JAKARTA, GRESNEWS.COM - UU Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) khususnya Pasal 27 Ayat (3) yang mengatur soal pasal penghinaan kembali menelan korban. Seorang asisten tukang sate berinisial MA ditangkap aparat Bareskrim Mabes Polri karena diduga menghina presiden Jokowi melalui akun facebook.

Kabar penangkapan MA itu diketahui dari pengacara MA Irfan Fahmi yang dihubungi wartawan. "Sudah dari kamis pekan kemarin ditangkap. Diduga menghina presiden Jokowi," kata Fahmi, Selasa (28/10).

Fahmi menegaskan kliennya itu kini sudah berstatus tersangka. Meski demikian, dia mengaku belum mengetahui detil isi pemeriksaan atas kliennya itu. MA ditetapkan sebagai tersangka sehari setelah ditangkap.

Sang asisten tukang sate ini dikenakan pasal dalam UU Pornografi, pencemaran nama baik dan UU ITE. MA dilaporkan seseorang karena diduga telah mengedit dan mengunggah foto Presiden Jokowi sehingga menjadi gambar berbau pornografi.

Fahmi sendiri menduga MA hanya mengunggah gambar yang dipulungnya dari banyak situs internet. Sebab, pria berusia 24 tahun itu, hanyalah seorang tamatan SMP yang disinyalir tak memiliki kemampuan mengedit gambar di komputer. "Pada masa pilpres kemarin banyak foto-foto editan tersebar. Namun nanti saya cek lagi," ujar Fahmi.

Kembali jatuhnya korban akibat pemberlakuan Pasal 27Ayat (3) UU ITE ini membuat Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) menagih janji pemerintah mencabut pasal tersebut dan merevisi UU ITE.

Ketua Badan Pengurus ICJR Anggara mengingatkan agar Menteri Komunikasi dan Informatika, Rudiantara, segera melaksanakan janji pemerintah itu.  

Anggara menegaskan, revisi UU ITE telah dijanjikan oleh pemerintah sejak 2009, namun hingga saat ini progres dari revisi UU ITE belum terlihat sama sekali. Pemerintah, melalui Kementerian Komunikasi dan Informatika, sampai saat ini bahkan tidak memasukkan revisi UU ITE kedalam program legislasi nasional.

"Untuk itu ICJR mendesak agar Menkominfo Rudiantara segera memasukkan usulan revisi UU ITE kedalam program legislasi nasional," kata Anggara kepada Gresnews.com, Selasa (28/10).

Anggara berpendapat, revisi UU ITE perlu dilakukan segera untuk menegaskan kebijakan pengaturan terhadap konten internet dan juga menghapuskan ketentuan-ketentuan pidana yang menduplikasi ketentuan-ketentuan pidana yang ada di KUHP. Ia menegaskan pemerintah sebaiknya berkomitmen untuk menghapus tindak pidana yang pada dasarnya sudah diatur di KUHP dan juga di peraturan lain seperti penghinaan, penyebaran kebencian, dan lain lain.

"Penghapusan ini penting agar tidak terjadi inflasi peraturan pidana yang menyebabkan melemahnya perlindungan hak asasi manusia," kata Anggara menegaskan.

Anggara menegaskan, ICJR menolak model revisi UU ITE yang hanya sekadar menurunkan ancaman pidana dalam UU ITE. Sebagai contoh dalam revisi Pasal 27 Ayat (3) UU ITE tentang penghinaan dan pencemaran nama baik di dunia maya, pemerintah hanya merevisi Pasal 45 yang mengurangi hukuman menjadi 3 tahun.  

"ICJR menolak revisi parsial dalam hal ini karena seharusnya Pasal 27 Ayat (3) harus dicabut. Karena masalah mendasarnya adalah model perumusan tindak pidana yang sangat tidak mematuhi prinsip-prinsip hak asasi manusia dan cenderung memiliki indikator yang sangat luas dan mudah ditafsirkan secara serampangan," ujar Anggara.

Menurut ICJR penggunaan kasus-kasus pencemaran saat ini yang menggunakan Pasal 27 ayat (3) ITE masih eksesif. Berdasarkan monitoring ICJR ada beberapa kasus Pasal 27 Ayat (3) yang masih dalam penyidikan dan penuntutan di pengadilan yakni: Kasus Florence, Kasus Saut Situmorang, Kasus Iwan Sukrie, Kasus Rosali Amelia, Kasus Faike di jember, kasus Adam Amrullah, kasus Deddy Endarto, dan Kasus Budiman.

Anggara juga menegaskan perlunya pengaturan tentang kebijakan terhadap konten dalam revisi UU ITE, khususnya dalam hal model pengaturan sensor di Internet. Pengaturan sensor internet seperti yang ada dalam Peraturan Menteri Kominfo No 19 Tahun 2014 tentang Penanganan Situs Internet Bermuatan Negatif adalah pengaturan yang tidak tepat.

ICJR berpendapat, pengaturan terhadap konten internet sebaiknya diatur di level UU. ICJR sendiri, menurut Anggara, sedang dalam proses untuk segera mengajukan permohonan pengujian Peraturan Menteri tersebut ke Mahkamah Agung.

BACA JUGA: