JAKARTA, GRESNEWS.COM - Dua orang mantan anggota DPR periode 1999-2004 meminta Mahkamah Konstitusi membatalkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota (Perppu Pilkada). Kedua orang itu, Didik Supriyanto dan Abdul Khaliq Ahmad, beralasan, selain tidak memenuhi syarat konstitusional, Perppu Pilkada dianggap berpotensi merusak sistem hukum ketatanegaraan Indonesia.
 
Mereka menilai, munculnya Perppu itu lebih dilatarbelakangi perbedaan sikap politik antara Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dengan DPR periode 2004-2009. "Pembentukan Perppu Pilkada harus dinyatakan inkonstitusional," kata Didi yang merupakan politisi PDIP itu, di sidang panel pengujian Perppu Pilkada di MK, Jalan Medan Merdeka Barat, Jakarta Pusat (26/11).

Menurut mereka pembentukan Perppu Pilkada tidak memenuhi syarat konstitusional sebagaimana diamanatkan Pasal 1 Ayat (3), dan Pasal 22 Ayat (1) UUD1945. Juga tidak memenuhi tiga syarat sebagaimana putusan Mahkamah Konnstitusi (MK) Nomor 138/PUU-VII/2009. Ketiganya adalah adanya kegentingan mendesak; undang-undang yang dibutuhkan belum ada; dan kekosongan hukum tersebut tidak dapat diatasi dengan cara membuat undang-undang.
 
Buktinya, kata Didi, tidak disebutkan adanya gambaran unsur kegentingan mendesak untuk menyelesaikan masalah hukum secara cepat, baik dalam konsiderans maupun penjelasan umum Perppu Pilkada. Kemudian, sebelum dan pada saat Perppu Pilkada diterbitkan oleh presiden, kenyataanya telah ada Undang Undang Nomor 22 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, Walikota.

"Hal ini menegaskan tidak terjadi kekosongan hukum penyelenggaraan pilkada," ujar Didi.
 
Ia berpendapat, munculnya Perppu Pilkada itu lebih didasari perbedaan pandangan politik antara presiden dan DPR akibat pro dan kontra terhadap UU Pilkada di sosial media. Buktinya, pada mulanya presiden dan DPR sama-sama menyatakan persetujuan terhadap pengesahan Rancangan Undang Undang Pilkada menjadi undang-undang yang pada pokoknya mengatur mekanisme pilkada secara tidak langsung alias melalui DPRD.
 
Persetujuan presiden setidaknya dibuktikan oleh tiga hal. Pertama, presiden tidak menolak pengesahan materiil UU Pilkada melalui Menteri Dalam Negeri yang hadir mewakili presiden dalam sidang paripurna DPR. Kedua, presiden telah menyatakan persetujuan dengan menadatangani UU Pilkada. Ketiga, presiden juga telah menyatakan persetujuan dengan diundangkannya UU Pilkada itu melalui Menteri Hukum dan HAM.
 
Namun pandangan politik presiden kemudian berbeda dengan DPR setelah disahkan dan diundangkan. "Hanya dalam hitungan hari sikap politik presiden berubah karena muncul pro dan kontra terhadap UU Pilkada di sosial media," ujar Didi.

Sementara perbedaan pandangan politik presiden dengan DPR dibuktikan dengan diterbitkannya Perppu Pilkada yang mengatur mekanisme pilkada secara langsung.
 
Ia menilai, sikap politik presiden yang berubah-ubah seperti ini dapat membuka peluang bagi presiden lain untuk bertindak sewenang-wenang. "Membatalkan undang-undang yang sebelumnya telah disetujui dengan cara membentuk perppu," ujar Didik.

Sikap seperti ini, lanjutnya, dapat dimaknai sebagi sikap melemahkan kedudukan dan mengangkangi kewenangan DPR yang sejatinya memegang kekuasaan undang-undang sesuai amandemen UUD 1945.
 
Dalam sidang panel yang dipimpin oleh Hakim Konstitusi, Maria Farida Indrati ini, juga dugelar Pengujian Perppu Nomor 2 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (Perppu Pemda). Pengujian ini dimohonkan Edward Dewaruci dan Doni Istyanto Hari Mahdi.
 
Menurut mereka, Perppu Nomor 1 dan Nomor 2 Tahun 2004, itu tidak ada keadaaan kegentingan memaksa dari presiden untuk dapat mengeluarkan perppu. Sebab keadaan kegentingan yang memaksa itu hanya terjadi secara subjektif di sosial media.
 
"Seperti yang sudah kami sampaikan, syarat kekosongan hukum penerbitan Perpu tidak ada. Karena itu kami meminta MK untuk membatalkan Perppu Nomor 2 Tahun 2014," kata Edward di sidang yang sama.

BACA JUGA: