JAKARTA - Mantan Bupati Buol, Amran Batalipu, yang menjadi terdakwa perkara suap pengurusan sertifikat perkebunan kelapa sawit di Kabupaten Buol, Sulawesi Tengah, mengeluhkan cara tim Komisi Pemberantasan Korupsi ketika menangkapnya. Amran mengaku kecewa lantaran saat penangkapan. Densus 88 menendang pintu rumahnya sampai rusak.

"Penangkapan terhadap saya tidak manusiawi. Saya ditangkap sebagai tersangka tanpa melalui pemeriksaan dan dua alat bukti yang cukup," kata Amran saat membacakan pleidoi di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, Jakarta, Jumat (28/1).

Amran mengatakan penangkapan itu tidak sesuai dengan etika KKP. Amran mengakui, Jumat, 6 Juli 2012, tim KPK dibantu satuan Detasemen Khusus Anti-Teror 88 Polri menangkapnya pada pukul 04.00-05.00 WITA. Dia berdalih kecewa lantaran ditangkap sebagai tersangka tanpa melalui pemeriksaan terlebih dulu, seperti lazimnya dilakukan KPK.

Amran mengaku kecewa lantaran saat penangkapan, Densus 88 menendang pintu rumahnya sampai rusak. "Saya diseret keluar sambil ditodong senapan laras panjang dan dan diborgol," ujar Amran.

Menurutnya, saat ditangkap dia cuma memakai sarung dan sempat minta izin pakai celana panjang. Tetapi, menurut dia, tim KPK dan Densus 88 tidak mengizinkannya. "Anak dan ibu saya juga ditodong senapan. Sampai sekarang mereka masih trauma. Istri saya juga di bawah todongan senapan saat menandatangani surat penangkapan saya," lanjut Amran.

Sebelumnya JPU menuntut Amran dengan pidana penjara selama 12  tahun. Ketua Dewan Perwakilan Daerah Partai Golkar Kabupaten Buol, Sulawesi Tengah ini juga dituntut denda Rp500 juta. Apabila tidak sanggup membayar diganti kurungan selama enam bulan. "Kami meminta majelis hakim supaya menjatuhkan putusan terhadap terdakwa Amran Abdullah Batalipu, dengan pidana penjara selama 12 tahun dikurangi masa tahanan. Serta denda Rp500 juta subsider enam bulan kurungan," kata Jaksa Irene, Kamis (10/1).

Amran juga mesti membayar uang pengganti Rp3 miliar. Apabila tidak membayar setelah satu bulan setelah putusan memperoleh kekuatan hukum tetap, maka diganti pidana penjara selama dua tahun. Memerintahkan harta Amran dirampas negara. Hal-hal memberatkan Amran adalah dia tidak mengakui perbuatannya dan tidak menyesal. Amran juga melawan saat penahanan. Dia juga berbelit-belit dalam persidangan. Dia sebagai kepala daerah tidak memberikan teladan.

Pertimbangan meringankan adalah Amran memiliki tanggungan keluarga dan belum pernah dihukum. Jaksa menyimpulkan Amran melanggar Pasal 12 huruf a juncto Undang-Undang nomor 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 tahun 2001 tentang perubahan Undang-Undang nomor 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto pasal 64 ayat (1) ke-1 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Jaksa menganggap Amran bersalah menerima suap Rp3 miliar rupiah dari PT. Hardaya Inti Plantations. Perusahaan perkebunan kelapa sawit itu milik pengusaha Siti Hartati Tjakra Murdaya, istri konglomerat Murdaya Poo.


BACA JUGA: