JAKARTA, GRESNEWS.COM - Kejaksaan Agung (Kejagung) enggan menjelaskan alasan dikeluarkannya surat perintah penghentian perkara (SP3) dugaan korupsi penyalahgunaan kredit pengadaan drying center atau alat pengering gabah dari Bank Bukopin ke PT Agung Pratama Lestari. Jika sebelumnya Jaksa Agung Muda Pidana Khusus (Jampidsus) R Widyopramono menyebut penerbitan kasus tersebut sebelum dirinya menjabat, namun kini Widyo meminta agar penghentian kasus yang diduga merugikan negara Rp76 miliar itu agar tak lagi dipersoalkan.

"Jaksa sudah menghentikan penyidikan dan itu murni dan sudah berdasarkan hukum tidak ada alasan yang lain," kilah Widyo di Kejagung, Jakarta, Jumat (19/12).

Widyo malah meminta kepada pihak-pihak yang tak puas untuk menggugat penerbitan SP3 tersebut ke pengadilan. "Silahkan pihak-pihak yang tidak puas dengan itu untuk melakukan langkah hukum juga," sambungnya.

Soal dugaan adanya perpecahan suara diantara petinggi Kejagung soal keputusan penerbitan SP3 kasus Bank Bukopin itu, Widyo menampik. Dia mengatakan jaksa itu satu suara. SP3 kasus Bank Bukopin sempat memanas di internal Kejaksaan Agung. Sebab di jajaran pimpinan terjadi perbedaan pendapat.

Sebelumnya, Widyopramono mengatakan kasus proyek pengadaan alat pengering gabah atau drying centre di Bank Bukopin telah dihentikan penyidikannya. Namun Widyo menyatakan tidak mengetahui pertimbangan hukum dihentikan penyidikan kasus ini.

"Saya tidak tahu alasaannya (penghentian penyidikan perkara Bukopin), sebab SP3 kasus itu bukan pada era saya dan direktur penyidikan bukan pada zaman Pak Suyadi sekarang. Tetapi, memang benar kasus itu sudah di-SP3," kata  Widyo di Kejaksaan Agung.

SP3 kasus ini dilakukan Jampidsus sebelum Widyo. Jampidsus sebelum Widyopramono dijabat Andhi Nirwanto. Kasus ini mulai disidik era Jampidsus Marwan Effendy dan Jaksa Agung Basrief Arief.

Namun Wakil Jaksa Agung Andhi Nirwanto ketika dikonfirmasi soal penghentian kasus Bank Bukopin tersebut membantahnya. Andhi menyatakan saat dirinya menjabat Jampidsus tidak pernah menghentikan kasus-kasus korupsi. "Selama saya Jampidsus, saya tidak pernah melakukan SP3, coba tanya lagi," kata Andhi.

Namun Direktur Penyidikan Pidana Khusus Kejagung Suyadi tetap menegaskan jika kasus Bukopin telah dihentikan perkaranya. Sangat disayangkan jika ada pernyataan yang mengatakan kasus Bank Bukopin masih dilakukan penyidikan. "Tidak benarlah itu, ada suratnya," tegas Suyadi.

Dalam kasus ini, kerugian negaranya sekitar Rp76 miliar. Dengan demikian, nasib 10 pejabat Bank Bukopin dan rekanan Direktur PT Agung Pratama Lestari (APL) Gunawan Ng, yang hampir enam tahun menyandang stigma tersangka berakhir sudah.

Lambannya penuntasan kasus penggadaan alat pengering gabah atau Drying Centre. Kejagung selalu berdalih Bank Bukopin tidak sepenuh milik negara, karena saham pemerintah kurang dari 50 persen. Dan Kejagung tengah menunggu audit dari Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) dahulu.

Tapi, Jaksa Agung (saat itu) Basrief Arief tidak serta-merta menentukan sikap, dengan alasan ada perkara yang sama di kasus Elnusa di Bandung dan dapat dbuktikan bersalah di MA. Belakangan, dari audit independen ditemukan kerugian negara sebesar Rp50,9 miliar.

Kasus ini bermula ketika Direksi PT Bank Bukopin yang saat itu dipimpin Sofyan Basyir (kini Dirut BRI) memberikan fasilitas kredit kepada PT Agung Pratama Lestari untuk pembangunan drying center pada 2004 yang dikucurkan dalam tiga tahap. Pembangunan drying center dilakukan pada Bulog Drive Jawa Timur, Jawa Tengah, Bali, Nusa Tenggara Barat, dan Sulawesi Selatan, sebanyak 45 unit.

Penggelontoran kredit Bank Bukopin sebesar Rp62 milyar ke PT Agung Pratama Lestari tersebut diduga tidak digunakan sebagaimana mestinya, seperti pada pengadaan spesifikasi merek dan jenis mesin, sehingga penggelontoran kredit dan proyek tersebut menjadi kasus dan ditingkatkan ke penyidikan pada tahun 2008 silam.‬ Kejaksaan Agung pun kemudian mulai menyidik kasus yang diduga merugikan negara sebesar Rp76 miliar itu.

Dalam perjalanannya Kejagung sudah menetapkan 11 tersangka. Hanya saja, nama Sofyan Basyir, Dirut Bank Bukopin ketika itu dan Dirut Bukopin saat ini Glen Genardi tak juga ditetapkan sebagai tersangka. Padahal menurut sumber di Kejaksaan Agung, keduanya dikabarkan sudah masuk daftar calon tersangka baru, namun hingga saat ini keduanya belum ditetapkan sebagai tersangka, dengan alasan penyidik masih menunggu hasil audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK).‬

Wakil Jaksa Agung Andhi Nirwanto yang ketika menjabat Jaksa Agung Muda Pidana Khusus 25 Oktober 2013, pernah ditanya soal kasus itu, namun dia tidak memberikan titik terang terkait keterlibatan Sofyan dan Glen. Padahal, kredit yang digelontorkan Bank Bukopin sejumlah Rp62 milyar kepada PT Agung Pertama Lestari untuk membiayai proyek tersebut, diduga terealisasi atas persetujuan dan tanda tangan Sofyan Basyir dan dieksekusi oleh Glen.‬‪

Alasan Andhi ketika itu adalah BPK dan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) menolak melakukan audit dengan dalih kepemilikan saham pemerintah di Bank Bukopin di bawah 50 persen.‬ ‪Padahal, ada yurisprudensi dimana perkara PT Elnusa dapat dibuktikan di pengadilan, meskipun saham pemerintah di bawah 50% di perusahaan tersebut. Karena alasan tersebut, Kejagung kemudian meminta audit independen dan hasilnya ditemukan kerugian negara sebesar Rp50,9 miliar.‬‪

Dalam kasus ini, Kejagung telah menetapkan 11 tersangka. Sejumlah 10 tersangka di antaranya berasal dari unsur Bukopin, yakni Harry Harmono, Zulfikar Kesuma Prakasa, Elly Woeryandani, Bukopin Suherli, Linson Harlianto, Eddy Cahyono, Dhani Tresno, Aris Wahyudi, Anto Kusmin, dan Sulistiyohadi. Sementara satu tersangka lainnya dari unsur swasta, yakni kuasa Direktur PT Agung Pratama Lestari, Gunawan Ng.‬‪‪‬

BACA JUGA: