JAKARTA, GRESNEWS.COM - Rencana pemerintah untuk menyusun Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) tentang Pengetatan Peninjauan Kembali dikritik oleh Institute for Criminal Justice Reform (ICJR). Ketua Badan Pengurus ICJR Anggara Suwahju mengatakan, rencana pemerintah itu tidak tepat. "Mestinya pemerintah menyusunnya dalam bentuk RUU tentang Revisi KUHAP," kata Anggara kepada Gresnews.com, Kamis (15/1).

Anggara menyatakan, hukum acara peninjauan kembali yang ada dalam KUHAP saat ini sangat singkat dan pada prakteknya lebih mirip dengan hukum acara perdata. Untuk itu, demi kepastian hukum bagi semua pihak, ICJR mendorong agar pemerintah menyusun RUU Revisi KUHAP khusus untuk hukum acara peninjauan kembali ketimbang menyusun RPP Pengetatan Peninjauan Kembali

ICJR juga mengingatkan, pemerintah tidak bisa dan tidak membatasi frekeuensi pengajuan Peninjauan Kembali oleh terpidana sesuai putusan dari Mahkamah Konstitusi. "Pemerintah tidak boleh mengikuti kemauan dari Mahkamah Agung untuk membatasi hak terpidana dalam pengajuan Peninjauan Kembali," kata Anggara.

Anggara juga mengusulkan agar, dalam RUU tentang Revisi KUHAP soal Peninjauan Kembali, pemerintah berkonsentrasi terhadap beberapa isu spesifik seperti pengaturan prosedur dan tata cara Peninjauan Kembali, pengaturan adanya keadaan atau bukti baru (novum), pengaturan tentang ganti rugi apabila Peninjauan Kembali oleh terpidana dikabulkan oleh Mahkamah Agung, termasuk ganti rugi bagi terpidana yang telah menjalani hukuman mati. ICJR juga mendorong agar pengajuan Peninjauan Kembali oleh Jaksa Agung harus dilarang dalam RUU Revisi KUHAP tersebut.

ICJR juga mendesak agar bila terpidana mengajukan grasi dan kemudian mengajukan Peninjauan Kembali tidak boleh dibatasi. Karena pada prakteknya motivasi pengajuan grasi oleh Terpidana tidak hanya didorong oleh pengakuan bersalah akan tetapi banyak yang didorong oleh motivasi sekedar untuk mengurangi hukuman.

"ICJR juga tetap menuntut agar Mahkamah Agung segera mencabut SEMA No 7 Tahun 2014 yang telah bertentangan dengan konstitusi," kata Anggara tegas.

Persoalan SEMA tentang pembatasan PK ini memang masih menjadi polemik. SEMA tersebut telah menegasikan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang memperbolehkan PK dilakukan berulang kali. Persoalan ini pun menjadi pertarungan dua lembaga hukum antara MK dan MA.

Sejumlah pakar hukum menilai SEMA ini sebenarnya hanya berlaku di tataran internal MA. Walaupun begitu tingkatan hukum SEMA tidak bisa dikatakan setara dengan undang-undang dalam hal ini adalah putusan MK. Sehingga dari segi substansi karena SEMA berada di bawah UU maka sudah seharusnya SEMA sejalan dengan putusan MK.

Guru Besar Hukum Tata Negara UI yang juga mantan ketua Mahkamah Konstitusi Jimly Asshiddiqie menuturkan SEMA merupakan kebijakan yang isinya mengatur sesuatu. SEMA juga harus sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

"SEMA sifatnya internal ke jajaran. Niatnya untuk perketat agar jangan sampai PK digunakan penjahat untuk menghindar dari eksekusi. Sehingga fungsinya seperti itu dan harus kita pahami," ujar Jimly beberapa waktu lalu.

Ia melanjutkan untuk soal pembatasan PK yang sudah ditiadakan MK sebenarnya hanya berlaku untuk kasus pidana yang belum pernah dipertimbangkan di pengadilan. Sehingga bisa menjadi alasan untuk PK lebih dari satu kali.

Tapi pelaksanaan PK bukan berarti serta merta boleh lebih dari sekali. Sehingga persoalan PK tidak perlu menjadi perdebatan yang membuat masyarakat pusing. Saat ini solusinya tinggal bagaimana pelaksanaan dan implementasinya diatur.

Menurut Jimly, putusan MK setingkat dengan undang-undang (UU). Sehingga orang yang melanggar UU akan mendapat resiko hukum. Begitupun dengan MA kalau tidak menjalankan putusan MK bisa dikatakan salah. Justru MA harusnya menjadi contoh untuk pelaksanaan putusan MK yang bersifat final dan mengikat.

"Implementasi putusan MK bisa diperketat di Peraturan Pemerintah (PP). Harusnya diatur dalam UU KUHAP, tapi kan membuat UU lama, sehingga tidak ada salahnya diatur di PP," lanjutnya.

BACA JUGA: