JAKARTA, GRESNEWS.COM - Penahanan MA (24), oleh Mabes Polri yang diduga melakukan pencemaran nama baik dengan menshare foto bernuansa pornografi dengan wajah Jokowi di akun media sosial facebook, mengancam pemajuan perlindungan kebebasan berekspresi di Indonesia. Tindakan MA tersebut dinilai Direktur LBH Pers Padang Roni Saputra, seharusnya tidak dilihat sebagai tindakan tunggal oleh aparat penegak hukum.

Roni mengatakan, kondisi politik yang panas, perang media yang dilakukan oleh para pendukung dua kubu capres di masa kampanye Pilpres 2014 kemarin menjadi pemicu munculnya gambar-gambar tersebut. Selain itu, kata Roni, bermunculan pula segala komentar negatif dan positif bagi kedua kandidat capres saat itu.

"Munculnya fenomena foto editan kedua capres di hampir semua media sosial yang ada seharusnya dapat memberikan gambaran pada aparat penegak hukum, bahwa tindakan membagi-bagikan foto tersebut bukan bersumber dan hanya dilakukan oleh MA, tapi dari pihak lain yang punya kepentingan dalam kampanye tersebut," kata Roni dalam siaran pers yang diterima Gresnews.com, Rabu (29/10).

Karena itulah Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Pers Padang menilai tindakan aparat kepolisian untuk memproses laporan tim sukses Jokowi tidak tepat dan berdampak negatif pada pemajuan kebebasan berekspresi dan praktik berdemokrasi.

Diprosesnya MA sebagai satu-satunya pelaku tunggal dalam kasus pencemaran nama baik terhadap kandidat Presiden Jokowi bertentang dengan jaminan kebebasan mengutarakan pendapat yang dijamin oleh Pasal 28 Ayat (3) UUD 1945. Pasal itu berbunyi: "Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat".

Selain itu tindakan polisi itu juga dinilai bertentangan dengan jaminan perlakuan yang tidak diskriminatif dihadapan hukum sebagaimana yang ditegaskan Pasal 28 I Ayat (2).  Pasal itu berbunyi: "Setiap orang bebas dari perlakuan yang bersifat diskriminatif atas dasar apapun, dan berhak mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan yang bersifat diskriminatif itu".

Aparat Kepolisian seharusnya menelusuri akar masalah dan melihat permasalahan dari konteks yang lebih besar. Diprosesnya MA secara hukum, dengan menjerat pelaku dengan Pasal 310 dan 311 KUHP, Pasal 156 dan 157 KUHP, Pasal 27, 45, 32, 35, 36, 51 UU ITE,  bukanlah solusi memberikan efek jera pada pelaku kampanye hitam. "Hal itu juga mengancam daya kritis publik dalam upaya mengawal pembangunan dan pendewasaan demokrasi," ujar Roni.

Dia mengatakan, MA merupakan korban kesekian kali dari UU ITE. LBH Pers Padang menilai bahwa UU ITE merupakan ancaman yang nyata dalam kebebasan berekspresi di Indonesia. Ada banyak persoalan dalam UU ITE. Salah satunya adalah terdapat disparitas ancaman pidana antara KUHP dengan UU ITE dalam Pasal-pasal yang memiliki hubungan penerapan. Misalnya Pasal 27 Ayat (3) UU ITE merupakan genus dari pasal 310 KUHP, Pasal 28 ayat 2 UU ITE merupakan genus dari Pasal 156 KUHP.

Terdapatnya disparitas ancaman pidana ini kemudian berakibat terhadap dapat atau tidaknya seorang tersangka ditahan atau tidak oleh Penyidik. "Padahal kedua pasal yang memiliki hubungan tersebut megatur perbuatan yang sama," ujar Roni.

Dengan adanya pertentangan antar peraturan perundang-undangan ini, LBH Pers Padang menilai bahwa UU ITE kemudian kerap dijadikan alat membungkam kebebasan berekspresi di Indonesia, dan MA merupakan salah satu korban dari "abu-abunya" UU ITE. Karena itu, kata Roni, LBH Pers Padang mendesak agar Mabes Polri segera menangguhkan penahanan MA.

Selain itu, mereka juga meminta agar Presiden Joko Widodo "sebagai korban", juga membuka ruang dialog dalam menyelesaikan kasus MA. "Kami juga mendesak pemerintah Presiden Joko Widodo segera melakukan revisi terhadap UU ITE, karena jelas terdapat persolan dalam penerapan UU ITE," kata Roni.

Sementara itu, Mursidah, ibu MA, secara terbuka juga meminta agar Presiden Jokowi memaafkan perilaku anaknya. Mursidah mengatakan, saat menjenguk anaknya di tahanan Mabes Polri, MA mengatakan menyesal melakukan hal tersebut.

MA juga mengaku iseng atas perbuatannya. "Dia nggak tahu apa-apa. Dia cuma bercanda. Dia nyesel, dia iseng saja. Namanya juga anak muda," kata Mursidah sambil menangis sesenggukan.

Mursidah meminta Jokowi membebaskan MA. "Saya mohon Bapak Presiden, tolong dimaafkan anak saya. Tolong bebaskan dia. Dia nggak tahu apa-apa. Dia gede-gede bloon, " kata Mursidah sambil bersujud dan menangis.

Menurut Mursidah, MA merupakan anak pertama dari 4 bersaudara. MA merupakan tulang punggung keluarga. Ayah MA, disebut Mursidah, kerjanya serabutan dan tidak bertanggung jawab pada anak-anaknya. Karena itulah MA mengambil tugas ayahnya.

Mursidah juga kerja serabutan. "Saya pengupas bawang serabutan. Kalau ada orang minta dikerok saya kerok, ada yang minta cuci, saya cuciin," tutur Mursidah.

Fachrul, perwakilan keluarga MA, menyebutkan, MA hanya meng-copy paste foto rekayasa Jokowi dan Megawati dari grup rival Jokowi di internet saat Pilpres lalu. MA yang berusia 24 tahun disebut hanyalah pemuda yang polos.

"Dia anaknya polos, dia itu nggak tahu apa-apa. Orang dia itu copas foto dari grup rival capres Jokowi," ujar Fachrul saat ditemui di rumah ibu MA, Mursidah, di Jl H Jum, Ciracas, Jakarta Timur, Rabu (29/10/2014).

Fachrul menegaskan, sebenarnya MA tidak tahu menahu soal komputer. "Sebenarnya dia enggak ngerti komputer," ujar Fachrul. (dtc)

BACA JUGA: