JAKARTA, GRESNEWS.COM - Rancangan Peraturan Pemerintah tentang perlindungan dan pengelolaan ekosistem gambut (RPP Gambut) merupakan salah satu dari 21 PP yang harus dibuat untuk menjalankan mandat dari UU 32 Tahun 2009 Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (PPLH). Secara spesifik, RPP ini disusun dengan pertimbangan ketentuan beberapa pasal dari UU terebut seperti pasal 11,21,56,57,75 dan 83.

Hanya saja, meski merupakan mandat dari UU PPLH, menurut Manager Kampanye Eksekutif Nasional WALHI Zenzi Suhadi, dari analisis terhadap RPP Gambut dibandingkan dengan klausul dan bagian yang termuat UU PPLH, ternyata RPP tersebut isinya malah bertentangan dengan UU PPLH.  

Beberapa poin pasal dalam RPP yang dinilai tidak sesuai dengan semangat UU PPLH adalah menyangkut proses inventarisasi, pemanfaatan, pengendalian, penanggulangan, dan pemulihan. Dari hasil penyandingan RPP Gambut dengan UU serta menarik konteksnya dengan kondisi faktual lingkungan dan masyarakat di daerah, RPP Gambut mempunyai muatan kepentingan yang berisiko terhadap kawasan gambut dan eksistensi kehidupan masyarakat di dalam dan sekitarnya.

"Konten yang dipermasalahkan secara garis besar dapat dijelaskan dengan kecenderungan RPP Gambut mengatur kewenangan dalam penyediaan kawasan untuk perkebunan skala besar dan industri sektoral berbasis perizinan lainnya," ujar Zenzi dalam siaran pers yang diterima Gresnews.com, Kamis (31/7).

Proses penarikan hubungan antara substansi RPP Gambut dengan kondisi faktual lingkungan dan kehidupan masyarakat ini, kata Zenzi, dilakukan untuk melihat risiko dari roh rancangan peraturan pemerintah ini terhadap kehidupan komunitas dan eksistensi ekosistem gambut itu sendiri. Menurutnya selain beresiko terhadap munculnya sumber masalah agraria baru dengan kewenangan dan sistemnya seperti keberadaan kementerian kehutanan, RPP Gambut masih menjadi bagian dari cara pandang yang mengampuni proses pengerusakan lingkungan yang sudah terjadi.

Ia memberi contoh dimana salah satu rancangan peraturan mengatakan perusahaan akan memberikan kompensasi pergantian lahan jika dinyatakan telah melakukan pengerusakan lingkungan. Namun yang disayangkan nilai penggantian tersebut dapat dikompromikan antara pemerintah dan perusahaan.

Hal itu menjadikan posisi pemerintah sebagai pemegang regulasi menjadi lemah, "Jadi paradoks, perusahaan yang salah tapi mereka juga pegang kendali atas sanksi yang ditanggung," ungkapnya.

RPP Gambut juga tidak berangkat dari fakta kehidupan masyarakat di dalam dan sekitar kawasan gambut, dan cenderung akan menjadi media legitimasi pemisahaan kehidupan rakyat dari lingkungannya dalam konteks hak akses dan fungsi jasa lingkungan. "RPP Gambut malah berpotensi menjadi faktor yang mempercepat laju kerusakan gambut Indonesia karena konteks kawasan fungsi budidayanya," ujarnya.

Sebelumnya, aktivis HuMa Anggalia Putri mengatakan, dalam tahapan penyusunan RPP ini, proses penyerapan aspirasi rakyat secara langsung dan pandangan masyrakat sipil sangat minim dan cendrung tertutup.

Angga menilai, aspek perlindungan terhadap hak masyarakat adat dan lokal terkait ekosistem gambut, khususnya hak-hak tenurial mereka belum mendapat jaminan yang utuh. Hak tenurial yang dikebiri itu, menurut dia sudah terjadi dalam praktek tata kelola gambut selama ini.

Ditambah lagi dengan RPP Gambut yang miskin penyebutan hak. "RPP Gambut merupakan anak dari UU PPLH (Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup) yang mengatur hak penting masyarakat adat dan lokal. Jadi seharusnya dapat dituntut pula pengaplikasian dalam RPP Gambut walaupun tidak dinyatakan secara eksplisit," ujarnya.

BACA JUGA: