JAKARTA, GRESNEWS.COM - Bergulirnya hak angket Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) di DPR yang disinyalir sebagai seranga pada lembaga anti rasuah ini terus menuai polemik. Pro kontra atas bergulirnya hak angket terus mengemuka salah satunya penolakan hak angket oleh para guru besar. Namun dukungan untuk KPK dari para guru besar itu mendapat sorotan tajam dari DPR.

Wakil Ketua DPR, Fahri Hamzah bahkan sampai menyebut para guru besar dimobilisasi untuk mendukung KPK dan menolak angket yang digulirkan DPR. Tentu saja pernyataan itu mendapat bantahan dari KPK.

"Sayang sekali jika niat baik para guru besar untuk mendukung pemberantasan korupsi tersebut dituduh macam-macam. Tentu kita bisa membedakan dengan mudah mana yang mendukung dengan ketulusan dan jiwa besar dengan mana yang selalu merasa terganggu ketika KPK membongkar kasus korupsi, baik yang melibatkan para politikus, pejabat kementerian ataupun swasta," kata Kabiro Humas KPK, Febri Diansyah saat, Senin (4/7).

Febri mengatakan perjuangan memberantas korupsi pasti akan terus menerus mendapat perlawanan. Dia meminta para guru besar tetap berjiwa besar. "Semoga para guru besar tetap berjiwa besar meskipun dituduh dan dituding. Upaya pemberantasan korupsi pasti akan menemui perlawanan dari pihak-pihak yang terganggu dalam perjalanannya," ungkapnya.

Sebelumnya, Fahri menyebut para guru besar telah dimobilisasi untuk mendukung KPK. Menurutnya, para guru besar itu tidak mengerti permasalahan yang sebenarnya, termasuk soal revisi UU KPK.

"Saya termasuk yang agak prihatin dengan keadaan para guru besar kita. Karena saya masih terhubung dengan kampus. Kampus-kampus ini banyak sekali yang melaporkan lemahnya tradisi keilmuan di dalam kampus," ujar Fahri di gedung DPR, Senayan, Jakarta, Senin (3/7).

Ia menyebut para guru besar itu telah dimobilisasi untuk mendukung KPK. Bagi Fahri, ada kampus yang sudah ´mati´ dalam hal keilmuan. "Akhirnya muncul gejala seperti kasus KPK ini. Guru besar dimobilisasi tidak mengerti persoalan, tidak mengerti hukum, ya kan. Main dukung KPK tidak mau ada revisi dan sebagainya, padahal mereka tidak mengerti arti substansinya," ucap Fahri.

"Saya kritik ini sebagai kritik umum, kampus sedang mengalami kematian. Di kampus, ada beberapa yang nggak boleh datang. Ada kampus yang tidak membolehkan mengundang saya datang karena pemikiran saya begitu," tutur dia.

Menurutnya, para guru besar itu tidak seharusnya menggalang dukungan untuk KPK. Dia juga kembali mengkritik KPK dan LSM yang memberi dukungan. Dia menyebut dokumen soal daftar LSM yang menerima dana dari KPK sudah ada saat ia menjadi pimpinan Komisi III DPR.

"LSM disuruh memuji dia. Ini kan nggak sehat. Jadilah lembaga yang akuntabel," ujar Fahri.

Dalam ciutannya di akun twitter Fahri juga menilai janggal dukungan guru besar dari sejumlah universitas kepada KPK dalam menyikapi hak angket.Menurutnya, justru banyak guru besar yang menjadi korban kriminalisasi KPK. Karena itu, ia meminta mereka untuk bersikap objektif dalam menyikapi polemik hak angket.

"Kita pasti punya standar pengertian yang sama jika mendengar gelar professor. Meski belakangan bermakna lebih fungsional. Saking cinta pada gelar kehormatan itu saya pernah marah, di sini di negara kita, ketika puluhan profesor dikriminalisasi korupsi," tutur Fahri melalui akun Twitter-nya, Minggu (2/7).

"Sungguh akal sehat saya tidak bisa menerima jika para guru besar itu akhirnya disebut koruptor. Dan saya mencari tahu apa yang sebetulnya terjadi, para guru besar itu tidak salah, yang salah adalah penegakan hukum yang kacau," lanjut Fahri.

Ia menambahkan, banyak dari guru besar yang dikriminalisasi KPK memiliki rekam jejak moral yang baik. Namun, di beberapa kampus yang guru besarnya justru menolak hak angket, diskusi terkait revisi Undang-undang KPK juga dilarang. Padahal, menurut Fahri, kampus semestinya menjadi tempat yang terbuka untuk mendiskusikan berbagai hal, termasuk pembenahan KPK melalui revisi undang-undang.

"Karena adanya penolakan para guru besar mendukung KPK ini agar Undang-undang KPK tidak direvisi. Jadilah KPK lembaga suci. Sampai sekarang ingin ubah Undang-undang KPK dan kritik kepadanya dianggap penistaan. KPK seperti berhala," papar Fahri.

Fahri juga meminta keberadaan sejumlah lembaga semi negara, termasuk Komnas HAM dan KPK dievaluasi. KPK menganggap hal itu tidak penting untuk ditanggapi.

Fahri sebelumnya menyoroti keberadaan lembaga semi negara yang dianggapnya mulai mengkhawatirkan. Menurutnya, lembaga-lembaga itu bisa dilebur karena sudah ada lembaga serupa di pemerintahan.

"Saya mulai agak mulai takut dengan perkembangan lembaga sampiran negara atau lembaga semi negara termasuk Komnas HAM dan juga yang seperti terjadi ke KPK. Jadi sebetulnya lembaga-lembaga ini sudah tidak diperlukan karena sebetulnya negara telah mengalami konsolidasi demokrasi dan penguatan istitusinya secara baik," ungkap Fahri.

Fahri meminta Jokowi mengevaluasi lembaga yang disebutnya semi negara ini. Menurutnya, ada potensi persaingan antara lembaga semi negara dengan lembaga inti.

"Coba evaluasi lagi jangan-jangan lembaga ini tidak diperlukan. Mumpung lagi hemat sekarang, bubarin aja toh tidak ada fungsinya di negara kok," ungkapnya. 

DUKUNGAN RATUSAN GURU BESAR - Sebanyak 165 guru besar dari 24 universitas se-Kawasan Timur Indonesia (KTI) memberikan dukungan untuk Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terkait munculnya Pansus Angket DPR. Para guru besar ini beranggapan pembentukan pansus tersebut bertentangan dengan semangat pemberantasan korupsi.

Mereka yang menolak hak angket itu berawal dari sikap Universitas Hasanuddin (Unhas) Makassar yang membentuk Pusat Kajian Anti Korupsi (Pangkas). Para guru besar atau akademisi di Indonesia Timur ini menolak Pansus Angket terhadap KPK.

Menurut salah satu pemerkarsa Pangkas, Prof Farida Patittingi yang juga Guru Besar Unhas, Selasa (20/6), mengatakan para guru besar menilai, Pansus Angket KPK cacat hukum karena baik prosedur maupun substansinya bertentangan dengan undang-undang.

Ia menyebut sebagian anggota panitia khusus angket KPK itu ada yang disebut dalam kasus korupsi e-KTP sehingga terjadi conflict of interest atau benturan kepentingan. Disamping itu materi angket yang ditujukan pada KPK tidak jelas obyeknya, bahkan mencampuri urusan penegakan hukum, sehingga berpotensi sebagai obstruction of justice atau menghalang-halangi proses penegakan hukum.

Farida menegaskan, para guru besar menilai, panitia angket KPK jelas ingin melemahkan pemberantasan korupsi di Indonesia dan bertujuan melemahkan KPK secara terstruktur dan terencana dengan baik.

Dengan begitu, 165 guru besar se-KTI mendukung KPK untuk menyelesaikan kasus e-KTP sampai tuntas dengan tidak pandang bulu. "Kami mendukung KPK untuk tetap konsisten menyelesaikan seluruh kasus korupsi yang terjadi di tanah air demi Indonesia yang bebas dan bersih dari korupsi," harapnya.

Ia menegaskan pansus angket tidak bisa memaksakan kehendaknya menghadirkan saksi kasus e-KTP, Miryam Haryani dalam sidang panitia angket. Dia pun meminta, anggota DPR menghormati proses hukum yang berjalan.

"Sebagai warga Indonesia yang baik, wajib mengikuti proses berjalan dan memenuhi panggilang penegak hukum. Makanya, jangan anggota DPR memaksakan kehendaknya untuk mengacaukan hukum dengan membentuk panitia angket KPK," ujarnya.

Farida beranggapan DPR salah sasaran membentuk panitia angket. Karena hak angket hanya berlaku pada lembaga eksekutif dalam pemerintahan.Namun untuk hak angket terhadap penegak hukum, itu tidak berlaku. Karena ada hal-hal yang tidak bisa diungkapkan dalam proses penyelidikan dan penyidikan.

Ia menjelaskan dibutuhkan suatu penguatan hukum untuk KPK. Dalam penegakan hukum, ada ranah tertentu tidak bisa diakses dan tidak boleh dibuka untuk umum dan hanya diketahui oleh penegak hukum. (dtc)

BACA JUGA: