JAKARTA, GRESNEWS.COM - Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia menilai pihak yang paling potensial mengalami kebingungan dan permasalahan dengan terbitnya SEMA Nomor 7 Tahun 2014 tentang Permohonan Pengajuan Peninjauan Kembali (PK) Dalam Perkara Pidana adalah para hakim. Sebab ketika hakim menerima PK diatas satu kali, maka ia dapat dianggap bertentangan dengan SEMA atau instruksi pimpinannya.

Dipastikan ada sanksi pimpinan yang terancam dikenakan pada hakim yang bersangkutan. Sementara di sisi lain, kalau ia tidak menerima permohonan PK, dimana PK tersebut telah diajukan lebih dari satu kali, maka hakim yang bersangkutan dapat dikatakan telah melakukan perbuatan yang bertentangan dengan undang-undang dan putusan MK.

Tindakan seperti ini, menurut peneliti PSHK Indonesia Miko Susanto Ginting sangat berisiko terkena ganjaran sanksi etik. "Yang harus dilakukan oleh hakim ketika menghadapi permasalahan tersebut dalam praktik adalah merujuk pada dua yurisprudensi yang ada," kata Miko kepada Gresnews.com, Selasa (6/1).
 
Kedua yurisprudensi MA itu, lanjut Miko, adalah Putusan Nomor 49/1967 PT Perdata dan Putusan MA Nomor 105K/sip/1968. Yurispridensi ini, kata Miko tentang kasus perceraian terkait hukum perdata yang diputus 12 juni 1968. Yurispridensi ini menyatakan, SEMA tidak dapat meniadakan keberlakukan norma hukum (dalam hal ini peraturan perundang-undangan) sehingga hakim dapat mengesampingkan SEMA tersebut. Begitu juga hakim yang tidak dapat meniadakan norma hukum dengan dasar SEMA.
 
Yurisprudensi tersebut, ungkapnya, merupakan respons atas SEMA Nomor 3 Tahun 1963 yang dianggap meniadakan Burgerlijk Wetboek atau Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (BW). Melalui putusan tersebut, hakim in facto dapat mengesampingkan SEMA apabila SEMA dianggap bertentangan dengan undang-undang dan memilih menerapkan undang-undang (norma hukum) yang berlaku.
 
"Melalui yurisprudensinya itu MA menyatakan bahwa SEMA tidak dapat menyampingkan suatu norma hukum atau peraturan perundang-undangan," jelasnya.
 
Alasannya, SEMA tersebut tidak tepat dan berpotensi menimbulkan kerancuan hukum. Kemudian, dua pasal yang menjadi landasan argumentasi MA menerbitkan SEMA tersebut juga tidak cermat dan tidak tepat. MA dinilai tak mema memaknai Pasal 24 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman dan Pasal 66 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009 tentang Mahkamah Agung secara utuh.

Akibatnya, MA menyimpangi putusan MK dan menerbitkan SEMA yang membatasi pengajuan PK hanya satu kali. Kedua pasal tersebut, lanjut Miko, semestinya diposisikan sebagai pemberi dasar bagi pengajuan peninjauan kembali untuk semua perkara, kecuali perkara pidana dan militer.

Sebab pengaturan PK untuk perkara pidana dan militer secara khusus sudah diatur dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Dimana permohonan peninjauan kembali yang sebelumnya dibatasi hanya satu kali (Pasal 268 Ayat (3) KUHAP) telah dinyatakan inkonstitusional oleh Mahkamah Konstitusi melalui Putusan No. 34/PUU-XI/2013.
 
"SEMA jelas tidak dapat menyampingkan Putusan MK ataupun membentuk norma hukum baru layaknya suatu peraturan perundang-undangan," tegasnya.
 
Karena itu PSHK Indonesia mendesak berbagai pihak untuk membenahi dan meluruskan SEMA Nomor 7 Tahun 2014 tersebut. Sebab selain tidak tepat dan dapat menimbulkan kekacauan hukum, langkah Mahkamah Agung menerbutkan SEMA itu juga dinilai mengingkari dua yurisprudensinya sendiri.
 
Seperti diketahui, MA dinilai enggan menindaklanjuti putusan tersebut dengan alasan putusan MK tidak dapat dieksekusi (nonexecutable). MA berpendapat, putusan MK tidak serta merta menghapus norma hukum yang mengatur permohonan peninjauan kembali yang diatur dalam UU Kehakiman dan UU MA.
 
MA beralasan, permohonan PK yang diajukan lebih dari satu kali terbatas pada alasan yang diatur dalam SEMA Nomor 10 Tahun 2009 tentang Pengajuan PK. Isi SEMA itu menegaskan, apabila ada suatu objek perkara terdapat dua atau lebih putusan peninjauan kembali yang bertentangan satu dengan yang lain baik dalam perkara perdata maupun perkara pidana.
 
"Permohonan PK yang tidak sesuai dengan ketentuan tersebut tidak dapat diterima dan berkas perkaranya tidak perlu dikirim ke MA sebagaimana diatur SEMA Nomor 10 Tahun 2009," demikian bunyi angka lima SEMA Nomor 7 Tahun 2014 yang ditandatangani Ketua MA Hatta Ali pada 31 Desember 2014 tersebut.
 

BACA JUGA: