JAKARTA, GRESNEWS.COM - Pengujian Undang-Undang di Mahkamah Konstitusi (MK) mengalami kecenderungan naik setiap tahunnya. Penyebabnya, tidak hanya karena proses pembuatan undang-undang (UU) yang kurang cermat tapi juga meningkatnya kesadaran masyarakat akan hak-haknya. Tak hanya itu, proses pengujian undang-undang tak jarang diajukan karena ada kepentingan politik tertentu.

Mantan Ketua Mahkamah Agung (MA) Bagir Manan mengatakan ada sejumlah penyebab meningkatnya jumlah pengujian UU. Misalnya, UU yang telah dibuat memang mengandung banyak kelemahan lantaran tidak melalui penelitian mendalam. Lalu ada juga faktor kesadaran masyarakat.

"Ada kesadaran dari masyarakat bahwa hak konstitusionalnya tidak boleh begitu saja dilanggar," ujar Bagir kepada Gresnews.com, Kamis (9/4), di Jakarta.

Sementara itu peneliti Forum Masyarakat Pemantau Parlemen (Formappi) Lucius Karus mengatakan cenderung meningkatnya pengujian terhadap UU di MK menunjukkan ada masalah dengan para pembuat UU yaitu Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Ini masalah akut, sebab para anggota DPR merupakan anggota partai politik yang pasti mempunyai kepentingan tertentu terhadap sebuah rancangan UU (RUU).

"Kepentingan itu yang kadang mendangkalkan atau mengacaukan bunyi peraturan RUU tertentu," ujar Lucius saat dihubungi Gresnews.com, Kamis (9/4).

Ia melanjutkan alasan lainnya terkait dengan kapasitas bidang anggota DPR yang bersangkutan. Menurutnya, tak semua anggota DPR memiliki kapasitas yang memadai saat membuat RUU. Akibatnya, RUU banyak memiliki kelemahan.

Selanjutnya, meningkatnya jumlah pengujian UU juga bisa disebabkan karena adanya kesadaran kritis yang muncul dari masyarakat, sehingga masyarakat lebih aktif mengajukan uji materi ke MK. Kesadaran masyarakat ini baik karena berarti masyarakat bisa berpartisipasi aktif dalam proses pembuatan UU.

Pengamat politik dari Universitas Padjajaran (Unpad) Bandung Idil Akbar menilai, pada dasarnya, menyusun UU merupakan proses politik sehingga dalam penyusunannya seringkali yang dihadirkan adalah kepentingan politik.

"Jadi ini bukan hanya soal ketidakcermatan anggota DPR dalam menyusun UU. Tapi sejauh mana kepentingan politik terakomodir dan bagaimana proses politik berjalan dalam setiap rangkaian penyusunan sebuah undang-undang," ujar Idil kepada Gresnews.com dalam kesempatan terpisah.

Terkait ketidakcermatan pembuat UU, ia mencontohkan misalnya dapat dilihat dari gugatan uji materi atas UU yang begitu selesai diundangkan, lalu diajukan uji materi ke MK. Idealnya UU mesti bisa diimplementasikan dulu. Namun, kadang gugatan uji materi telah lebih dahulu dilayangkan sebelum UU tersebut bisa diimplementasikan.

Berdasarkan data dari laman MK terkait rekapitulasi pengujian UU, sejak 2003 hingga 2014 pengujian UU selalu mengalami peningkatan tiap tahunnya. Pada 2003 jumlah perkara yang diterima MK dan teregistrasi sebanyak 24 perkara. Lalu pada 2004 meningkat menjadi 27.

Selanjutnya permohonan pengujian UU pada 2005 menurun menjadi 25 buah. Tapi meningkat lagi pada 2006 menjadi 27. Lalu MK menerima permohonan uji materi pada 2007 sebanyak 30 buah, 2008 sebanyak 36 buah, tahun 2010 sebanyak 81 buah, pada 2011 sebanyak 86 buah dan 2012 sebanyak 118 buah.

Pengajuan perkara menurun lagi pada 2013 meskipun angkanya tak jauh dari tahun sebelumnya menjadi 109 buah. Lalu pada 2014 kembali meningkat sebanyak 140 buah. Selanjutnya hingga April 2014, pengajuan UU yang sudah teregistrasi di MK sebanyak 46 buah.

Adapun undang-undang yang belum diimplementasikan tapi sudah digugat sejumlah masyarakat misalnya Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang Pilkada. Persoalan yang dipermasalahkan dalam UU tersebut beragam mulai dari pasal soal pelarangan politik dinasti, larangan mantan narapidana menjadi calon kepala daerah, hingga gugatan pasal UU Pilkada agar mengatur calon kepala daerah dari anggota legislatif mengundurkan diri dari jabatannya.

Gugatan pasal lainnya juga banyak diajukan terhadap Pasal 77 KUHAP dan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (UU KPK). Kedua UU ini banyak digugat sejumlah masyarakat baik perorangan maupun lembaga pasca terjadinya polemik politik soal pencalonan Budi Gunawan sebagai kapolri.

BACA JUGA: