JAKARTA, GRESNEWS.COM – Aparat penegak hukum dalam pelaksanaan pilkada seperti Badan Pengawas Pemilu dan kepolisian harus tanggap dalam mengawasi dan menindak politik uang. Sebab meskipun kampanye sudah dibiayai negara,  tidak menutup kemungkinan praktek politik uang masih akan terjadi.

Untuk itu Bawaslu harus berkoordinasi dengan polisi untuk menjerat hukum pelaku pelanggaran, jika tak ada sanksi untuk pelanggaran tertentu dalam pilkada, polisi bisa menerapkan sanksi dengan KUHP secara umum tentang suap menyuap.

Anggota Komisi II Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) fraksi PAN Yandri Susanto menuturkan larangan politik uang sudah diatur dalam undang-undang. Kalau ada yang ketahuan melakukan politik uang atau transaksi politik akan didiskualifikasi.

“Aturan itu sudah sangat keras,” ujar Yandri saat dihubungi Gresnews.com, Selasa (2/6).

Menurutnya, saat ini tinggal implementasinya yang dipertanyakan apakah bisa dilaksanakan dengan baik atau jangan-jangan masih bisa ‘diakali’ para tim sukses atau kandidat dalam melakukan politik uang. Sehingga sangat diperlukan ketegasan aparat hukum seperti kepolisian, kejaksaan, dan badan pengawas pemilu untuk menindak pelaku politik uang.

Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Titi Anggraini mengatakan potensi politik uang bisa terjadi karena pembiayaan kampanye oleh negara ada batasannya sesuai masing-masing kemampuan daerah.
Menurutnya ada kemungkinan kandidat yang modalnya besar merasa pembiayaan oleh negara dalam pilkada dianggap kurang. Sehingga yang bersangkutan bisa saja menggelontorkan modal pribadinya untuk melakukan pelanggaran atau melakukan politik uang dengan kedok ongkos politik atau transportasi politik.

“Itu yang sangat mungkin terjadi,” ujar Titi saat dihubungi Gresnews.com, Selasa (2/6).

Ia melanjutkan untuk mencegah potensi politik uang tersebut, badan pengawas pemilu (Bawaslu) harus berkoordinasi dengan kepolisian soal penegakan hukum praktek politik uang yang tidak ada sanksinya di UU Pilkada.  Sehingga politik uang bisa diterapkan dalam UU yang sifatnya umum melalui KUHP soal suap menyuap.

Lalu peserta pilkada harus bisa menerapkan kompetisi fair play. Maksudnya peserta pemilu harus dapat saling mengawasi. Sehingga pengawasan tidak hanya dilakukan Bawaslu. Jangan sampai tindakan pelanggaran satu peserta menjadi pembenaran bagi peserta pemilu yang lainnya. Karena itu sesama peserta pemilu harus bisa mencegah agar praktek politik uang tersebut tidak terjadi.

Selanjutnya Bawaslu juga perlu melibatkan publik untuk melakukan pengawasan bersama pada pelaku praktek politik uang. Sehingga hukuman masyarakat mulai dikedepankan. “Sekarang kan tidak ada ambang batas kemenangan. Tidak ada putaran kedua, jadi orang bertarung habis-habisan karena menang kalah ada di putaran ini,” lanjutnya.

BACA JUGA: