JAKARTA, GRESNEWS.COM - Peneliti Setara Institute Ismail Hasani berpendapat, kecil kemungkinan Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan permohonan yang meminta masa jabatan hakim konstitusi dipermanenkan seperti pada hakim agung. Alasannya, pembatasan yang tertuang dalam Pasal 22 Undang Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Mahkamah Konstitusi (UU MK) merupakan ketentuan yang bersipat open legal policy (kebijakan hukum terbuka).

Kewenangan ini, kata Ismail, ada pada pembuat undang-undang. "Kalau pun pembuat undang-undang akan membuatnya permanen, itu diperkenakan. Tidak ada pelanggaran konstitusional di situ," kata Ismail kepada Gresnews.com, Jumat (21/11).
 
Menurut Ismail yang juga anggota Presidium Constitusional Democrasy (CDF) ini, pembatasan masa jabatan hakim konstitusi tersebut justru sejalan dengan rotasi kekuasan. Sebab, MK merupakan kristalisasi dari tiga kekuasaan, yaitu Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Presiden dan Mahkamah Agung (MA).
 
Sembilan anggota hakim konstitusi diajukan oleh ketiga lembaga tinggi negara tersebut, masing-masing tiga orang. Dengan demikian, MK memegang tiga kekuasaan yang merepresentasikan kepentingan konstitusional lembaga itu. Ketika periodisasi politik (DPR dan presiden) ada pembatasan, lanjutnya, maka masa jabatan MK juga dibatasi.
 
Ismail membenarkan dasar kewenangan MK dan MA bersumber dari norma hukum yang sama, yakni Pasal 24 a dan c uud 1945. "Tetapi ciri jabatan hakim konstitusi berbeda dengan hakim pada peradilan umum yang diangkat berdasarkan usia minimum tertentu dan menjalankan tugas sampai dengan batas usia pensiun," ujarnya menambahkan.
 
Sumber hakim antara hakim konstitusi dengan hakim agung juga berbeda latar belakang. Hakim MK merupakan represesntasi politik, sementara hakim MA berasal dari hakim karir dan nonkarir. Kemudian, pembatasan masa jabatan hakim konstitusi juga sekaligus untuk mencegah munculnya abuse of power (penyalahgunaan kekuasaan).
 
Seperti diketahui, ketentuan masa jabatan dalam Pasal 22 yang menyatakan "Masa jabatan hakim konstitusi selama 5 (lima) tahun dan dapat dipilih kembali hanya untuk 1 (satu) kali masa jabatan berikutnya" diminta untuk dibatalkan, dan dipersamakan dengan hakim agung yaitu berdasarkan usia pensiun.
 
Permohonan uji materi UU MK itu dimohonkan oleh seorang warga negara bernama Riyanti. Menurut kuasa hukum pemohon, Vivi Ayunita Kusumandari, perbedaan masa jabatan kedua lembaga tersebut sangat diskriminatif dan aneh. Padahal, pengaturan MK dan MA bersumber dari norma yang sama, yaitu Pasal 24 Ayat (2) UUD 1945. Kemudian putusan MK Nomor 34/PUU-X/2012, yang menyatakan MK dan MA merupakan lembaga yang setara.
 
Vivi menilai, norma yang ada pada Pasal 22 MK juga tidak sinkron dengan Pasal 23 Ayat (1) butir c UU MK yang menyatakan hakim konstitusi diberhentikan dengan hormat dengan alasan telah berusia 70 tahun. "Ini, tidak memberikan kepastian hukum dan bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945," katanya di sidang perdana Pengujian UU MK, di gedung MK, Jakarta Pusat, Kamis (20/11) kemarin.
 
Karena itu, ia meminta MK menyatakan Pasal 22 UU MK bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat, sepanjang frasa: "masa jabatan hakim konstitusi selama 5 (lima) tahun dan dapat dipilih kembali hanya untuk 1 (satu) kali masa jabatan berikutnya" dan tidak dimaknai sebagai: "masa jabatan hakim Mahkamah Konstitusi sejak mengucapkan sumpah pelantikan sampai memasuki usia pensiun (berusia 70 tahun)".
 

BACA JUGA: