JAKARTA, GRESNEWS.COM - Geliat pembangunan di areal pertambakan bumi dipasena semakin terasa, perbaikan fasilitas usaha budidaya dan infrastruktur umum kini semakin dipercepat. Para petambak di kecamatan Rawajitu Timur, Kabupaten Tulang Bawang Lampung kini sedang konsentrasi mengerjakan perbaikan jalan poros Rawajitu yang merupakan jalan propinsi secara swadaya. Selain pengerjaan jalan untuk persiapan arus mudik mereka saat ini pun tengah gencar menyelesaikan pengerjaan dua unit tongkang alat berat excavator yang nilainya mencapai Rp1 miliar lebih.

Ketua P3UW, Nafian Faiz menyampaikan bahwa proyek revitalisasi mandiri yang kini tengah dijalankan oleh seluruh petambak di bumi Dipasena sesungguhnya mengalami sedikit kendala dan keterlambatan yang disebabkan oleh turunnnya harga udang. "Revitalisasi mandiri akan terus berlanjut meskipun sedikit terkendala karna turunnya harga udang, kami yakin bahwa bumi dipasena akan kembali menjadi penghasil udang terbesar seperti dulu lagi," ujar Nafian kepada Gresnews.com, Minggu (27/7).

Penurunan harga udang dan naiknya kebutuhan budidaya memang menjadi pukulan telak bagi seluruh pembudidaya udang di indonesia, harga udang yang semula mencapai Rp80 ribu per kilogram kini turun hingga Rp55 ribu perkilogram. Hal ini masih di perburuk dengan naiknya harga kebutuhan budidaya.

Nafian faiz yang juga merangkap sebagai kepala kampung di bumi dipasena ini menambahkan bahwa petambak berharap agar pemerintah daerah maupun pusat dapat turut serta berperan aktif dan memberikan dukungan nyata terhadap apa yang telah dilakukan oleh masyarakat. "Kami akan berupaya secara mandiri dalam mengembalikan kondisi bumi Dipasena," kata Nafian.

Peran pemerintah sendiri memang diperlukan petambak, mengingat upaya revitalisasi tambak Dipasena lantaran, pemerintah sepertinya selalu kalah dengan swasta dalam hal ini PT Aruna Wijaya Sakti/Charoen Phokpand Group (PT AWS/CPP) dan juga pihak PT Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk dan PT Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk.

Seperti diketahui, alih-alih melakukan revitalisasi sesuai amanat pemerintah, PT AWS/CPP justru malah memperkarakan petambak eks Dipasena terkait perjanjian kemitraan dalam upaya revitalisasi.

Sementara BRI dan BNI dianggap tidak berkomitmen memberikan peluang penyelesaian permasalahan Kredit Investasi dan Kredit Modal Kerja. "Kredit tersebut pada dasarnya tidak dinikmati secara langsung oleh petambak namun di kuasai oleh PT Aruna Wijaya Sakti/Charoen Phokpand Group (PT AWS/CPP)," kata Ketua Koperasi Bumi Dipasena Thowilun.

Thowilun mengatakan, PT AWS/CPP menjadi penerima dan penjamin (avalis) kredit tersebut sebagai konsekuensi dari perjanjian kemitraan inti-plasma yang menjadi modal melakukan revitalisasi namun tidak pernah dilaksanakan PT AWS/CPP.  Pada acara mediasi dengan Komnas HAM sebagai mediator, petambak menyatakan komitmennya untuk menyelesaikan permasalahan kredit yang disambut kesediaan pihak BRI dan BNI untuk melakukan restrukturisasi hutang petambak.

Akan tetapi hingga saat ini, belum ada langkah konkret dari pihak BRI maupun BNI untuk menindaklanjuti hasil mediasi tersebut. "Kondisi ini tentu saja menimbulkan ketidakpastian bagi petambak saat ini," kata Thowilun lagi.

Dia bercerita, terdapat ribuan petambak udang eks-Dipasena yang terpaksa menandatangani perjanjian akad kredit dengan pihak BNI dan BRI. Status utang kredit tersebut menjadi beban kepada petambak namun petambak tidak pernah menguasai secara langsung dan tidak pernah mendapatkan status laporan utang. Padahal setiap panen udang akan dipotong sebesar 20% dari sisa hasil usaha untuk melunasi utang tadi.

Sebagaimana diketahui, PT AWS/CPP telah gagal melaksanakan kewajiban revitalisasi pertambakan udang eks-Dipasena sebagaimana yang diperjanjikan dalam penjualan aset eks Dipasena oleh PT Perusahaan Pengelola Aset (PPA). Dahulu ketika kerjasama petambak dengan PT itu dibuat, masing-masing petambak mendapatkan sebuah rumah sederhana dan 2 petak lahan seluas 2000 meter persegi.

Semua yang didapatkan petambak Dipasena tertanggung sebagai utang yang besarannya Rp165 juta untuk setiap petambak. Sistem pelunasannya dilakukan dengan pemotongan hasil panen 20% setiap usai panen. Utang tersebut diperkirakan akan lunas dalam 8 tahun. Sayangnya pola kemitraan ini kemudian berantakan memasuki tahun 1997.


PT DCD ternyata tidak transparan dalam mengelola keuangan para petambak. Saat itu budidaya petambak plasma berhasil, namun sudah berjalan 8 tahun lebih, utang yang ditanggung petambak tak juga lunas, bahkan jumlahnya bertambah. Perusahaan menganggap utang itu muncul akibat krisis moneter yang melanda pada tahun itu.

Di sisi lain para petambak merasa sudah melunasi kewajibannya karena selama 8 tahun itu terus mencicil sebesar 20% dari hasil panen. Namun bukannya keterbukaan yang diperoleh, perusahaan malah semakin menekan petambak. Perusahaan mulai menentukan sendiri harga beli udang dari para petambak dan menentukan harga produksi udang. Akhirnya para petambak pun mulai melancarkan protes.

Nasib para petambak terus terkatung-katung terutama setelah pada tahun 2000, Sjamsul Nursalim dinyatakan terlibat kasus korupsi Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI). Aset-aset milik Sjamsul disita termasuk PT DCD dan diambil alih oleh BPPN. Tanggal 24 Maret 2004, aset Grup Dipasena termasuk tambak Bumi Dipasena diserahkan kepada PT Perusahaan Pengelola Aset Negara (PT PPA). Dan pada September 2004 Dipasena dimasukkan dalam program revitalisasi yang merupakan amanat DPR.

Program revitalisasi ini juga menjadi program kerja 100 hari pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang saat itu baru saja terpilih. Lewat program revitalisasi itu, tambak Dipasena akan dipulihkan ke kondisi awal dengan cara memperbaiki pola kemitraan. Hubungan kerjasama anatara perusahaan sebagai inti dan petambak sebagai plasma diaktualisasikan dengan memperbaiki perjanjian kerjasama antara petambak dengan PT DCD.

Namun PT PPA kemudian pada 24 Mei 2007 menjual aset kredit dan saham Grup Dipasena kepada PT Central Proteina Prima (CPP Group). Penjualan ini sendiri menjadi kontroversial karena aset yang bernilai Rp2,388 triliun itu ternyata hanya dijual seharga Rp688 miliar. PT CPP yang membeli aset itu adalah anak perusahaan Charoen Pokphand asal Thailand dan dalam perjanjian pembelian disebutkan sisa aset perusahaan sebesar Rp1,7 triliun dialokasikan untuk revitalisasi tambak selama 12 bulan sebagai kelanjutan amanat revitalisasi tahun 2004.

Sejak itu PT DCD sebagai inti digantikan oleh PT AWS/CPP dan perjanjian kerjasama dengan plasma ditandatangani pada 17 Desember 2007. Dalam perjanjian itu disebutkan PT AWS/CPP akan memberikan kredit kepada petambak dengan jaminan sertifikat para petambak. Sayangnya sejak awal perjanjian itu sudah tidak berjalan mulus karena PT AWS ternyata mangkir dari kewajiban.

Hingga awal tahun 2011 PT AWS/CPP hanya melakukan revitalisasi pada lima blok saja yaitu Blok 0, Blok 1, Blok 2, Blok 3 dan Blok 7. Itupun dilakukan bersama masyarakat. Sementara banyak petambak yang lahannya belum direvitalisasi menggantungkan hidup dari utang yang diberikan perusahaan sebesar Rp900 ribu perbulan sebagai Biaya Hidup Petambak Plasma (BHPP). Uang tersebut bukanlah pemberian cuma-cuma, namun menjadi tanggungan hutang petambak kepada perusahaan yang jumlahnya semakin besar.

Tak hanya itu, sebagian besar petambak yang tambaknya sudah direvitalisasi dan sudah berbudidaya merasakan kesewenang-wenangan perusahaan karena Sisa Hasil Usaha (SHU) dari penjualan udang yang telah dipanen tak dibayar oleh perusahaan. Seharusnya petambak menerima SHU 14 hari setelah masa panen, tetapi hingga Mei 2011 SHU petambak antara bulan Februari-April tak kunjung dibayarkan. Total SHU seluruh Petambak Plasma Bumi Dipasena yang belum dibayarkan kepada petambak mencapai sebesar Rp38 miliar.

Kegagalan revitalisasi menimbulkan kekecewaan bagi petambak yang berujung pada polemik pemutusan hubungan kemitraan. Merespon hal ini, secara sepihak PT AWS/CPP menggugat 385 orang petambak dengan dalil telah ingkar janji (wanprestasi) dengan salah satunya karena tidak beriktikad untuk melunasi hutang kredit yang tidak pernah jelas statusnya. Kasus ini sendiri saat ini memasuki tahap kasasi.

Pada tahap pertama, PN Menggala, Lampung memenangkan pihak petambak. Gugatan PT AWS/CPP dinyatakan tidak dapat diterima berdasarkan eksepsi dari tergugat. Eksepsi yang dikabulkan oleh Majelis Hakim adalah karena terjadi penggabungan gugatan yang salah dilakukan oleh PT. AWS/CPP terhadap 200 tergugat petambak plasma dalam dua gelombang dengan total 400 tergugat petambak plasma.

Hanya saja putusan itu kemudian dianulir oleh Pengadilan Tinggi Tanjung Karang, Lampung yang balik memenangkan pihak PT AWS/CPP. Atas putusan itu, kemudian pihak petambak mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung.

Saat ini, situasi usaha petambak eks Dipasena ini sendiri berjalan baik. Untuk mendukung kegiatan budidaya tersebut, telah dibentuk suatu badan usaha koperasi dengan nama Koperasi Petambak Bumi Dipasena (KPBD) yang berfungsi sebagai wadah ekonomi bagi petambak dalam melakukan budidaya udang secara lebih adil dan baik.

Petambak juga melakukan rehabilitasi sarana dan prasarana pertambakan secara swadaya di bawah "Program Revitalisasi Mandiri".  Ari Suharso, salah seorang petambak mengatakan, para petambak mampu mengelola tambak eks Dipasena itu secara mandiri. Untuk permodalan, setiap rukun warga mengumpulkan dana iuran yang besarnya Rp5 juta-Rp70 juta per petambak.

Di wilayah RW Delta, tempat tinggalnya, kata Ari, ada sekitar 80 KK dengan jumlah petambak mencapai 2.000 orang. "Modal yang terkumpul bisa cukup besar untuk menghidupkan tambak," ujarnya kepada Gresnews.com, beberapa waktu lalu.

Petambak kini bisa menghasilkan keuntungan 3 kali lipat. Dengan modal antara Rp20 juta-Rp100 juta misalnya, para petambak kini bisa menghasilkan uang sebesar Rp60 juta-Rp300 juta per periode. Satu periode pembibitan udang hingga panen memakan waktu antara 2,5-3,5 bulan.

Dari menyebar 10.000 bibit, saat ini petambak bisa menghasilkan rata-rata 100 kilogram udang dengan harga Rp78 ribu-Rp80 ribu per kilogram dengan size standar 60 ekor udang per kilogram.

BACA JUGA: