JAKARTA, GRESNEWS.COM - Indonesia Law Reform Institute (ILRINS) mengecam tindakan represif kepolisian saat menangani sejumlah aksi mahasiswa yang menolak kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) di beberapa daerah, khususnya yang terjadi di Makassar, Sulawesi Selatan. Insiden bentrokan antara mahasiswa Universitas Muslim Indonesia (UMI) Makasar dan aparat kepolisian pada Kamis (27/11) petang menyebabkan meninggalnya seorang warga setempat Ari Pepe.

Saat ditemukan tewas, Ari dalam kondisi terluka dan tergeletak di bagian samping kendaraan water cannon (meriam air) milik kepolisian. Kabar atas penyebab tewasnya Ari pun berbeda-beda. Satu sisi, Ari diduga tewas tertabrak kendaraan water canon saat bentrokan pecah di depan Kampus UMI. Di sisi lain, berdasarkan keterangan polisi, korban ditemukan tewas dengan luka di kepala akibat lemparan batu saat kepolisian membubarkan kerumunan mahasiswa.
 
Atas kejadian tersebut, ILRINS mendesak kepada Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) membentuk tim investigasi guna menyelidiki penyebab kematian korban sebenarnya. "Terlepas korban mahasiswa atau tidak, korban sejatinya mempunyai hak perlindungan yang sama sebagai warga negara," kata Direktur Eksekutif ILRINS Jeppri F Silalahi kepada Gresnews.com, Jumat (28/11), di Jakarta.
 
Jeppri menegaskan ketika hasil kesimpulan Komnas HAM nanti menemukan unsur kekerasan dan pelanggaran HAM dalam insiden tersebut maka sebagai pertanggungjawaban hukum dan moral pemerintah, Presiden Jokowi harus mencopot Menkopolhukam, Kapolri, Kapolda Sulsel dan jajaran di bawahnya. "Jalankan proses hukum bagi aparat manapun yang melanggarnya," tegasnya.
 
Pola represif yang dilakukan oleh polisi, lanjut Jeppri, harus dihentikan. Sebab pola seperti ini bisa memancing kembali munculnya luka lama rakyat dari masa otoriter Orde Baru. Ia menegaskan, sejatinya polisi harus mengedepankan tindakan persuasif dalam penanganan demonstrasi karena demonstran bukanlah musuh negara.
 
Sementara itu anggota Komisi III DPR Abu Bakar Al Habsyi juga mempertanyakan sikap kepolisian yang memasuki dan menembakkan gas air mata ke dalam masjid di dalam kampus UMI. Menurutnya, apa yang dilakukan polisi tersebut sudah kebablasan. "Sepertinya Polisi sudah overacting, tak bisa lagi menghormati tempat ibadah dan umat Islam," tuturnya dalam surat elektronik yang diterima Gresnews.com, Jumat (28/11).
 
Karena itu, ia mendesak Kapolri segera mengevaluasi kerja aparatnya di lapangan, khususnya, insiden di Makassar yang menyebabkan satu orang meninggal dunia. Kenyataan ini, lanjutnya, tidak bisa dianggap sebagai hal biasa.

Alasannya, kalaupun benar korban terlindas mobil water canon polisi, berarti ada prosedur tetap (protap) yang dilanggar polisi di lapangan. "Sungguh menyedihkan. Ini harus segera disikapi, jangan sampai masyarakat menjadi apatis terhadap Polri," tegasnya.
 
Sebelumnya, Polri telah membantah kabar adanya korban tewas akibat terlindas water canon saat pembubaran unjuk rasa di Makassar. Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia (Kapolri) Jenderal Sutarman mengatakan, korban tewas karena terinjak-injak.

Ketika ditemukan tewas, ungkapnya, Ari berjarak 200 meter dari water canon. "Kemungkinan tertimpuk batu oleh para demonstran," kata Sutarman kepada wartawan, Jumat (28/11).

BACA JUGA: