JAKARTA, GRESNEWS.COM - Statusmu Harimaumu. Mungkin begitulah pepatah lama soal pentingnya menjaga ucapan agar tak mencelakai diri sendiri lewat ucapan, diejawantahkan ulang di zaman internet ini. Bukan apa-apa, beragam kasus hukum yang terjadi terkait penggunaan media internet, khususnya terkait pelanggaran Pasal 27 Ayat (3) UU No 11/2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE).

Dalam catatan Institute for Criminal Justice Reform (ICJR), kasus-kasus pemidanaan terkait pasal penghinaan melalui jejaring internet ini baik jaringan surat elektronik, sosial media dan lain-lain di tahun ini saja sudah mencapai 40 kasus. Teranyar adalah kasus yang menimpa Ervani dan M Arsyad yang gara-gara postingan statusnya di jejaring sosial membuat mereka harus berhadapan dengan aparat penegak hukum.

Keduanya dijerat dengan Pasal 27 Ayat (3) UU ITE terkait penghinaan dan pencemaran nama baik. Semakin maraknya kasus-kasus ini menurut  Anggara Suwahju dari ICJR, sudah sangat mengkhawatirkan. Dia menilai, posisi tindak pidana penghinaan menjadi over kriminilisasi. Sebab selain telah diatur dalam KUHP dan UU ITE, juga diatur dalam beberapa UU lain seperti UU Penyiaran, UU Pemilu, UU Pilpres, dan UU Pemda.

"UU Penyiaran dan UU ITE malah membuat ancaman yang sangat tinggi untuk tindak pidana penghinaan dengan alasan untuk membuat efek jera bagi pelakunya," kata Anggara dalam diskusi bertajuk "Kemerdekaan Berpendapat di Media Sosial dan Aturan Hukum tentang Pencemaran Nama Baik" di Jakarta, Kamis (20/11).

Dia menilai, para pembuat UU tidak lagi memiliki kehendak untuk melihat disparitas antara ancaman hukuman dan dengan hukuman yang umumnya dijatuhkan pengadilan. Ini, kata Anggara, berdampak serius terhadap kebebasan berpendapat, karena siapa saja hanya karena dituduh melakukan penghinaan atau pencemaran nama baik berdasarkan UU ITE atau UU Penyiaran bisa ditahan, karena ancaman hukumannya di atas lima tahun.

Uniknya penetapan ancaman hukuman 6 tahun penjara dalam UU ITE misalnya, tidak ditetapkan melalui pertimbangan hukum yang matang. Wahyudi Djafar dari Elsam menceritakan, asal-usul munculnya ancaman hukuman 6 tahun penjara itu hanyalah berdasarkan permintaan pihak penyidik dalam hal ini polisi yang meminta kepastian hukum untuk bisa melakukan penahanan kepada tersangka dalam menangani kasus ini.

Wahyudi mengatakan, melihat situasi ini, pasal-pasal penghinaan khususnya dalam UU ITE memang menjadi ancaman nyata bagi kemerdekaan berpendapat dan berekspresi di Indonesia, khususnya melalui medium internet. "Kebebasan berpendapat bukannya tak terbatas, dia memang dibatasi oleh undang-undang agar kebebasan tidak mengancam kemanusiaan, misalnya, untuk menyebarkan pesan-pesan kebencian, rasialisme, pornografi dan sebagainya," katanya.

Hanya saja, kata Wahyudi, beberapa negara memang melakukan pembatasan yang sangat luas dan samar-samar sehingga tidak memberi kepastian hukum sehingga malah tidak menjamin kebebasan berpendapat itu sendiri. UU ITE dan beberapa UU yang memuat aturan soal penghinaan termasuk dalam jenis pembatasan seperti di atas.

Alhasil yang terjadi, kata Wahyudi, adalah pengekangan terhadap kemerdekaan tersebut. Pasal penghinaan dan pencemaran nama baik ini lebih banyak digunakan sebagai alat pembalasan dendam orang atau badan yang merasa nama baiknya dicemarkan. Elsam, kata Wahyudi pernah melakukan pemetaan atas penggunaan pasal-pasal ini. "Hasilnya pasal penghinaan lebih banyak digunakan oleh orang atau badan yang memiliki kekuasaan atau powerful," katanya.

Sementara, korbannya justru mereka yang lemah dan tidak berada dalam posisi seimbang dengan penuduh. Ini juga mendorong aparat penegak hukum untuk menerapkan pasal secara semena-mena. Paling tidak, kata Wahyudi, ada empat varian dimana pasal penghinaan dikenakan pada tersangka.

Pertama, dijerat dengan Pasal 27 Ayat (3) UU ITE. Kedua, dijerat dengan Pasal 310-311 KUHP. Ketiga, dijerat dengan kedua pasal itu secara bersamaan. Keempat, penggunaan pasal KUHP setelah pengenaan Pasal 27 Ayat (3) UU ITE tidak terbukti. "Ini menunjukkan adanya ketidakpastian hukum," ujarnya.

Agus Hamonangan, dari Indonesia Android Society pun menceritakan pengalaman tak mengenakkan "nyaris" menjadi korban penerapan pasal UU ITE tersebut. Suatu ketika, saat menjadi administrator di sebuah mailing list pembaca Kompas, Agus meloloskan salah satu postingan yang berisi dugaan seorang anggota DPR memeras perusahaan batubara.

Tak dinyana, email tersebut menyebar kemana-mana termasuk keluar dari lingkup milis yang dikelolanya sehingga akhirnya si anggota DPR yang dituding mengetahui hal itu. Maka si penulis email pun dilaporkan ke polisi dan dijerat dangan pasal tersebut. Agus yang menjadi admin pun nyaris diperkarakan karena itu dinilai ikut serta melakukan penyebaran informasi yang berisi pencemaran nama baik.


Agus pun menyesalkan terjadinya hal itu, sebab menurut Agus, dirinya hanya sebagai perantara bukan dengan sengaja mendistribusikan berita untuk mencemarkan nama baik. "Pencemaran nama baik enggak masuk akal. Karena ada akses informasi yang sama bagi kedua belah pihak, lalu ada hak jawab juga," keluhnya.

Menurut Agus, Undang-Undang itu terasa aneh dan merusak kebebasan demokrasi di Indonesia. "Ini enggak mendewasakan rakyat, lagian kata-kata tidak menyakiti kita kok," ucapnya.

Karena itulah saat ini para aktivis hukum dan kebebasan berpendapat tengah memperjuangkan agar pasal penghinaan baik itu di UU ITE, KUHP maupun di UU lainnya dihapuskan. Alasannya, Inggris, negara yang pertama kali menerapkan pasal penghinaan pun sudah menghapus hal itu dari ranah pidana.

Wahyudi mengusulkan agar penghinaan dan pencemaran nama baik dimasukkan saja ke ranah perdata. "Jadi jika ada yang merasa nama baiknya dicemarkan, itu cukup menjadi urusan individu yang merasa dicemarkan dan yang dituduh mencemarkan, dan tidak melibatkan aparat negara," katanya.

Hanya saja perlu diatur secara rinci nilai kerugian materil dan immateril yang bisa digugatkan dengan nilai yang masuk akal.

Sementara menurut Anggara, jikapun materi penghinaan dan pencemaran nama baik itu tidak bisa dihapus dari ranah pidana, maka perlu dilakukan tiga pola advokasi. Pertama, legislasi untuk rekodifikasi tindak pidana penghinaan. Sasarannya adalah mengamandemen KUHP khususnya Bab XVI tentang penghinaan sehingga terjadi harmonisasi terhadap ancaman pidana yang dimuat dalam KUHP dan UU sektoral lainnya.

"Amandemen ini juga harus diikuti dengan menyatakan tidak berlakunya tindak pidana penghinaan di lima UU sektoral lainnya," ujar Anggara.

Pola intervensi kedua adalah legislasi pola pemidanaan terhadap orang-orang yang dituduh melakukan penghinaan. Pola intervensi ini harus menghasilkan kebijakan dari MA terhadap pola pemidanaan terhadap orang-orang yang didakwa melakukan penghinaan.

"Secara umum putusan-putusan pengadilan telah bergerak pada pola penjatuhan pidana percobaan sehingga pola vonis pemenjaraan secara bertahap dimungkinkan untk dihapus," kata Anggara.

Ketiga, intervensi legislasi untuk membuat batasan penghinaan. "Pengadilan bisa didorong untuk menjatuhkan pidana denda dan tidak menjatuhkan pidana penjara," ujarnya.

Penyidik Cyber Crime Mabes Polri AKBP Idham Wasiadi juga mengakui adanya kontroversi mengenai hal tersebut. Untuk itu, ia mengatakan UU ITE ini merupakan salah satu peraturan yang akan diajukan kepolisian untuk direvisi DPR. Namun untuk saat ini, ia mengaku tidak bisa berbuat banyak dan sebagai eksekutif hanya menjalankan peraturan yang berlaku.

"Kita berdoa saja (semoga direvisi). Tapi sekarang ini kami hanya mengikuti prosedur, kami hanya melakukan kewajiban untuk menegakkan Undang-Undang," ungkapnya.

BACA JUGA: