JAKARTA,GRESNEWS.COM - Kejaksaan Agung bakal membuka kasus Chevron Jilid II dengan menyeret unsur pemerintah dalam hal ini Kementerian Lingkungan Hidup dan BP Migas (saat ini SKK Migas). Untuk itu Kejaksaan Agung harus mampu mempidana mantan General Manager (GM) Sumatera Light North Operation PT Chevron Pasific Indonesia (CPI) Alexiat Tirtawidjaja yang saat ini dikabarkan tinggal di Amerika Serikat.

"Kita harapkan yang bersangkutan (Alexiat) segera datang, dan kita periksa dia dan nanti kalau ada pengembangan dengan pihak-pihak lain (pemerintah) apa boleh buat, teori apa boleh buat juga itu perlu," katanya Jaksa Agung Muda Pidana Khusus (Jampidsus), R Widyopramono ditemui di Kejagung, Jumat (19/9).

Dalam kasus ini, Widyo mengatakan untuk menindaklanjutinya penyidik perlu melakukan kajian. Terutama mendapatkan keterangan dari tersangka Alexiat. Jika kasus Chevron jilid terjadi, Widyo meyakini penyidiknya mampu membuktikan kasus ini.

Karena itu, Kejagung mengaku serius untuk menghadirkan Alexiat di hadapan penyidik. Widyo mengaku telah melakukan pertemuan dengan perwakilan kedutaan besar Amerika Serikat yang berada di Indonesia. Pertemuan itu untuk meminta Kedubes AS untuk bisa menghadirkan Alexiat didepan hadapan penyidik pidana khusus untuk menjalani pemeriksaan.

"Saya sudah sampaikan dulu, bahwa kejaksaan tidak tinggal diam terhadap itu, saya sudah ketemu perwakilan kedubes Amerika pak Steven Catler, saya sudah sampaikan meminta bantuan untuk pemanggilan  dan mencarikan Alexiat, pertemuannya kira-kira 4 hari lalu di Pidsus (Kejagung), dia datang ke tempat saya," jelasnya.

Namun Widyo tidak menjamin pemeriksaan itu dilakukan waktu cepat. Namun pembicaraan dengan Kementerian Luar Negeri, Kedubes Amerika Serikat dan Tim Terpadu telah dilakukan.

Secara terpisah Kepala Bagian Humas SKK Migas, Handoyo Budi Santoso mengatakan SKK Migas akan mengikuti seluruh proses hukum yang ada termasuk dalam kasus Chevron. "Itukan sudah menjadi Kewenangan hukum kita, semua warga negera indonesia harus taat hukum semuanya, kan begitu, nggak ada yang kebal hukum, itu saja patokannya," kata Handoyo.

Menurutnya, saat ini SKK migas sedang dalam pengeloaan tata kelola yang baik dan taat kepada hukum semua tanpa terkecuali.

Kordinator Masayarakat Anti Korupsi Indonesia (MAKI) Boyamin Saiman mengaku kecewa dengan kinerja Kejaksaan Agung yang tidak menyentuh unsur pemerintah dalam kasus bioremediasi PT Chevron Pacific Indonesia (CPI), padahal unsur tindak pidana korupsi itu bisa terjadi dari dua unsur pemerintah dan swasta. "Kecewa terhadap kejagung karena unsur pemerintah belum disentuh, aman aja itu pemerintah,ini lucu," kata Boyamin.

Apalagi, kata Boyamin, Kementerian Lingkungan Hidup pernah menyatakan pembenar bahwa proyek itu benar dikerjakan padahal fiktif.

Alexiat sebelumnya berada di Amerika Serikat dan sudah beberapa kali mangkir dari panggilan penyidik. Awalnya, dia mengaku tengah merawat suaminya yang tengah sakit di sana.

Namun setelah sekian lama dan penyidik berkali-kali memanggilnya, Alexiat tak jua memenuhi panggilan itu, meski para tersangka kasus ini sudah divonis bersalah oleh pengadilan.

Pihak Kejaksaan menyebutkan telah menurunkan tim khusus untuk mengejar Alexiat. Ketika itu, Widyo mengatakan, telah mengetahui keberadaan Alexiat di Amerika Serikat, tepatnya di California.

Alexiat sendiri telah ditetapkan sebagai tersangka sejak tahun 2012, namun belum pernah menjalani pemeriksaan sebagai tersangka karena kabur sehari sebelum diperiksa kejaksaan. Dari hasil penyidikan kejaksaan diketahui kalau proyek pengadaan bioremediasi tersebut adalah fiktif.

Padahal, untuk kepentingan bioremediasi tersebut, Chevron sudah mengklaim biaya bioremediasi tersebut ke pemerintah, sehingga, dari hasil perhitungan kejaksaan, negara telah dirugikan Rp200 miliar.

Diketahui, Dalam kasus ini Kejagung memang telah menetapkan tujuh tersangka. Namun dari unsur pemerintah belum ada yang ditetapkan tersangka. Sedangkan korupsi tidak akan terjadi, jika tidak ada kerjasama antara swasta dan pemerintah.

Tujuh orang tersangka yang sudah terbukti bersalah dan dipidana berkisar dua sampai lima tahun, adalah Endah Rumbiyanti, Widodo, Kukuh Kertasafari, Bachtiar Abd Fatah. Satu lagi dari PT CPI Alexiat Tirta Wijaya. Dua dari kontraktor, adalah Ricksy Prematuri (PT Green Planet Indonesia) dan Herlan (PT Sumigita Jaya).

Peran unsur pemerintah disini, adalah Kementerian Lingkungan Hidup (KLH) dan BP Migas (kini, SKK Migas). KLH yang merekomendasikan kepada BP Migas untuk membayar proyek senilai US$270 juta yang bersifat cost recovery (dikerjakan dahulu, baru dibayar), meski proyek bermasalah.

Masalah dalam hal ini, karena ada unsur Tph (total petroleum hidrokarbon) yang dikatakan KLH sudah diteliti dan unsurnya memenuhi syarat untuk proyek pemulihan lahan bekas eksplorasi Migas. Padahal, alat untuk meneliti unsur tersebut tidak ada dan terbukti di Pengadilan Tipikor.

BACA JUGA: