penyidik yang berisi permintaan agar pemeriksaan ditunda dengan alasan menunggu keputusan Dewan Pers.

Kasus antara ICW vs Romli itu pun bergulir terus dan memanaskan jagat pemberitaan media massa. Awalnya, pada Kamis (21/5), pukul 13.00 WIB, Romli datang ke kantor Bareskrim Polri dan mengadukan ketiga orang tersebut. Dasarnya adalah dugaan pidana pencemaran nama baik sebagaimana diatur dalam Pasal 310 dan Pasal 311 KUHP (belakangan berkembang dugaan pelanggaran Pasal 27 Ayat (3) UU Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik) berkaitan dengan pernyataan ketiga orang tersebut di media massa yang mengomentari calon panitia seleksi pimpinan KPK. "(Pernyataan) tidak pantas menjadi Pansel KPK, buruk," kata Romli ketika itu.

Baca juga: Pencemaran Nama Baik dan Pengaduan Dewan Pers

Romli mengadukan tanpa didampingi kuasa hukum. Dia membawa bukti berupa artikel berita dari sejumlah media massa.

Salah satu pemberitaan dimaksud adalah sebagaimana dimuat di Harian Kompas Edisi Selasa, 19 Mei 2015, berjudul: Pansel Jangan Diisi Akademisi Pro Koruptor.

""
Kehebohan berlanjut. Tapi, mereka yang diadukan yakin bahwa tidak ada pencemaran nama baik terhadap Romli seperti dimuat dalam berita-berita di media massa. Pendeknya, mereka berpendapat tak ada pernyataan yang menunjuk langsung nama Romli.

"@emerson_yuntho: @romliatma ayo sebutkan 1 berita yg mengutip pernyataan langsung anggota ICW yg katakan bahwa anda koruptor? Ini asumsi atau terjemahan anda," demikian dikutip dari akun Twitter @emerson_yuntho pada Selasa, 26 Mei 2015.

""

BERITA YANG "MENGEJUTKAN" - Tapi, Senin (27/7) lalu, "cuaca" berubah. Informasi yang dihimpun oleh gresnews.com menyebutkan bahwa penyidik ternyata memegang bukti lain pemberitaan salah satu media online yang menunjukkan Emerson menuding langsung Romli. Berita dimaksud bersumber dari media online rimanews.com yang ditayangkan pada Selasa, 19 Mei 2015 pukul 08.43 WIB berjudul ICW Kritisi Tiga Nama Calon Pansel KPK.

Berikut seutuhnya berita tersebut:

Rimanews - Tiga nama yang masuk daftar calon panitia seleksi pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dituding berpotensi memiliki konflik kepentingan.  Tiga nama yang dimaksud adalah pakar hukum pidana Universitas Indonesia Romli Atmasasmita, ahli hukum pidana Universitas Khaerun Ternate Margarito Kamis, dan pakar hukum pidana Universitas Muhammadiyah Jakarta Chairul Huda.

Menurut Peneliti ICW, Emerson Yuntho, ketiganya bahkan tidak memiliki rekam jejak yang ideal dalam pemberantasan korupsi.

"Kita sudah pegang tiga nama terkait itu. Tiga nama itu akan kita sampaikan pada presiden besok. Kita berharap bahwa KPK juga aktif memberikan masukan mengenai rekam jejak dan kami sendiri masih mengumpulkan data tersebut," ujarnya, Selasa (19/5/2015).

Emerson berharap pansel KPK memiliki tiga kriteria yakni kualitas, integritas dan kredibilitas. Panitia seleksi harus jujur dan tidak berafiliasi politik dan yang paling penting lagi harus ada catatan rekam jejak sebelumnya.

"Dia sebagai apa dan apa yang pernah dia lakukan terkait dengan agenda-agenda antikorupsi atau justru sebaliknya dia terlibat untuk mendorong atau membela misalnya tindakan korupsi itu sendiri dalam berbagai kesempatan," bebernya.

"KPK penting mengawal siapa nama-nama pansel yang nanti akan memilih dan terpilih calon pemimpin KPK," tukasnya.

Selain ketiga orang tersebut, sederetan nama juga disebut menjadi daftar calon pansel. Mereka adalah mantan pimpinan KPK Tumpak Panggabean, pakar hukum tata negara Universitas Andalas Saldi Isra, pakar hukum tata negara Universitas Gadjah Mada Zainal Arifin Muchhtar, pakar hukum tata negara Refly Harun, mantan Wakapolri Oegroseno, mantan pimpinan KPK Erry Riyana Hardjapamekas, dan ahli tata negara Jimly Assidiqie.

SIAP PERANG - ICW rupanya siap berperang. Sejumlah langkah diambil. Koordinator Indonesia Corruption Watch (ICW) Adnan Topan Husodo menegaskan pernyataannya soal kelayakan Romli sebelum akhirnya Presiden Jokowi memilih srikandi Pansel KPK hanya untuk memastikan kualitas anggota tim pemilih capim KPK.

"Apa yang kita nyatakan di media massa tentu kita jalankan visi misi organisasi untuk mendorong agenda pemberantasan korupsi yang efektif. Itu yang kita pegang sebagai prinsip untuk menyatakan posisi ICW," kata Adnan Topan Husodo di kantor ICW, Jl Kalibata Timur, Jaksel, Selasa (26/5/2015).

"Dalam Pansel KPK, posisi kita sangat jelas bahwa orang yang telah jadi saksi ahli untuk kasus yang kita anggap berseberangan dengan agenda pemberantasan korupsi tentu tidak tepat. Itu berdasarkan fakta, kita tidak mengatakan sesuatu tanpa berdasarkan fakta," sambungnya.

Adnan menegaskan tidak pernah mempermasalahkan posisi pakar hukum sebagai ahli. Namun bila pakar itu duduk sebagai ahli yang dalam gugatan praperadilan yang berseberangan dengan penanganan perkara korupsi, maka tidak tepat bila menjadi anggota Pansel capim KPK.

"Kita tidak menggagap sebuah kejahatan (orang yang memberi pendapat) sebagai ahli di persidangan. Kita tentu dalam prinsip mendudukan orang-orang (untuk pansel) yang tidak pernah berinteraksi dengan kasus korupsi," tuturnya.

Pada 2 Juli 2015, Emerson dan Adnan melapor ke Dewan Pers. Pada 8 Juli 2015, keluar surat Dewan Pers yang menyatakan telah memeriksa pemberitaan di tiga media massa yakni Kompas, Tempo, dan The Jakarta Post.

"Secara jurnalistik, Dewan Pers tidak menemukan perbuatan penghinaan atau pencemaran nama yang dilakukan oleh koordinator atau staf ICW, karena tidak menyebutkan nama Prof Romli sebagai pelapor. Dari segi pers yang harus diperiksa, apakah tiga media tersebut melakukan konfirmasi kepada subyek yang disampaikan oleh narasumber," bunyi dalam surat tersebut.

Pada Minggu, 26 Juli 2015 diadakan diskusi di kantor Yayasan LBH Indonesia (YLBHI), Jakarta, dengan narasumber pengurus Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Jakarta, Direktur Imparsial Al Araf, dan praktisi hukum Abdul Fickar Hadjar dengan topik pencemaran nama baik. Intinya diskusi itu mendorong agar ranah pencemaran nama baik masuk perdata. Lalu, terungkap pula kekhawatiran mengenai pembungkaman narasumber yang kritis di media massa bila kasus semacam ini dipidanakan.

ARGUMEN ROMLI - Namun, Romli sepertinya bersikukuh pidana jalan terus. Berikut beberapa kutipan argumen hukum Romli yang disampaikan melalui akun Twitter @romliatma, hari ini.

@romliatma: Mrt UU Pers non49/1999, Dewan Pers tdk diberi wewenang u memutuskan tapi hanya jlnkn fungsi a.l.mediasi dn berikan pertimbgn yg tdk memihak

@romliatma: Keliru jika dktkn tunggu kep dewan pers. yg betul pertimb dewan pers. Tapi  romli lapor pernyataan pribadi trlapor yg dikutip media

@romliatma: Emerson, adnan d said jgn berkelit2 siap sy duduk di kursi pesakitan tggjwb atas "mulutmu harimau kamu".

@romliatma: Info bareskrim pernyataan terlapor penyidk acc tunggu kep dewan pers tdk benar dn menyesatkan. MOU Polri dn Dewan Pers hanya trkait wartawan

LIHAT PERATURAN KAPOLRI - Pengamat kepolisian Bambang Widodo Umar bicara dari sudut lain. Dia mengkritik penyidik yang melihat kasus-kasus semacam kasus ICW ini secara parsial.

Kepada gresnews.com, kemarin, Bambang menilai polisi kurang memperhatikan Peraturan Kepala Kepolisian RI Nomor 12 Tahun 2009 tentang Pengawasan dan Pengendalian Penanganan Perkara Pidana di Lingkungan Kepolisian RI. Akibatnya muncul pandangan di masyarakat penanganan kasus oleh polisi lebih banyak didasari kepentingan tertentu dan bukan objektif hukum.

"Dalam Perkap di atas, padal Pasal 5 diatur soal penanganan laporan masyarakat yang masuk. Benar polisi menerima semua pelaporan masyarakat. Namun setelah laporan tersebut diterima, ada tim yang harus meneliti, masuk pidana atau tidak. Jika tidak, pelaporan tersebut harus dikembalikan. Termasuk kasus KY dan aktivis ICW, jika masuk delik pers tidak usah dilanjutkan," kata Bambang.

Tidak semua laporan masyarakat masuk ranah pidana. Karenanya tim yang meneliti dan menguji laporan tersebut harus jeli dan objektif. Polisi yang bertugas meneliti perlu mengetahui konteks persoalan di balik pelaporan tersebut.

KRITIK WAJAR - Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) melihat kasus Romli vs ICW itu tidak baik di tengah iklim demokrasi. ICJR memiliki beberapa alasan mendasar mengapa penggunaan delik pidana tidak tepat dalam kasus Romli Atmasasmita tersebut, diantaranya:

Pertama, Pasal 310 ayat (3) KUHP menyatakan bahwa "Tidak merupakan pencemaran atau pencemaran tertulis, bila perbuatan itu jelas dilakukan demi kepentingan umum atau karena terpaks untuk membela diri". Sementara yang dilakukan ICW dan Said Zainal Abidin masuk dalam koridor kepentingan umum. Pemilihan Tim Pansel KPK bagaimanapun juga merupakan bagian besar dari agenda pemberantasan korupsi, sehingga orang-orang yang nantinya duduk menjadi anggota tim pansel bukan lagi berbicara mengenai kepantasan secara Individu namun juga menyangkut kepentingan umum yang lebih besar.

Kedua, apa yang dilakukan oleh ICW dan Said Zainal Abidin adalah Good Faith Statement atau pernyataan yang beritikad baik. Khususnya ICW, kritik dan pendapat yang dilontarkan tidak dapat dipisahkan dari dasar organisasi dan visi misi pembentukan ICW. Sekali lagi, dalam iklim demokrasi modern, terutama dalam agenda pemberantasan korupsi yang selama ini dijalankan oleh ICW, maka kritik yang ditujukan pada pribadi Romli tidak lagi dapat dianggap sebagai sebuah serangan terhadap kehormatan atau nama baik.

Ketiga, penggunaan jalur pidana dalam kasus-kasus penghinaan dipastikan akan berkontribusi pada efek phobia kebebasan berpendapat di Indonesia.

Saat ini, berdasarkan Riset yang dilakukan ICJR terhadap situasi penerapan hukum penghinaan di Indonesia, berbasis analisis putusan MA, pada 2012 dari 275 perkara  sepanjang 2001–2012 ditemukan fakta bahwa sebagian besar pelaku tindak pidana penghinaan dituntut dengan tuntutan penjara (205 kasus) dan pidana percobaan. Ini merupakan gambaran bahwa pidana penghinaan begitu efektif digunakan nantinya untuk melakukan pengekangan terhadap kebebasan berpendapat.

ICJR adalah lembaga swadaya masyarakat yang bergiat pada isu-isu seperti pencemaran nama baik ini. Direktur Eksekutif ICJR adalah Supriyadi Widodo Eddyono.

SIKAP PENYIDIK - Lalu, bagaimana sikap penyidik?

"Jalan terus (laporan Romli), tidak ada kaitan proses di Dewan Pers dengan penanganan di sini," kata Kepala Subdirektorat III Tindak Pidana Umum Badan Reserse Kriminal (Bareskrim) Polri Komisaris Besar Umar Satya Fana. (dtc)

BACA JUGA: