JAKARTA, GRESNEWS.COM – Mahkamah Konstitusi (MK) menyatakan tidak dapat menerima 10 permohonan pengujian Undang Undang Nomor 22 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota (UU Pilkada). Sebab objek uji materi (judicial revew) dan uji formil yang dimohonkan oleh 10 pemohon berbeda itu telah hilang pasca diterbitkannya Peraturan Pemerintah Pengganti Undang Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Wali Kota (Perppu Pilkada).
 
"Kedudukan hukum (legal standing) para pemohon dan pokok permohonan tidak dipertimbangkan. Menyatakan permohonan pemohon tidak dapat diterima," kata Ketua MK Hamdan Zoelva saat pengucapan putusan perkara nomor 97/PUU-XII/2014 di gedung MK, Jalan Medan Merdeka Barat, Jakarta Pusat, Kamis (23/10).
 
Mahkamah berpendapat, undang-undang yang memuat ketentuan kepala daerah dipilih melalui Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) itu otomatis tidak berlaku pasca diterbitkannya Perppu Pilkada oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.
 
Perppu tersebut antara lain berisi dua hal besar. Pertama, menghapus tugas dan wewenang DPRD Provinsi untuk mengusulkan pengangkatan dan pemberhentian gubernur dan atau Wakil Gubernur kepada Presiden melalui Menteri Dalam Negeri untuk mendapatkan pengesahan pengangkatan dan atau pemberhentian (Pasal I angka 1).
                 
Kedua, menghapus tugas dan wewenang DPRD Kabupaten/Kota untuk mengusulkan pengangkatan dan pemberhentian Bupati/Wali kota dan/atau Wakil Bupati/Wakil Wali Kota kepada Menteri Dalam Negeri melalui Gubernur sebagai wakil Pemerintah Pusat untuk mendapatkan pengesahan pengangkatan dan/atau pemberhentian (Pasal I angka 2).
 
"Menimbang pada Senin 13 oktober 2014, Mahkamah telah memberikan dua opsi seiring dengan berlakunya Perppu untuk menarik permohonan karena obyek permohonan pemohon sudah tidak ada. Atau tetap melanjutkan permohonan dalam persidangan, kemudian menyerahkan kepada Mahkamah untuk mempertimbangkannya," tutur Hakim Konstitusi Muhammad Alim saat membacakan pertimbangan hukum Mahkamah.
 
Selain atas perkara tersebut, MK juga menyatakan pengujian UU Pilkada dengan perkara nomor 98, 99, 100, 101, 102, 103, 104, 105, 111/PUU-XII/2014 juga ditolak dan tidak dapat diterima.
 
"Menimbang pengujian perkara Pilkada telah dipertimbangkan Mahkamah melalui putusan nomor 97/PUU-XII/2014, mutatis mutandis juga berlaku dalam pertimbangan a quo," jelas Hakim Konstitusi Aswanto.
 
Sembilan perkara terakhir ini antara lain dimohonkan Partai Nasional Demokrat (Nasdem), Indo Survey dan Strategi, Tim Relawan Pro Jokowi, Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (KSPSI) hingga Koalisi Perempuan Indonesia (KPI).
 
Seperti diketahui, dalam sidang perdana yang digelar Senin (13/10) lalu, pimpinan sidang yang juga Wakil Ketua MK Arief Hidayat mengingatkan kepada para pemohon bahwa obyek permohonan telah hangus. Sebab, Presiden SBY telah mengeluarkan Perppu Pilkada pada 2 Oktober 2014 lalu.
 
Karena itu, Arief menyatakan sidang akan dipercepat dengan dua opsi. Pertama, pemohon mencabut kembali permohonannya untuk kemudian ditetapkan dalam sidang Pengucapan Putusan atau Ketetapan. Kedua, pemohon  yang tidak mencabut permohonannya masih diteruskan dengan konsekuensi objek permohonannya sudah tidak ada.
 
Atas saran tersebut, empat dari sepuluh pemohon berbeda memutuskan untuk mencabut gugatannya. Seperti perkara nomor nomor 100/PUU-XII/2014, yang dimohonkan oleh Indo Survey dan Strategi atas nama I. Hendrasmo, R. Kristiawan, Sebastianus KM Salang dkk dengan kuasa hukum Andi Muhammad Asrun juga mencabut gugatannya.
 
Kemudian permohonan perkara nomor 102/PUU-XII/2014 yang dimohonkan Andi Gani Nenawea, M. Nurdin Singadimedja, Mochamad Acim dan R. Abdullah. Perkara nomor 103/PUU-XII/2014, yang dimohonkan Budhi Sutardjo, Komar Hermawan, H. Tato Hartato Supriatna dkk dengan kuasa hukum Sirra Prayuna. Dan perkara nomor 104/PUU-XII/2014 yang dimohonkan Mudhofir dan Togar JS Marbun dengan kuasa hokum Saut Pangaribuan juga mnecabut gugatannya.
 
Sedangkan enam permohonan lainnya menyatakan akan tetap meminta MK untuk menguji pasal-pasal yang mereka minta di uji dengan UUD 1945. Diantaranya adalah pengacara gaek, Otto Cornelis Kaligis. Ia meminta agar nomor perkara 98/PUU-XII/2014 yang dimohonkannya tetap dilanjutkan untuk mengetahui apakah aturan di dalamnya menguntungkan kepentingan rakyat atau kepentingan partai politik.
 
Partai NasDem selaku Pemohon dalam perkara ini menilai peraturan tersebut telah memberikan keistimewaan bagi partai politik tertentu karena gubernur terpilih dapat diprediksi secara riil melalui sistem mayoritas partai politik yang ada di DPRD Provinsi di masing-masing wilayah. Akibatnya, pemilihan kepala daerah akan terlaksana tanpa melalui proses demokratisasi, bahkan cenderung bersifat transaksional di tingkat elit partai politik.
 
Begitu juga dengan Relawan Pro Jokowi masih mempertimbangkan untuk melanjutkan permohonan. Ketua Umum Relawan Pro-Jokowi Budi Arie Setiadi selaku Para Pemohon perkara nomor 99/PUU-XII/2014 menggugat Pasal 1 angka 5 yang mengatur bahwa pemilihan kepala daerah dilaksanakan secara demokratis melalui lembaga perwakilan rakyat dan Pasal 3 UU Pilkada yang mengatur lebih lanjut mengenai hal tersebut.
 
Pemohon mendalilkan, kedua ketentuan tersebut berbenturan dengan Pasal 30 Ayat (5) juncto Pasal 34 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah yang mengatur bahwa kepala daerah dan wakil kepala daerah dipilih dalam satu pasangan secara langsung oleh rakyat. Selain itu pasal tadi juga bertentangan dengan Pasal 317 Ayat (1) dan Pasal 366 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 yang merinci tentang kewenangan DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota. Perbenturan peraturan tersebut dinilai telah mengakibatkan ketidakpastian hukum dan oleh karenanya harus dinyatakan tidak mengikat.
 
Dari sepuluh permohonan tersebut, terdapat dua pihak yang memohonkan pengujian formil, yaitu Indo Survey dan Strategi dengan nomor perkara 100/PUU-XII/2014. Kemudian mantan Calon Bupati Banjarnegara Budhi Sarwono dan mantan anggota DPRD Surakarta Boyamin dengan kuasa hukum Kurniawan Adi Nugroho dengan perkara nomor 101/PUU-XII/2014. Dan pemohon T. Yamli dan kawan-kawan dengan perkara 111/PUU-XII/2014. Sementara pemohon dengan perkara nomor 103/PUU-XII/2014 meminta MK sekaligus malakukan uji formil dan materil.
 
Sisanya, para pemohon kebanyakan meminta MK menguji Pasal 3 UU Pilkada yang mengatur ketentuan pemilihan kepala daerah dilakukan melalui DPRD. Ayat (1) berbunyi: "Gubernur dipilih oleh anggota DPRD Provinsi secara demokratis berdasar asas bebas, rahasia, jujur, dan adil". 

Sedangkan Ayat (2) menyatakan: "Bupati dan walikota dipilih oleh anggota DPRD kabupaten/kota secara demokratis berdasar asas bebas, rahasia, jujur, dan adil".
 
Sebagian lagi ada juga yang meminta pengujian Pasal 2, Pasal 1 angka 5, angka 11, angka 13 dan angka 14. Mereka meminta MK menyatakan pasal-pasal tersebut bertentangan dengan UUD 1945 atau setidak-tidaknya inkonstitusional sepanjang tidak dimaknai pemilihan kepala daerah dilaksanakan secara langsung.

BACA JUGA: