ICW dan ILR Minta Mahkamah Konstitusi Tolak Uji Materi Akil
 
JAKARTA, GRESNEWS.COM – Indonesia Corruption Watch (ICW) dan Indonesian Legal Roundtable (ILR) meminta Mahkamah Konstitusi untuk tidak mengabulkan uji materi (judicial review) yang dimohonkan Akil Mochtar. Pasalnya, uji materi Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (UU TPPU) dianggap dapat melemahkan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam menjerat para koruptor.
 
Alasannya, norma-norma yang dimintakan bekas Ketua MK tersebut untuk diuji merupakan inti dari UU TPPU. Ketika pasal tersebut dihapus MK, maka KPK akan kesulitan memproses kasus korupsi, khususnya terkait tindak pidana pencucian uang.
 
Penghapusan pasal-pasal yang dimohonkan itu juga berdampak pada hilangnya efek jera. Termasuk menghilangkan upaya pemiskinan koruptor. "Gugatan tersebut sengaja dilayangkan Akil untuk mendapat celah hukum terutama kasus TPPU," tutur Koordinator Divisi Monitoring Hukum dan Peradilan ICW Emerson Yuntho dalam Roundtable Disccusion dengan tema Menakar Gugatan Akil Mochtar Tentang Uji Materi UU Pencucian Uang, di Kantor Indonesian Legal Roundtable (ILR), Tebet, Jakarta Selatan, Senin (15/9).
 
KPK, lanjut Emerson, bakal kesulitan menjerat pelaku korupsi TPPU. Sebab, KPK harus membuktikan tindak pidana asalnya. Ia mencontohkan, kasus dugaan pemerasan yang dilakukan mantan Menteri ESDM Jero Wacik.

Ketika akan menjerat TPPU, maka KPK harus terlebih dahulu membuktikan kasus korupsinya baru kemudian ke tindak pidana pencucian uangnya. Delik tindak pembuktian tindak pidana asal juga menjadi salah satu pasal yang dimohonkan Akil untuk diuji.

Peneliti Indonesian Legal Roundtable (ILR) Refki Saputra mengatakan penggunaan rezim anti-pencucian uang adalah sebagai cara atau strategi untuk membuka tabir tindak pidana asal yang ada dibelakangnya. Berkaca dari pengalaman sulitnya membongkar kejahatan yang terorganisasi, maka cara-cara mengungkap kejahatan dengan pendekatan menelusuri jejak kejahatan beralih menjadi menelusuri aliran urang hasil kejahatan.
 
Metoda itu, kata Refki, akan menggiring kepada siapa sesungguhnya penikmat harta tersebut. "Pada posisi itu dialah sesungguhnya aktor utama dibalik kejahatan tersebut," kata Refki kepada Gresnews.com usai acara, Senin (15/9).
 
Menurut Refki penggunaan instrumen anti-pencucian uang adalah untuk menyeret seorang pelaku kejahatan (tindak pidana asal) ke pengadilan atas tuduhan transaksi-transaksi mencurigakan yang dilakukan untuk mengaburkan aktivitas kejahatan. Ia berpendapat, tindak pidana asal tidak harus dibuktikan, tetapi terhadap pelakunya harus dikenakan hukuman dan hasil kejahatannya dirampas untuk negara.   
 
Selain itu, konsep pencucian uang juga memiliki dimensi yang hampir sama dengan tindak pidana penadahan (heling). Dalam tindak pidana penadahan ini, lanjutnya, seseorang yang disangka melakukan penadahan tidak harus menunggu terlebih dahulu ada pelaku pencurian yang ditangkap dan dihukum, baru perkara penadahannya bisa diproses.
 
Dalam Putusan Mahkamah Agung RI Nomor 79/K/KR/1958 tanggal 9 Juli 1958 dijelaskan jika konsep penadahan tidak perlu membuktikan terlebih dahulu, menuntut dan menghukum orang yang mencuri sebelum menghukum orang yang menadah.
 
"Dengan adanya orang yang kecurian dan adanya barang-barang yang berasal dari pencurian itu terdapat pula penadahnya, sudahlah cukup untuk menuntut yang bersangkutan karena penadahan," ungkapnya.
 
Kata Refki, antara tindak pidana asal dan pencucian uang adalah tindak pidana yang berdisi sendiri, walapun berkaitan. Jika tindak pidana asal dan pencucian yang dilakukan oleh orang yang sama, maka dalam hukum dikenal isitilah perbarengan perbuatan atau consursus realis. Dalam hal ini, perbuatan tindak pidana asal dan tindak pidana pencucian uang adalah perbuatan yang terpisah dan berdiri sendiri.
 
Seperti diketahui, Akil telah menjalani sidang kedua atas uji materi UU TPPU yang dimohonkannya. Gugatan Akil didasarkan atas vonis berat yang dijatuhkan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor), terkait kasus suap perkara sengketa Pilkada disertai TPPU kepadanya.
 
Akil menilai tindakan KPK yang telah melakukan penyidikan dan penuntutan terhadap dirinya dalam perkara TPPU merupakan tindakan yang bertentangan dengan UUD 1945, yakni Pasal 28I Ayat (1). Akibat pemberlakukan UU TPPU tersebut, dirinya divonis seumur hidup oleh Pengadlan Tipikor.
 
"Kewenangan penyelidikan tidak diatur dalam batang tubuh. Tidak dijelaskan siapa itu penuntut umum,” tutur kuasa hukum Akil, Adardam Achyar dalam sidang uji materi UU Nomor 8 Tahun 2010 tentang TPPU dengan agenda Pemeriksaan Pendahuluan (I) di gedung MK, Jalan Meredeka Barat, Jakarta Pusat, Jumat (29/8).
 
Menurut Adardam, Pasal 76 Ayat 1 UU TPPU ditafsirkan sedemikian rupa sehingga KPK melakukan penyelidikan oleh penuntut umum KPK. Karena itu ia, meminta hakim konstitusi manafsirkan apakah hanya penuntut umum kejaksaan atau boleh juga penuntut umum KPK. "Kami minta agar hanya penuntut umum kejaksaan," ujarnya.
 
Perlu-tidaknya pembuktian tindak pidana asal (predicate crime) juga menjadi objek yang diuji oleh Akil. Adanya ketentuan Pasal 69 UU TPPU, menurut Akil akan mengakibatkan seorang terdakwa dipidana dengan dakwaan yang belum terbukti secara materiil dan belum memiliki kekuatan hukum yang mengikat. Dan oleh sebab itu, bertentangan dengan Pasal 1 Ayat (3) UUD 1945.
 
Selain kedua pasal tersebut, Akil juga mepersoalkan Pasal 2 Ayat (2), Pasal 3, Pasal 4, Pasal 5 Ayat (1), Pasal 77, Pasal 78 Ayat (1), dan Pasal 95.
 
 

BACA JUGA: