JAKARTA, GRESNEWS.COM - Seorang Pegawai Negeri Sipil (PNS) dari Kementerian Perhubungan (Kemenhub) menggugat Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan (UU Penerbangan). Menurut pemohon, UU ini dianggap diskriminatif terhadap bisnis penerbangan dalam negeri yang bermodal kecil.

Sigit Sudarmadji telah berkecimpung di dunia penerbangan sebagai seorang PNS Kemenhub selama 20 tahun. Ia berminat untuk terjun di dunia penerbangan dengan modal yang terbatas. Niatnya itu terbentur dengan Pasal 118 ayat (1) huruf b UU Penerbangan yang berisi ketentuan jumlah minimum kepemilikan dan penguasaan pesawat udara oleh pemegang izin usaha angkutan udara niaga.

Pasal yang digugat Sigit mensyaratkan pelaku usaha angkutan udara niaga berjadwal harus memiliki paling sedikit lima unit pesawat udara. Batas minimal pesawat yang harus dimiliki tersebut menurutnya bersifat diskriminatif. Sebab hanya pelaku usaha penerbangan dengan modal besar saja yang bisa masuk ke bisnis penerbangan ini.

"Kalau saya hanya ingin melayani 3 rute saja cukup memiliki 2 pesawat. Jangan paksa saya memiliki 10 pesawat. Karena kalau saya memiliki 10 maka bisnis saya bisa mati karena hanya melayani 3 rute," ujar Sigit saat ditemui wartawan usai sidang perdana pengujian UU Penerbangan di gedung MK, Jakarta, Kamis (12/3).

Ia menambahkan diskriminasi pasal ini tidak hanya terbatas pada soal modal, tapi juga pada pelaku penerbangan dalam dan luar negeri. Pasalnya aturan ini hanya berlaku bagi pelaku usaha penerbangan nasional. Sementara pelaku usaha penerbangan asing tidak terkena pasal soal jumlah kepemilikan pesawat. Sebab penerbangan asing telah disertifikasi masing-masing otoritasnya.

Menurut Sigit, diskriminasi ini bisa mematikan pelaku bisnis angkutan udara bermodal kecil dan bisnis penerbangan nasional. Pasal ini juga dianggap bisa membuat peminat bisnis penerbangan dalam negeri yang bermodal kecil tidak tertarik lagi. Ia menganalogikannya pemerintah membuat aturan untuk menciptakan ´supermarket´. Padahal yang hanya diperlukan di ujung pulau hanya ´warung atau toko´.

Ia menjelaskan aturan ini muncul pada 2009 dan berlaku pada 2011. Lalu pada 2015 pasal ini benar-benar diterapkan. Dari sekitar 40 pelaku penerbangan kecil, akibat aturan ini sebanyak 27 buah terancam ditutup atau harus menambah jumlah pesawat.

Lalu ketika UU Penerbangan ini dibandingkan dengan UU Pelayaran, menurut Sigit tidak ada ketentuan yang mengatur jumlah minimal kepemilikan kapal lebih dari satu buah. Di dunia pelayaran pun ada berbagai jenis usaha pelayaran mulai dari tingkat internasional, regional, domestik hingga pelayaran rakyat. Sehingga seharusnya ada juga penerbangan rakyat agar bisnis penerbangan di Indonesia bisa berkembang dengan sehat.

Menanggapi permohonan ini, Hakim Konstitusi Maria Farida Indrati memberikan saran. Ia menjelaskan pada pemohon MK tidak menguji kasus konkrit dan perbandingan antar undang-undang. Pasalnya pemohon membandingkan antara UU Penerbangan dengan UU Pelayaran.

"Tapi kalau anda bisa menjelaskan dengan jelas di UU Pelayaran bisa hanya memiliki satu kapal tapi UU Penerbangan tidak sama. Alasannya apa? Anda bandingkan di sana. Kalau pesawat isinya hanya 200 orang. Kapal berapa orang misalnya. Tapi anda lihat pasalnya salah atau tidak. Pasti ada alasannya kenapa angkutan udara niaga memiliki syarat minimal lima unit pesawat," ujar Maria dalam sidang pengujian.

Maria menambahkan kata diskriminatif yang dimaksudkan pemohon tidak tepat. Sebab sikap diskriminatif seharusnya terkait dengan ras dan agama. Sehingga antara pemohon dengan pemilik modal lain dianggap bukan suatu hal diskriminatif. Maria juga memberikan masukan soal legal standing pemohon. Pemohon sempat menyatakan pasal tersebut berpotensi merugikan dunia penerbangan Indonesia. Ia menilai pemohon harus menjelaskan lebih dalam soal potensi kerugian penerbangan nasional tersebut.  

BACA JUGA: