JAKARTA, GRESNEWS.COM - Koalisi Kebebasan Berserikat (KKB) mendesak  Mahkamah Konstitusi segera membacakan putusan permohonan uji materi (judicial review) Undang-Undang Nomor 17 tahun 2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan (UU Ormas). Sebab sidang perdana uji materi yang berlangsung sejak Senin 27 Januari 2014 sudah menjalani sidang terakhir.
 
Sementara sejak disahkan DPR dan pemerintah pada 2 Juli 2013 lalu, KKB, gabungan dari sejumlah organisasi yang memperjuangkan kemerdekaan berserikat dan berkumpul di Indonesia, menyimpulkan antara tujuan pembentukan UU Ormas dengan dampak yang ditimbulkan sangat bertolak belakang. Seperti munculnya ‘benih’ represi berupa tekanan, pengekangan, penahanan, penindasan bagi kebebasan masyarakat sipil untuk berperan dan berkontribusi dalam bangunan demokrasi Indonesia.
 
"Karena itu sangat perlu diputuskan segera agar dampak dan kerugian konstitusionalnya tidak semakin meluas dan masif," kata Koordinator KKB Fransisca Fitri kepada Gresnews.com, di Jakarta, Sabtu (21/12).
 
Kesimpulan itu, lanjut  Fransisca, didapat setelah KKB melakukan pemantauan terhadap implementasi UU Ormas secara intensif. Ia mengungkapkan, kehendak awal dari penyusunan UU Ormas, sebagaimana yang termuat dalam "Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang (RUU) Ormas pada 30 Agustus 2010" adalah untuk menindak organisasi yang memiliki massa yang melakukan kekerasan dan mewujudkan tata kelola ormas agar lebih transparan dan akuntabel.
 
Namun berdasarkan hasil pemantauan yang dilakukan KKB selama satu tahun lebih, justru membuktikan UU Ormas telah menampakkan watak sesungguhnya. Seperti adanya belenggu hingga ancaman terhadap kebebasan berserikat dan berkumpul. Bukan menindak organisasi yang melakukan kekerasan, seperti demonstrasi dengan kekerasan hingga sweeping.
 
Sebaliknya, lanjut Fransisca, implementasi UU Ormas cukup masif di berbagai daerah. Dari hasil pemantauan, setidaknya terdapat dua pola temuan. Pertama, kewajiban registrasi organisasi pada kantor Kesatuan Bangsa, Politik, dan Perlindungan Masyarakat (Kesbangpolinmas) di daerah. Salah satunya muncul pada wilayah pemantauan di Lombok Tengah pada Agustus dan September 2013.
 
Kedua, pemberlakuan syarat memiliki struktur pengurus atau organisasi minimal 25 persen provinsi untuk diakui sebagai ormas nasional.
 
"Perlu ada respon segera terhadap pemberlakuan UU Ormas ini," tegasnya. Khususnya yang berakibat terhadap makin tergerusnya ruang kebebasan berserikat dan berkumpul, lanjutnya.
 
Penyebabnya antara lain, mulai dari tafsir berlebihan yang menimbulkan ancaman dampak dicabutnya izin, dibubarkan, dicap ilegal atau liar, akses pada dana Pemerintah ditutup, tidak diakui, atau tidak dilayani hingga kerancuan kerangka hukum tentang pendaftaran bagi organisasi masyarakat sipil. Bahkan, menurut dia, tidak tertutup kemungkinan beberapa daerah melahirkan peraturan turunan. Seperti peraturan daerah (perda), surat edaran kepala daerah yang hanya melanjutkan bentuk kerancuan UU Ormas.
 
Selain KKB, saat ini, Pengurus Pusat (PP) Persyarikatan Muhammadiyah juga masih menunggu pembacan putusan uji materi UU Ormas yang dimohonkannya dibacakan MK. Muhammadiyah mengajukan judicial review  UU Ormas ke MK pada Rabu (23/10/2013). Dari 19 BAB dan 87 pasal di undang-undang itu setidaknya ada 22 pasal yang dimohonkan PP Persyarikatan Muhammadiyah untuk diuji berbarengan dengan KKB, Pimpinan PP Muhammadiyah juga mengajukan uji materi UU Ormas.
 
Menurut mereka, pasal-pasal itu bertentangan dengan paragraf keempat Pembukaan UUD 1945 dan UUD 1945. Sebab, membatasi atau mengekang kebebasan berserikat dan berkumpul dengan dalih menciptakan ketertiban yang dibungkus melalui undang-undang yang bersifat represif dan mengandung nuansa birokratis. Pemohon meminta MK membatalkan 21 pasal itu.
 
Ketua Umum PP Muhammadiyah, Din Syamsuddin, juga mendesak MK agar segera mengeluarkan putusan judicial review UU Ormas  yang diajukannya. "Ini agar dampak dan kerugian konstitusionalnya tidak semakin meluas dan masif," kata Din pada Rabu (17/12) lalu.
 
 

BACA JUGA: