JAKARTA, GRESNEWS.COM - Pekerja dan buruh yang tergabung dalam  Federasi Serikat Pekerja Singaperbangsa (FSPS) mengajukan pengujian materiil dan formil Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial (UU PPHI) ke Mahkamah Konstitusi. Mereka mempersoalkan ketentuan Gugatan Contentiosa (gugatan) dalam hal Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) diselesaikan melalui Pengadilan Hubungan Industrial (PHI), sebagaimana diatur dalam Ketentuan Pasal 81 UU PPHI.
 
Penyelesaian sengketa hubungan kerja menurut ketentuan Pasal 81 itu berubah dari Gugatan Voluntair (permohonan) menjadi gugatan. Pengaturan PHK melalui Gugatan Contentiosa mereka nilai dapat menghilangkan kewajiban pengusaha yang sesungguhnya berinisiatif untuk melakukan PHK. Ketika pengusaha tidak mengajukan gugatan PHK ke PHI, maka buruh akan kehilangan jaminan perlindungan dan kepastian hukum atas hubungan kerjanya.
 
"Pada akhirnya buruh dipaksa dan terpaksa mengajukan gugatan," tutur Muhammad Hafidz, salah satu pemohon saat membacakan pokok-pokok permohonannya di Gedung MK, Jakarta Pusat, Rabu (4/2). Sementara para pekerja dan buruh, lanjutnya, memiliki keterbatasan dan kemampuan untuk memahami hukum acara. Seperti gugatan, jawaban, replik, duplik, pembuktian dan seterusnya. Belum lagi soal tidak adanya biaya untuk menyewa jasa pengacara.
 
Kondisi itu mereka nilai tidak adil jika dibandingkan dengan pengusaha yang mempunyai sumber daya dan dana untuk beracara di PHI. "Hal ini semakin sulit bagi buruh karena asas hukum menyatakan barang siapa yang mendalilkan maka dia yang harus membuktikan," ujarnya.
 
Padahal yang menguasai dan memiliki bukti-bukti adalah pengusaha. Mulai dari tidak diberikannya salinan perjanjian kerja, slip pembayaran upah, kartu tanda karyawan, bahkan surat pemutusan hubungan kerja. Akibatnya, tidak jarang gugatan yang diajukan oleh buruh pada praktiknya berakhir pada tidak jelasnya kelanjutan hubungan kerja buruh ketika PHI menolak gugatan.
 
Ia juga mendalilkan, Gugatan  Contentiosa yang berlaku pada PPHI ini tidak lagi melibatkan unsur pemerintah. Hal ini berbeda dengan penyelesaian yang diatur Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1957 tentang Penyelesaian Perselisihan Perburuhan Pusat. Ketika putusan yang diatur dalam undang-undang ini tidak dilaksanakan, maka pengusaha dapat diancam dengan hukuman kurungan tiga bulan.
 
Berbeda dengan putusan PHI yang umumnya tidak mau dilaksanakan oleh pengusaha. Akibatnya buruh harus memohon untuk dilakukan eksekusi dan penyitaan. Sedangkan untuk mencari objek sitanya, buruh lagi-lagi kesulitan dengan ketiadaan biaya eksekusi dan lain-lain.
 
Karena itu FSPS menilai pasal yang berbunyi: "Gugatan perselisihan hubungan industrial diajukan kepada Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri yang daerah hukumnya meliputi tempat pekerja/buruh bekerja", bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. Selain uji materiil, mereka juga mengajukan uji formil atas UU PPHI tersebut.

Alasannya, UU PPHI ini melangar ketentuan Pasal 5 huruf d dan huruf f, serta Pasal 6 ayat (1) huruf I Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Para pemohon menilai, UU PPHI itu bertentangan dengan asas dapat dilaksanakan, asas kejelasan rumusan, dan asas ketertiban dan kepastian hukum.
 
Berdasarkan dalil-dalil tersebut, mereka meminta MK, menyatakan pembentukan UU PPHI tidak memenuhi ketentuan pembentukan undang-undang berdasarkan UUD 1945. Menyatakan UU PPHI tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Selanjutnya menyatakan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1957 tentang Penyelesaian Perselisihan Perburuhan dinyatakan berlaku kembali.
 
Kemudian mereka juga meminta MK menyatakan Pasal 81 UU PPHI bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, sepanjang tidak dimaknai: "Gugatan perselisihan hubungan industrial, dikecualikan perselisihan pemutusan hubungan kerja harus dengan permohonan diajukan kepada Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri yang daerah hukumnya meliputi tempat pekerja/buruh bekerja".
 

BACA JUGA: