JAKARTA, GRESNEWS.COM - Dalam hitungan hari ke depan, tepatnya tanggal 21 Agustus, Mahkamah Konstitusi akan membacakan putusan sengketa Perselisihan Hasil Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden (PHPU Pilpres) Tahun 2014. Soal pihak mana yang bakal dimenangkan MK dalam persidangan itu, ataupun keputusan apa yang akan dikeluarkan MK terkait perselisihan itu, sepenuhnya menjadi hak Majelis Hakim Konstitusi berdasarkan bukti-bukti yang ada.

Hanya saja dalam penilaian Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) dan Indonesian Legal Rountable (ILR), MK tidak memiliki alasan untuk mengabulkan permohonan Prabowo-Hatta tersebut. Direktur Eksekutif Perludem Titi Anggraini mengatakan, pihaknya menyimpulkan hal tersebut setelah mencermati proses persidangan yang sudah berlangsung dan mengurai dua pokok permohonan yang diajukan pasangan Prabowo-Hatta dalam perkara tersebut.

Pertama, Prabowo-Hatta mendalilkan perolehan suara yang benar adalah sebanyak 67.139.153 pemilih (50,26%) untuk pasangan Prabowo-Hatta. Sementara kubu Jokowi-JK hanya sebesar 66.435.124 pemilih (49,74 persen) dengan jumlah pemilih 133.574.27.

Kedua, pihak pasangan nomor urut 1 itu juga meminta MK membatalkan keputusan Komisi Pemilihan Umum Nomor 535/KPTS/KPU/2014 tanggal 22 Juli 2014 yang memenangkan pasangan Jokowi-JK. Sebaliknya pihak Prabowo-Hatta meminta MK memenangkan pihaknya.

Kedua materi gugatan itu, kata Titi, tidak memiliki dasar pembuktian yang kuat. "Padahal kalau hitung-hitungan Prabowo-Hatta ini yang dipakai, maka selisih antara perolehan suara Prabowo-Hatta dengan Jokowi-JK, kurang dari satu persen," jelas Titi dalam diskusi "Menebak Arah Putusan MK" di Kafe Deli, Jakarta Pusat, Selasa (19/8).

Sementara di sisi lain, menurut Titi, penambahan suara 5 juta lebih suara yang diperoleh berdasarkan hitung-hitungan Prabowo-Hatta itu yang seharusnya dibuktikan sehingga semua pihak yakin, bahwa KPU melakukan kesalahan dalam melakukan penghitungan suara. Kenyataanya, kata Titi, hal ini tidak pernah diungkapkan pemohon dan dipersandingkan di dalam persidangan.

"Sampai persidang kedelapan yang digelar pada Senin kemarin, tidak pernah dilakukan persandingan suara secara rinci dengan hasil suara yang ditetapkan KPU, sehingga diketahui dibagian mana KPU melakukan salah hitung," terangnya.

Kemudian, apa yang dipersoalkan Prabowo-Hatta ini ternyata tidak didukung fakta ditingkai provinsi, kabupaten/kota hingga ke tingkat bawah. Sebab, kenyataanya dalam berita acara rekapitulasi, mayoritas saksi Prabowo-Hatta tidak mengajukan keberatan.

Persoalan kedua yang didalilkan Prabowo-Hatta adalah terkait proses penyelenggaraan Pilpres yang dinilai penuh kecurangan secara terstruktur, sistematis, dan masif (TSM). TSM ini kemudian berkembang menjadi pendapat kubu Prabowo-Hatta yang menyatakan kalau ada satu pelanggaran Pemilu maka dipastikan pelaksanaan Pilpres secara kesuluruhan inkonstitusional.

Diantaranya terkait dalil daftar pemilh khusus tambahan (DPKTb). "DPTKtb ini adalah isu yang dibawa sebagai persoalan inkonstitusional yang diperluas. Sementara persoalan DPKTb, senafas dengan Keputusan MK Nomor 102/PUU-VII/2009 yang memperbolehkan warga negara yang tidak terdaftar dalam pemilih daftar pemilih tetap (DPT) untuk menggunakan hak memilihnya di Pilpres," tutur Titi.

Menurut Titi, keputusan itu tidak hanya berlaku pada Pilpres 2009, tapi berlaku untuk pemilu berikutnya. "Pendekatan yang menyatakan dasar hukum penyusunan DPKTb inkonstitusional sangat lemah dan menyakitkan pemilih," jelasnya.

"Sangat berat untuk membenarkan dalil pemohon yang menyatakan telah terjadi kecurangan secara terstruktur, sistematis, dan masif yang dapat mempengaruhi hasil perolehan suara Pilpres," kata Titi.

Pernyataan senada disampaikan Sekretaris Eksekutif ILR Firmansyah Arifin. Menurutnya, secara ekplisit MK diberikan wewenang untuk menelisik antara perolehan suara yang ditetapkan KPU dengan perolehan suara yang benar menurut pemohon dalam sengketa Pilpres.

Kemudian berkembang melihat faktor-faktor yang menyebabkan perolehan suara itu salah hitung, seperti indikasi kecurangan-kecurangan yang disebut terstrukur, sistematis, dan masif. Namun, kenyataannya, kata Firman, tidak ada satupun dalil pemohon yang fokus bisa membuktikan tuduhan tersebut. "MK akan sulit mengabulkan permohonan Prabowo-Hatta," ujarnya.

Akan tetapi kalau dikaitkan dengan dalil konstitusionalitas yang menyebutkan kalau ada satu pelanggaran atau kecurangan penyelenggaraan pemilu, seperti administratif maka bisa membatalkan pemilu, ada kemungkinkan dikabulkan meski tidak seluruhnya. Namun dugaan ini tidak pernah didukung bukti-bukti yang terkonfirmasi dan terungkap dipersidangan.

"Kalau pun kemudian MK mengabulkan karena ada satu pelanggaran dibandingkan dengan 8 juta suara maka ini juga tidak adil bagi suara mayoritas lainnya," jelasnya.

Karena itu, itu berpendapat, permohonan itu harus ditolak MK. "Kita melihat fakta-fakta dan aspek substansial yang diajukan Prabowo-Hatta tidak bisa mengungkap apa yang didalilkan," tegasnya.

BACA JUGA: