JAKARTA, GRESNEWS.COM – Komisi Nasional Perempuan menyayangkan tidak dijadikannya pertimbangan faktor perdagangan manusia dalam perkara terpidana mati kasus narkoba. Padahal terjerumusnya terpidana narkotika karena adannya faktor perdagangan manusia.

Demikian juga dalam kasus terpidana Mary Jane Veloso yang dinilai faktor perdagangan manusia tidak menajdi pertimbangan hukum atas vonis hukuman mati baginya. Pasalnya proses hukum yang dijalani Mary mulai dari awal hanya berfokus pada persoalan narkobanya tanpa melihat bahwa terpidana bisa terjerat kasus narkoba lantaran menjadi korban perdagangan manusia.

Komisioner Komnas Perempuan Yuniyanti Chuzaifah mengatakan dalam proses penanganan kasus narkoba yang sering dilihat hanya dalam aspek undang-undang psikotropikanya. Sementara dimensi perdagangan manusia seperti yang dialami Mary tidak dimasukkan ke dalam proses hukum yang telah dilalui.

"Pembelaannya lebih fokus ke soal narkotikanya dan belum mengintegrasikan aspek perdagangan manusia. Ini yang kita persoalkan," ujar Yuniyanti dalam konferensi pers hukuman mati pada Mary di gedung Komnas Perempuan, Jakarta, Jumat (24/4).

Sebab, menurut Yuniyanti, memang tidak semua orang bisa berpikir ke soal perdagangan manusia kalau tidak punya perspektif gender dan hak asasi manusia.

Yuniyanti menceritakan bahwa Mary merupakan korban kawin muda. Kini Mary memiliki dua anak dan menjadi single parent karena sudah bercerai dari suaminya yang tidak memiliki pekerjaan. Mary sempat menjadi buruh migran di Dubai dan hampir menjadi korban perkosaan. Akhirnya ia pun pulang kembali ke negara asalnya Filipina.

Setelah kembali ke Filipina, Mary direkrut untuk menjadi pekerja rumah tangga di Malaysia oleh teman mantan suaminya Maria Kristina Sergio. Saat sampai di Malaysia dengan visa turis, ia tidak bisa langsung bekerja karena majikannya sedang berada di luar negeri. Sehingga Mary pun diminta ke Indonesia selama satu minggu.

Sebab Mary sangat miskin, ia hanya memiliki beberapa baju. Akhirnya ia pun dibelikan baju bekas. Karena tidak memiliki tas, ia minta dibelikan tas oleh Maria. Akhirnya dibelikan tas yang memiliki roda oleh teman Maria. Saat dibelikan tas, ia hanya mempertanyakan tas tersebut terasa berat. Maria hanya menjawab tas baru yang memiliki roda memang terasa lebih berat. Mary pun tidak curiga sedikitpun.

Mary pun menyusun pakaiannya untuk dimasukkan ke dalam tas tersebut. Setelah itu, MJV diberikan tiket menuju Indonesia. Saat sampai di Yogyakarta, tasnya dianggap bermasalah setelah di-scan sebanyak empat kali. Akhirnya petugas imigrasi membuka bagian belakang tasnya dan ditemukan heroin seberat 2,6 kg. Setelah itu ia langsung diproses hukum.

Berdasarkan kronologi yang dialami Mary, Yuniyanti menyimpulkan Mary merupakan korban perdagangan manusia karena dipindahkan tanpa persetujuan dan ilegal serta korban penipuan. Ia menyayangkan proses pengadilan yang telah dilalui tidak memasukkan dimensi perdagangan manusia.

Maksudnya Mary merupakan korban tapi malah dia yang mendapatkan hukuman. Sehingga terdapat pengadilan yang tidak komprehensif dan adil terhadap kasus Mary lantaran yang dilihat hanya dari perspektif psikotropika.

Senada dengan Yuniyanti, Wakil Indonesia untuk ASEAN Commission untuk pemajuan dan perlindungan hak asasi perempuan dan anak Lily Purba menyatakan prihatin atas vonis mati terhadap Mary yang merupakan korban perdagangan manusia. Menurutnya Mary belum tentu berperan sebagai pengedar dalam jual beli narkoba.

"Ini merupakan pemunduran terhadap perlindungan hak perempuan," ujar Lily pada kesempatan yang sama.

Untuk diketahui, Mary masuk ke dalam 10 orang yang tercatat akan menjalani hukuman mati gelombang kedua. Sebelumnya sebanyak 6 orang telah dieksekusi mati oleh pemerintah di gelombang pertama pada Januari 2015.

BACA JUGA: