JAKARTA, GRESNEWS.COM – Pasca putusan rapat paripurna Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) yang menyepakati disahkannya Undang-undang Pilkada melalui DPRD, sejumlah pihak diantaranya Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) dan sejumlah partai akan mengajukan uji materi ke Mahkamah Konstitusi (MK). Apa saja yang akan menjadi pertimbangan MK dalam memutuskan uji materi UU pilkada? Berikut pandangan para pengamat hukum terkait hal ini.  

Pengamat hukum dari Universitas Islam Negeri (UIN) Jakarta Andi Syafrani menjelaskan, sejumlah kemungkinan yang akan menjadi pertimbangan MK untuk menolak atau mengabulkan uji materi UU Pilkada. "Terkait dengan kemungkinan penolakan terhadap UU Pilkada, MK bisa beralasan di dalam UU ada aturan bahwa kepala daerah dipilih secara demokratis, sehingga pilkada melalui DPRD dapat dikatakan sama demokratisnya dengan pilkada secara langsung," kata Andi kepada Gresnews.com, Minggu (28/9).

Ia berargumen, jika selama ini publik menilai pilkada melalui DPRD dapat merenggut hak pilih rakyat, MK bisa saja mengatakan hak itu tetap ada karena pemilu diselenggarakan 5 tahun sekali untuk legislatif dan presiden. "Sehingga tidak ada pemasungan hak politik rakyat," katanya menambahkan.

Sementara, untuk pertimbangan MK mengabulkan uji materi tersebut, normanya pemilu lewat DPRD dianggap tidak demokratis karena kita telah melakukan sebuah eksperimen demokrasi secara langsung. Sehingga, MK mengakui pilkada melalui DPRD adalah langkah demokrasi yang mundur. "Pertimbangan lainnya, terkait dengan kesetaraan lembaga pemerintahan daerah," ujar Andi.

Dia menjelaskan, pemerintahan daerah terdiri daerah terdiri dari dua unsur yaitu kepala daerah dan DPRD. "Bagaimana mungkin ada pemerintahan daerah yang seimbang untuk melakukan check and balances kalau salah satunya dipilih oleh yang lain seperti kepala daerah yang dipilih DPRD. Padahal kepala daerah dan DPRD dalam sistem ketatanegaraan di Indonesia dianggap seimbang?" ujanya.

Andi mempertanyakan juga bagaimana mau menciptakan sistem pemerintahan yang sesuai konstitusi bahwa legislatif dan eksekutif yang masing-masing punya power kalau salah satunya subordinat atau dipilih oleh yang lainnya.

"Sama seperti DPR dan presiden. Itu kan dianggap kekuatan seimbang. Satu mewakili eksekutif dan satu mewakili legislatif. Dua-duanya tidak saling memilih. Tapi dipilih oleh rakyat. Sehingga jadilah check and balances. Karena tidak ada check and balances bisa dianggap sebagai tindakan yang inkonstitusional," katanya.

Sementara itu, pengamat hukum tata negara Refly Harun menuturkan uji materi UU Pilkada melalui DPRD punya peluang besar untuk dikabulkan. Ia menjelaskan paradigma konstitusi MK tidak terbatas pada tahun 2000 saja.

Pada tahun 2000, Pasal 18 Ayat (4) dirumuskan bahwa gubernur, bupati, dan walikota dipilih secara demokratis. "Waktu itu memang ada pengertian demokratis bisa langsung atau tidak," ujarnya pada Gresnews.com, Minggu (28/9).

Ia menjelaskan pada tahun 2000 ada perkembangan konstitusionalisme yang harus diperhitungkan. Pertama tahun 2001, ada perubahan pasal mengenai kedaulatan rakyat yaitu kedaulatan dan demokrasi di tangan rakyat dilakukan sepenuhnya oleh MPR, berubah menjadi kedaulatan di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-undang Dasar (UUD).

Artinya kedaulatan rakyat sudah bersifat langsung. "Pemilihan presiden tidak lagi dilakukan oleh MPR tapi langsung oleh rakyat," tuturnya.

Lalu tahun 2007 ada putusan MK terkait calon perseorangan bahwa pilkada yang tidak memberikan kesempatan pada calon perseorangan bisa dikatakan inkonstitusional. Ada juga putusan MK yang mengatakan hak memilih adalah hak asasi manusia.

Jadi perkembangan konstitusionalisme di Indonesia pada Pasal 18 sudah dapat ditafsirkan sebagai pemilihan langsung. "Hak direnggut pada yang sudah diberikan, itu bisa dikatakan bertentangan dengan konstitusi. Saya punya feeling dikabulkan dengan dukungan dari masyarakat," jelasnya.  

Secara spesifik Refly menyatakan, ada 4 prinsip yang memungkinkan pilkada langsung bisa dikabulkan oleh MK. Pertama, konsep kedaulatan rakyat. Kedua, sistem pemerintahan presidensil. Ketiga, konsep otonomi daerah yang memisahkan antara pemerintahan daerah dan DPRD. Terakhir, konsep pemilihan demokratis.

Terkait hal itu, pengamat politik dari UIN Jakarta Bakir Ihsan menuturkan parta politik merupakan pilar penting dalam demokrasi termasuk dalam pemilu. Bahkan untuk menjadi presiden, partai merupakan satu-satunya pintu masuk.

Sehingga, ia berpendapat kualitas pelaksanaan demokrasi dan pemilu termasuk pilkada dan bergantung pada pilarnya yaitu partai politik. "Mulai dari pengelolaan partai sampai pola rekrutmen yang demokratis menjadi prasyarat mutlak bagi nasib baik demokrasi," katanya pada Gresnews.com, Minggu (28/9).

BACA JUGA: