JAKARTA, GRESNEWS.COM - Sejumlah Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) melaporkan adanya dugaan tindak pidana korupsi yang terjadi di sektor Sumber Daya Alam. LSM yang digawangi Indonesia Corruption Watch (ICW), Aliansi Masyarakat Menolak Limbah Tambang (Ammalta), dan Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) melaporkan dugaan tersebut ke Kantor Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

Perwakilan dari ICW Lais Abid mengatakan, potensi kerugian negara akibat kasus ini sangat besar, sekitar Rp201 triliun. Menurut Lais, jumlah tersebut merupakan hasil investigasi dari beberapa aktivis di berbagai daerah seperti Nangroe Aceh Darussalam (NAD), Sumatera Selatan, Kalimantan Timur, Nusa Tenggara Timur, Sulawesi Utara, dan juga Jawa Timur.

"Sekitar Rp201 triliun, tetapi itu baru perkiraan bisa berkurang bisa bertambah. Ini akumulasi dari investigasi kawan di daerah. Pada 2012 -2013 kita pernah melaporkan kasus, khusus di Kalimantan Barat," kata Lais kepada wartawan di Lobi Gedung KPK, Jumat (12/12).

Jumlah potensi kerugian negara terbesar berada di Provinsi Sulawesi Utara (Sulut) yang mencapai Rp200,75 triliun. Nilai tersebut merupakan penghitungan dana reklamasi atas kerusakan yang dilakukan perusahaan tambang biji besi di Pulau Bangka, Sulut dalam kurun waktu 20 tahun mendatang.

Di urutan kedua potensi kerugian negara terbesar Rp600 miliar di wilayah Jawa Timur yang dilakukan Perusahaan Pasir Besi di Kabupaten Malang. Kemudian, penambangan batubara di kawasan hutan produksi Kabupaten Berau, Kalimantan Timur Rp241 miliar, lahan sawit di kawasan Suaka Marga Satwa Dangku, Kabupaten Musi Banyuasin, Sumatera Selatan Rp118 miliar.

Selain itu, ada juga kerugian negara yang diakibatkan penanaman teh di kawasan hutan lindung Bukit Dingin, Kota Pagar Alam, Sumatera Selatan sebesar Rp36,6 miliar. Serta lahan kelapa sawit di Kawasan Ekosistem Leuser, Provinsi NAD sejumlah Rp58,7 miliar, dan terakhir tambang mangan di Manggari Barat, NTT Rp11,14 miliar.

"Berdasarkan catatan kami, aktor diduga melibatkan pengusaha, kepala daerah, dan kementerian," cetus Lais.

Pola yang dilakukan yaitu dengan merambah hutan baik secara ilegal maupun legal seperti melakukan penebangan di wilayah konservasi. Kemudian, menyiasati atau memanipulasi perizinan, tidak membayar denda reklamasi, menggunakan broker untuk mengurus perizinan kepada lembaga negara.

Selain itu, cara mereka juga dengan menggunak aparat penegak hukum untuk mem-back up usaha mereka. Dan terakhir, oknum penyelenggara yang disinyalir juga terlibat memanfaatkan posisinya agar perusahaan pribadi bisa memperoleh konsesi.

Sementara itu, perwakilan dari Ammalta Didi Koleangan saat dihubungi menjelaskan alasan potensi kerugian negara di Sulawesi Utara sangat besar. Menurut Didi, selama ini para pengusaha hanya membayar kewajiban untuk reklamasi pulau sebesar Rp1,2 miliar. Padahal, potensi kerugian negara akibat kerusakan itu mencapai triliunan rupiah.

"Itu Rp200 triliun jika semuanya dikalkulasikan dengan kewajiban mereka hingga 20 tahun mendatang," kata Didi kepada Gresnews.com, Jumat (12/12).

Padahal, ujar Didi, Mahkamah Agung telah memutuskan agar Pulau Bangka dikembalikan kepada masyarakat dan memerintahkan perusahaan untuk menghentikan aktivitasnya. Sebab, aktivitas itu terbukti menimbulkan kerusakan lingkungan yang cukup besar dan mengakibatkan masyarakat sekitar tidak lagi bisa memanfaatkan SDA di tanahnya sendiri.

Tetapi anehnya, Menteri ESDM saat itu Jero Wacik justru menerbitkan putusan agar meningkatkan aktivitas di Pulau tersebut dan tidak mengindahkan putusan MA tertanggal 24 September 2014 itu. Didi menjelaskan, dirinya juga sudah mengirimkan surat ke Presiden saat itu Susilo Bambang Yudhoyono, tetapi tidak ada tanggapan terkait permohonannya.

"Kita sudah kirimkan surat ke Menteri ESDM ketika itu Jero Wacik dan juga Presiden SBY, tapi enggak ada tanggapan," imbuhnya.

Didi berharap KPK bisa menindaklanjuti pengaduan ini. Ia mengkhawatirkan, jika hal ini terus dibiarkan, maka tidak mustahil kasus lumpur lapindo yang terjadi di Sidoarjo, Jawa Timur kembali terulang. Dan negara akan kembali menanggung kerugian dari akibat yang dilakukan sejumlah oknum yang tidak bertanggung jawab.

BACA JUGA: