JAKARTA, GRESNEWS.COM - Negara terjebak pada formalitas hukum bukan esensinya. Banyak pasal pidana yang justru diarahkan untuk melindungi kepentingan pemerintah dan kroninya dalam memanfaatkan sumber daya alam dengan menafikan pengelolaan masyarakat lokal yang sudah berlangsung sebelumnya.

Salah satunya kriminalisasi buruh tani di pesisir Probolinggo, Jawa Timur. Koalisi Anti Mafia Hutan menilai putusan Pengadilan Negeri Probolinggo  yang menjatuhkan hukuman 2 tahun penjara dan denda Rp2 miliar kepada Busri, buruh tani di pesisir Probolinggo, Jawa Timur, sebagai penegasan banyaknya undang-undang yang mengkriminalisasi rakyat kecil.

Padahal, esensi hukum pidana bukan semata dasar bertindak bagi negara, tapi sekaligus memberi perlindungan kepada warga negara. "Negara kini tengah memanen kriminalisasi terhadap rakyat kecil atas produk-produk hukum yang diterbitkannya, khususnya undang-undang terkait Sumber Daya Alam," kata Koordinator Tim Hukum Koalisi Anti Mafia Hutan Andi Muttaqien kepada Gresnews.com, Senin (24/11).

Menurut Andi banyak pasal pidana diarahkan untuk melindungi kepentingan pemerintah termasuk Undang Undang Nomor 27 tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Terkecil yang menjerat Busri. Beleid lainnya UU Nomor 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan (UU P3H) yang tengah digugatnya.

Ia berpendapat, UU P3H sebagai salah satu contoh produk legislasi yang buruk. Bukan sebuah solusi dari penyelesaian masalah yang hendak diaturnya. Seperti mencegah perusakan hutan yang masif, transnasional dan menggunakan modus operandi canggih yang telah mengancam kelangsungan kehidupan masyarakat sebagaimana ditegaskan dalam pertimbangan kelahiran (Konsiderans) UU ini.

Sebaliknya, UU P3H justru melanggengkan konflik kehutanan yang disebabkan tidak adanya jaminan kepastian pengelolaan hutan oleh masyarakat dalam UU. Pengaturan norma-norma dalam UU P3H sangat tendensius menyasar kepada masyarakat hukum adat, masyarakat lokal, penduduk desa di sekitar yang bersinggungan langsung dengan kawasan hutan.

Padahal, dalam banyak penelitian masyarakat yang tinggal di dalam dan sekitar hutan justru mempunyai peran penting dalam menjaga kelestarian hutan. Termasuk menjaga keanekaragaman hayati yang terkandung di dalamnya sejak ratusan tahun silam.

Kata Andi, penerapan hukum sejatinya tidak sekadar yang tertuang dalam pasal-pasal (kepastian hukum), tetapi juga harus membarenginya dengan pertimbangan keadilan hukum. Kejadian tersebut, lanjutnya, kasus kesekian kalinya yang menimpa masyarakat lokal yang dipidana atau dikriminalkan hanya untuk memenuhi kebutuhan hidup.

"Khusus untuk perkara Busri itu, hakim nampak tidak lagi menggunakan nuraninya dalam memutus perkara yang terbukti menebang tiga pohon mangrove hanya untuk kebutuhannya," tuturnya.

Selain Busri, ungkapnya, kriminalisasi juga dialami masyarakat lokal. Akibat aturan undang-undang ini masyarakat adat Semende Dusun Lama Banding Agung, Bengkulu mendapatkan perlakuan yang tidak adil, diusir, rumah-rumah dibakar, diancam, dan ditangkap dengan tuduhan sebagai perambah kawasan hutan Negara. Pada tahun 2012 Taman Nasional Bukit Barisan Selatan (TNBBS) melakukan operasi penurunan dan pengusiran masyarakat Adat Semende Banding Agung dengan melakukan pembakaran pondok-pondok yang ada di sekitar Dusun.

Sekitar 115 rumah masyarakat dibakar, beserta 28 mesin diesel, 2 buah motor,  rumah adat dan satu bangunan SDN 07 Lokal Jauh Tebing Rambutan dirusak. Bahkan, polisi hutan (Polhut) empat orang ditangkap dengan tuduhan tertangkap tangan merambah hutan, padahal pada waktu ditangkap mereka sedang berkumpul di rumah Heri.

Empat orang warga adat yang ditangkap dituduh sebagai perambah berkebun di dalam kawasan hutan tanpa izin melanggar Pasal  92 ayat 1 hurup (a) dan (b) UU P3H. Dan kini masih menjalani pidana kurungan selama 3 tahun dengan denda Rp1,5 miliar berdasarkan Putusan Pengadilan Negeri Bintuhan.

Karena itu Koalisi yang terdiri Yayasan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI), Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (Aman), Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA),  Perkumpulan Pemantau Sawit (Sawit Watch), Indonesia Corruption Watch (ICW) dan Yayasan Silvagama, Masyarakat Hukum Adat Nagari Guguk Malalo bersama perorangan yaitu Edi Kuswanto (NTB), Rosidi (Jawa Tengah), Mursyid (Banten) meminta DPR dan pemerintah meninjau undang-undang yang mengkriminalisai rakyat kecil.

"Sudah saatnya pemerintah segera mereview sejumlah undang-undang, khusunya terkait Sumber Daya Alam yang memuat pasal kriminal," tegasnya.

Seperti diketahui,PN Probolinggo menyatakan Busri melanggar Pasal 35 huruf e, f dan g UU Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Terkecil. Atas pelanggaran ini, ia dijatuhi ancaman pidana 2 tahun penjara dan denda Rp2 miliar sebagaimana merujuk 73 undang-undang yang sama.

Pasal ini berbunyi "Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 2 tahun dan paling lama 10 tahun dan pidana denda paling sedikit Rp2 miliar dan paling banyak Rp10 miliar setiap orang yang sengaja menggunakan cara dan metode yang merusak ekosistem mangrove, melakukan konversi ekosistem mangrove, menebang mangrove untuk kegiatan industri dan permukiman, dan/atau kegiatan lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 huruf e, huruf f, dan huruf g".

Sedangkan Pasal 35 itu berbunyik "Dalam pemanfaatan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, setiap orang secara langsung atau tidak langsung dilarang menggunakan cara dan metode yang merusak ekosistem mangrove yang tidak sesuai dengan karakteristik Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil; menebang, melakukan konversi ekosistem mangrove di kawasan atau zona budidaya yang tidak memperhitungkan keberlanjutan fungsi ekologis pesisir dan pulau-pulau kecil; menebang mangrove di kawasan konservasi untuk kegiatan industri, pemukiman, dan/atau kegiatan lain".

Sebelumnya, Ahli Pidana Universitas Tanjung Pura, Hermansyah menilai hukum pidana sudah hampir masuk ke semua lini kehidupan dengan mengintervensi warga negara. Intervensi dilakukan negara dengan segala kekuasaan yang ada. Sebaliknya, negara mengabaikan  tujuan keberadaan pidana itu sendiri, yakni melindungi.

Menurutnya prinsip dasar hukum pidana setidaknya menganut minimal empat asas sebagai pilar, yakni asas legalitas, persamaan, subsidaritas, dan proporsionalitas. Namun dari pengamatan Hermansyah, keberadaan produk hukum pidana di Indonesia, masih dominan mengedepankan asas legalitas dan tiga asas lainya terabaikan.

Sementara asas legalitas ini pun tidak sepenuhnya berada dalam jalur gagasan pemikiran hukum pidana modern.  Akibatnya, hukum pidana cenderung  menjadikan hukum pidana memunculkan proses kriminalisasi (over kriminalitas).

Padahal kata Hermansyah, kemunculan hukum pidana tidak lepas dari reaksi kekuasaan raja yang sangat absolud. Dengan kewenangan dan kekuasaan yang ada, raja saat itu dengan mudah membuat dan menentukan kesalahan seseorang. Karena hal ini dianggap tidak bisa dibiarkan maka munculah asas legalitas yang esensinya bukan dasar bertindak bagi negara, tapi upaya ahli hukum tata negara memberi perlindungan kepada warga negara.

BACA JUGA: