JAKARTA, GRESNEWS.COM - Direktorat Jenderal Pajak, sebelum mengumumkan dan mencekal penunggak pajak, diminta untuk meneliti ulang, apakah ketetapan pajak wajib pajak (WP) tersebut sudah benar ataukah belum. Pengamat perpajakan Cuaca Bangun mengatakan, saat ini ditengarai banyak sekali ketetapan pajak yang tidak benar.

"Jika WP tersebut, diumumkan dan dicekal, dan pada suatu saat diketahui ternyata utang pajaknya tidak benar, maka hal ini akan merugikan WP sendiri. Ujung-ujung, WP tersebut bisa menuntut balik denda kepada Ditjen Pajak. Tentu akhirnya malah merugikan keuangan negara," kata Cuaca kepada Gresnews.com, Minggu (22/12).

Contoh kasusnya, kata dia, adalah ketika menangani kasus pajak PT UCU yang diberikan ketetapan pajak tahun pajak 2001-2008 yang totalnya mencapai Rp41 Miliar. padahal WP ternyata telah membayar sebagian. Karena itulah kemudia perusahaan tersebut mengajukan surat keberatan ke KPP PMA. Isi surat itu adalah pertanyaan soal nilai ketetapan pajak tersebut.

Namun, ternyata KPP PMA tidak mampu menjawab, dan menyerahkannya ke Kanwil Khusus. Setelah ditanyakan ke Kanwil Khusus, ternyata tidak mampu juga menjawabnya. Sehingga akhirnya WP mengirim surat pertanyaan tersebut ke Kantor Pusat Ditjen Pajak.

"Ternyata kantor pusat belum juga bisa menjawabnya. Ini artinya, masih banyak pemeriksa pajak yang kurang memahami ketentuan perpajakan, dan ketika masalah ini dipertanyakan, sudah menjadi beban pimpinan ditjen pajak," kata Cuaca.

Kasus yang seperti ini, menurut dia, sangat banyak. "Banyak WP yang disebut sebagai penunggak pajak, tetapi ternyata banyak kesalahan yang terjadi dalam ketetapan pajaknya, sehingga berujung gugatan," kata Cuaca.

Sebelumnya, Ditjen Pajak tengah mengusulkan agar 487 wajib pajak (WP) dicekal ke luar negeri. Alasannya, 487 WP ini menunggak pajak Rp3,32 triliun. Wakil Menteri Keuangan sekaligus Plt Dirjen Pajak, Mardiasmo mengatakan, 487 WP ini terdiri dari 402 WP badan dan 85 WP orang pribadi.

Seluruh WP ini memiliki tunggakan pajak di atas Rp100 juta selama tahun ini. Mereka diragukan itikad baiknya untuk membayar tunggakan tersebut. Untuk proses pencekalan, Ditjen Pajak menggandeng Kementerian Hukum dan HAM.

"Kita lakukan pecegahan atau pencekalan penangguh pajak. Pencegahan itu larangan sementara penunggak pajak ke luar negeri. Sesuai UU Nomor 19 tahun 2000 tentang Penagihan Pajak dengan Surat Paksa," kata Mardiasmo di Kementerian Keuangan, Jakarta, Rabu (17/12) lalu.

Dari 487 WP tersebut, telah terbit Keputusan Menteri Keuangan tentang pencekalan terhadap 147 WP. Sementara sisanya, masih menunggu persetujuan pencekalan dari Menteri Keuangan Bambang Brodjonegoro. Untuk proses pencekalan ini, pemerintah sangat berhati-hati.

Dari usulan pecekalan yang diterbitkan Ditjen Pajak, 65 orang merupakan warga negara asing (WNA) dan 422 orang WNI. "Itu ada WNI dan WNA. Kalau WNA, mereka sudah tinggal di sini dan dia belum bayar pajak. Saya lihat nama, dia nggak boleh pulang sebelum lunasi," jelasnya.

Proses pencekalan berlangsung selama 1 tahun. Pecekalan fase 1 berlangsung 6 bulan. Bila tidak ada tanda-tanda melunasi, maka akan diperpanjang hingga 6 bulan berikutnya. Jika tidak mempan, bisa masuk pada proses penahanan atau penyanderaan.

"Baru cekal saja biasanya sudah mau bayar. Akhir tahun yang paling mujarab karena mereka mau liburan. Kalau nggak mempan, badannya (orang) diambil. Artinya dia dikurung, tapi harus jelas ada hartanya," jelas Mardiasmo.

Di tempat yang sama, Direktur Pemeriksaan dan Penagihan Ditjen Pajak Dadang Suwarna menjelaskan, penetapan status berupa pencekalan melalui proses secara detail dan hati-hati. Sebelum proses pecekalan, petugas Ditjen Pajak mengirimkan surat pemberitahuan tentang jumlah tunggakan pajak. Jika tidak ada respons selama 1 bulan, maka muncul surat penagihan paksa.

"Kemudian sita kekayaan (bisa rekening) kalau nggak bisa. Untuk proses ini, kita minta pengawalan hukum. Kalau nggak ada bisa disita, baru kita cekal," jelasnya. (dtc)

BACA JUGA: