JAKARTA, GRESNEWS.COM - Ibu tersangka "penghina" Presiden Joko Widodo (Jokowi), Mursyida meminta Kabareskrim Mabes Polri membebaskan putranya Mohammad Arsyad (MA) dari tahanan. MA ditahan di Mabes Polri sejak 24 Oktober 2014 karena dituduh telah melakukan penghinaan terhadap Presiden Jokowi lewat akun sosial Facebook.

Mursyida mendatangi Mabes Polri didampingi kuasa hukum MA, Abdul Aziz sekitar pukul 13.15 WIB siang tadi. Mursyida memohon Kabreskrim Komjen Suhardi Alius membebaskan putranya. Di depan wartawan, ibu empat anak ini juga menyampaikan permohonan kepada Presiden Jokowi untuk memaafkan dan membebaskan putranya.

Alasannya, putranya MA merupakan anak pertama dari empat bersaudara. Ia adalah tulang pungggung keluarga. "Kepada Presiden saya mohon maaf, tolong dimaafkan anak saya," kata Mursyida di Bareskrim Mabes Polri dengan berkaca-kaca, Kamis (30/10).

Mursyida mengatakan, putranya telah mengakui bahwa bukan dia yang membuat gambar Jokowi-Mega berbau pornografi tersebut. MA anaknya mengaku hanya ikut-ikutan dan iseng. Termasuk ikut masuk kelompok Anti Jokowi di Facebook.

Kata Mursyida, dalam pergaulan dengan lingkungan MA lebih banyak diam. Bahkan Mursyida tak pernah mendengar MA menyebut nama-nama Jokowi selama di dalam rumah. Saat kampanye Pilpres, MA hanya dirumah dan tidak ikut berkampanye.

Sementara kuasa hukum MA, Abdul Aziz yang mendampingi Mursyida mengatakan, kedatangannya untuk meminta Kabreskrim membebaskan MA. Alasannya, MA selama ini tulang punggung keluarga. Sebagai anak tertua, MA harus membiayai adik-adiknya.

Aziz mengatakan sebagai jaminan pembebasan dari tahanan adalah ibunya MA. Selain itu, MA akan bersikap kooperatif untuk pemeriksaan penyidik Bareskrim Mabes Polri. "Kami harap Kabareskrim mengabulkan permohonan ini," kata Aziz.

Menanggapi permohonan keluarga MA, Dirtipideksus Mabes Polri Bareskrim Mabes Polri Brigjen Pol Kamil Razak mengaku akan mempertimbangkannya. Kamil mengatakan yang berhak mengajukan penangguhan penahan adalah keluarga dan kuasa hukum.

Penyidik akan mempertimbangkan dibebaskan atau tidak jika MA bisa dipastikan tidak akan mengulangi perbuatannya, melarikan diri, mempengaruhi saksi, dan hilangkan barang bukti. "Akan kami pertimbangkan permohonan tersebut dengan diketahui RT RW setempat," kata Razak di kantornya.

Sebelumnya, Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas) berharap kasus ini tak berlanjut karena yang dilakukan pelaku sebelum Jokowi jadi presiden. Komisioner Kompolnas Adrianus Meliala mengatakan, ketika itu MA melakukan tindakan penghinaan kepada Jokowi sebelum jadi presiden. Saat itu Jokowi masih warga biasa sehingga bisa jadi sasaran penghinaan oleh siapapun.

Tapi setelah tanggal 20 Oktober, Jokowi bukan orang biasa lagi. Telah melekat pada diri kehormatan seorang presiden. "Tidak perlu pidana, cukup untuk memberikan awareness termasuk kepada masyarakat lain," kata Adrianus ditemua usai diskusi di Jakarta, Rabu (29/10).

Adrianus juga berharap Presiden Jokowi turun tangan untuk menyudahi kasus ini. Apalagi ini masih di awal pemerintahannya. Jokowi diharap memaafkan dan mencabut laporannya itu.

Sementara Indonesia Police Watch (IPW) menilai, dalam memproses kasus penghinaan pada Jokowi, Polri tidak profesional dan cenderung tebang pilih. MA remaja miskin yang tidak punya kekuasaan yang dituduh menghina Jokowi dengan cepat ditangkap dan ditahan Polri. Sebaliknya, dua tersangka Obor Rakyat yang juga dituduh menghina Jokowi hingga kini belum ditahan.

Menurut Ketua Presedium IPW Neta S Pane, ketika elit Polri bersikap diskriminatif dan hanya berani menangkap MA tapi tidak berani menangkap dua tersangka Obor Rakyat, maka elit-elit Polri sudah mempermalukan dirinya sendiri maupun institusinya. Sikap elit Polri yang diskriminatif ini hanya akan mempermalukan Jokowi sebagai korban dan sebagai presiden.

"Publik bisa menuding bahwa Jokowi lah di balik semua ini, yang memerintahkan penangkapan terhadap MA," kata Neta dalam rilisnya kepada Gresnews.com, Kamis (30/10).

BACA JUGA: