JAKARTA, GRESNEWS.COM - Presiden dan DPR menyebutkan 23 pasal yang digugat oleh lima pemohon berbeda dan keseluruhan pasal dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (UU MD3) sama sekali tidak bertentangan dengan UUD 1945. Sebaliknya justru untuk mewujudkan lembaga perwakilan rakyat yang lebih demokratis, efektif dan akuntabel.

Termasuk Pasal 84 yang mengatur tata cara pemilihan pimpinan DPR. Pasal ini menyebutkan calon pimpinan DPR terdiri atas satu orang ketua dan empat orang wakil ketua yang dipilih dari dan oleh anggota DPR dalam satu paket yang bersifat tetap. Calon pimpinan tersebut disampaikan dalam paripurna oleh masing-masing fraksi untuk dipilih secara musyawarah dan mufakat yang kemudian ditetapkan sebagai pimpinan DPR.

"Dapat kita pahami pimpinan DPR dan pimpinan alat kelengkapan DPR adalah bagian dari anggota MPR sehingga dimungkinkan adanya proses pemilihan dengan suara terbanyak jika penyelesaian musyarah dan mupakat tidak tercapai," tutur kuasa hukum Presiden yang diwakili Dirjen Perundang-undangan Kementerian Hukum dan HAM, Mualimin Abdi dalam sidang lanjutan pengujian UU MD3 dengan agenda Mendengarkan Keterangan Presiden, DPR dan pihak terkait (III) di gedung MK, Selasa (23/9).

Hal itu kata Mualimin, sesuai proses nilai-nilai demokratisasi dalam pola pemilihan yang melibatkan seluruh anggota DPR. Menurutnya, pasca perubahan UUD 1945, sistem ketatanegraan Indonesia mengalami banyak perubahan. Termasuk dalam lembaga pemusyawaratan rakyat, yakni  MPR, DPR, DPD dan DPRD. "Perubahan dimaksudkan untuk mewujudkan lembaga yang lebih demokratis, efektif dan akuntabel," jelas Mualimin.

Pasal-pasal yang menjadi objek pemohon, lanjut dia, tetap membuka peluang yang sama bagi partai politik peraih suara terbanyak untuk mengajukan calon pimpinan DPR. Begitu juga terkait Pasal 97 Ayat (2), Pasal 104 Ayat (2), Pasal 109 Ayat (2), Pasal 115 Ayat (2), Pasal 121 Ayat (2), Pasal 152 Ayat (2), dan Pasal 158 Ayat (2), dianggapnya tidak ada yang bertentangan dengan UUD 1945.

"Meskipun tidak menyebutkan adanya ketentuan dan klausul keterwakilan perempuan, bukan berarti pasal-pasal itu membatasi perempuan untuk duduk sebagai pimpinan DPR," jelas Mualimin.

Justru, kata dia, dengan ketentuan tersebut pemerintah telah memberi keleluasaan seluas-luasnya agar perempuan dapat berkiprah lebih jauh dan menentukan di lembaga tersebut.

Begitu juga dengan Pasal 245 yang mengtur ketentuan tindakan penyelidikan dan penyidikan terhadap anggota DPR yang diduga melakukan tindak pidana harus mendapat persetujuan tertulis dari Mahkamah Kehormatan Dewan. Ia berpendapat, ketentuan tersebut merupakan bagian dari asas praduga tak bersalah dan persamaan kedudukan dimuka hukum.

"Peraturan ini tidak dimaksudkan menghalang-halangi proses penegakan hukum, namun lebih pada persyaratan administratif untuk meyakinkan bahwa dugaan tindak pidana yang dilakukan DPR telah memiliki bukti atau basis yuridis yang kuat," tegasnya.

Sebab, kata dia, didalam pasal tersebut juga memberikan jalan keluar. Diantaranya, apabila dalam kurun waktu 30 hari surat terulis tidak diberikan maka proses penyelidikan dan penyidikan dapat dilakukan tanpa surat terulis dari Mahkamah Kehormatan Dewan. "Ketentuan ini telah memberikan kepastian hukum bagi penegak hukum untuk melaksanakan tugasnya," sebutnya.

Dalam sidang yang sama, DPR juga berpendapat tidak ada ketentuan dalam UU MD3 yang menyalahi ketentuan UUD 1945. Karena itu, DPR meminta agar Mahkamah Konstitusi (MK) menolak seluruh permohonan para pemohon. "Secara khusus, tidak ditemukan diskriminasi terhadap pemohon perkara nomor 73/PUU-XII/2014 (PDIP)," kata kuasa hukum DPR, Aziz Syamsudin yang juga Wakil ketua Komisi III DPR saat menyampaikan ketrangan DPD di gedung MK, Selasa (23/9).

Seperti diketahui, Kuasa Hukum PDIP Andi Muhammad Asrun, mewakili Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri, Sekjen PDIP Tjahjo Kumolo, Dwi Ria Latifa dan PDIP untuk meminta MK menguji sejumlah pasal dalam UUD MD3, yakni Pasal 84, Pasal 97, Pasal 104, Pasal 109, Pasal 115, Pasal 121, dan Pasal 152.

Alasanya, PDIP sebagai peraih suara terbanyak dalam Pemilihan Umum Legislatif 2014 (109 kursi DPR) merasa tercederai dengan berlakunya Pasal 84. Jika merujuk pada Pasal 82 Ayat (1) UU Nomor 27 Tahun 2009, maka PDIP sebagai peraih kursi terbanyak otomatis mendapat jatah kursi Ketua DPR.

PDIP juga mempersoalkan aturan mekanisme pemilihan pimpinan komisi, pimpinan badan legislasi, pimpinan badan anggaran yang sifatnya ad hoc, tiba-tiba dipermanenkan. PDIP juga mempersoalkan adanya hak imunitas anggota DPR saat menjalani proses hukum.

Selain menguji permohonan PDIP, hari ini, MK juga menggelar sidang lanjutan pengujian UU  MD3 yang dimohonkan empat pemohon berbeda. Keempat pemohon lainnya adalah perkara Nomor 83/PUU-XII/2014 yang dimohonkan Febi Yonesta dan Rizal. Perkara Nomor 82/PUU-XII/2014 dimohonkan Khofifah Indar Prawansa, Rieke Diah Pitaloka, Aida Vitayala Sjafri Hubeis.

Kemudian, perkara Nomor 76/PUU-XII/2014 yang dimohonkan Supriyadi Widodo Eddyono dan Perkumpulan Masyarakat Pembaharuan Peradilan Pidana. Serta perkara Nomor 79/PUU-XII/201 yang dimohonkan Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI. Semuanya memiliki agenda yang sama, yakni Perbaikan Permohonan (II).

BACA JUGA: