JAKARTA, GRESNEWS.COM - Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor), Jakarta selama ini dikenal sebagai algojo bagi para koruptor. Tercatat, beberapa kasus korupsi besar telah diputus Majelis Hakim pengadilan yang berlokasi di Jalan HR Rasuna Said, Kuningan, Jakarta Selatan ini.

Salah satu diantaranya adalah kasus korupsi mega proyek Pembangunan Pusat Pendidikan Sekolah Olahraga Nasional, Hambalang, kasus pembangunan Wisma Atlet, bailout Bank Century. Kemudian kasus korupsi sengketa pemilihan kepala daerah (pilkada) di Mahkamah Konstitusi, serta berbagai kasus suap baik yang melibatkan kepala daerah, menteri, hingga anggota dewan.

Beberapa pelaku kejahatan yang kebanyakan merupakan tokoh nasional juga berhasil dibuktikan kesalahannya. Mereka diantaranya mantan Ketua Umum Partai Demokrat Anas Urbaningrum, Bendahara Umum Demokrat Muhammad Nazaruddin, mantan Presiden Partai Keadilan Sejahtera Luthfi Hasan Ishaq dan mantan Menpora Andi Mallarangeng.

Hukuman para pelaku korupsi itu juga beraneka ragam, mulai dari dua tahun, tujuh tahun, hingga hukuman terberat yaitu seumur hidup yang dijatuhkan kepada mantan Ketua MK Akil Mochtar. Ketika itu, hakim yang memimpin sidang Akil, adalah Suwidya.

Namun dibalik nama besarnya, pengadilan Tipikor ternyata mempunyai beberapa masalah. Terutama terkait berkurangnya hakim ad hoc (sementara) yang ada di pengadilan ini.

HANYA LIMA - Pengadilan Tipikor, Jakarta memang berisi dua kategori hakim, pertama hakim karir yang berasal dari berbagai pengadilan negeri yang memang diperbantukan, dan kedua hakim ad hoc yang sejak awal ditempatkan di lokasi ini.

Humas Pengadilan Tipikor, Sutio Jumagi Akhirno yang sempat berbincang dengan sejumlah awak media mengungkapkan berbagai permasalahan yang ada. Salah satunya mengenai berkurangnya jumlah hakim ad hoc yang semula ada delapan orang dan saat ini hanya ada lima orang saja.

"Sekarang pengadilan tipikor mengalami suatu kendala dengan berkurangnya hakim ad hoc yang semulanya delapan orang, tiga sudah tidak diperpanjang tinggal lima orang," kata Sutio kepada wartawan, Senin (5/10).

Tiga orang yang dimaksud Sutio yaitu Made Hendra, Slamet Subagyo dan Hendra Yosfin. Untuk Made Hendra, Sutio menyebut yang bersangkutan memang telah mengundurkan diri sejak lama. Sedangkan untuk dua hakim lainnya, ia mengaku tidak tahu pasti mengenai ketidakberadaan mereka.

"Yang dua mungkin pertimbangan sendiri, kayak Slamet Subagyo sudah cukup tua umurnya. Yang satu lagi (Hendra Yosfin) enggak tahu mungkin pertimbangan atasan kita," terang Sutio.

Jumlah ini diperparah lagi dengan adanya dua orang hakim yang berhalangan menangani sidang. Satu orang diantaranya karena sakit, dan seorang lagi karena menunaikan ibadah haji. Namun Sutio tidak mengungkapkan nama-nama hakim tersebut.

PENGARUHI PENANGANAN PERKARA - Menurut Sutio, sebenarnya ada tiga orang hakim ad hoc yang akan masuk menggantikan para hakim adhoc yang keluar. Satu dari Banten dan sudah melapor sehingga kemungkinan pertengahan Oktober ini akan masuk, serta dua lagi dari Surabaya. Namun khusus dua orang ini, belum ada kabar yang pasti kapan waktu mereka untuk masuk mengisi kekosongan yang ada.

Atas kekurangan hakim ini, menurut Sutio tentu akan mempengaruhi penanganan perkara yang ada. Terlebih lagi, saat ini pengadilan Tipikor harus menangani 21 kasus tindak pidana korupsi baik itu yang berasal dari Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), maupun Kejaksaan Agung.

"Makanya perkara yang sekarang banyak agak tertunda. Ini menunggu sidang lainnya di atas kalau sudah lengkap sambil menunggu penetapan Ketua (Majelis) tentang penggantian hakim yang sakit," tutur Sutio.

Sutio menjelaskan, sebenarnya untuk setingkat pengadilan Tipikor, jumlah hakim ad hoc yang dibutuhkan berkisar hingga 12 orang. Hal ini untuk membantu para hakim karir yang ada saat ini yang berjumlah sekitar 16 orang.

Untuk itu ia berharap, Mahkamah Agung dapat menambah jumlah hakim terutama ad hoc untuk mempercepat penanganan perkara yang ada. Sebab kekurangan hakim ad hoc merupakan permasalahan utama yang ada saat ini.

"Kalau hakim karier tidak masalah, bisa diambil dari (PN) Jakut, Jaksel, masih banyak stoknya. Jadi sangat diharapkan sekali, agar hakim ad hoc itu ditambah," pungkas Sutio.

HARAPAN KPK - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) merupakan salah satu lembaga yang terimbas atas pengurangan para hakim ini. Sebab, selama ini Pengadilan Tipikor, Jakarta merupakan tempat utama pembuktian penuntut umum dalam menangani perkara korupsi.

Salah satu pelaksana tugas KPK Indriyanto Seno Adji mengatakan pengurangan hakim ini merupakan salah satu masalah yang harus segera diselesaikan. Sebab, hal ini bisa menghambat berbagai penanganan yang ada saat ini.

"Memang ini masalah sistem rekruitmen dari negara khususnya masalah SDM Hakim ad hoc sebagai salah satu persyaratan pengadilan tipikor," tutur Indriyanto kepada gresnews.com.

Untuk itu ia berharap Mahkamah Agung bersama pemerintah pusat dapat segera melakukan seleksi untuk mengangkat para hakim ad hoc. Hal ini dilakukan, supaya Pengadilan Tipikor dapat segera menyelesaikan berbagai perkara kasus korupsi.

"Pemerintah sebaiknya bersama MA segera menindaklanjuti pengangkatan hakim-hakim ad hoc melalui fit n proper test," pungkas Indriyanto.

Dalam catatan gresnews.com, sidang di Pengadilan Tipikor memang berkali-kali tertunda karena kurangnya Majelis Hakim. Bahkan beberapa diantaranya satu sesi sidang saja bisa memakan waktu hingga tengah malam.

Salah satunya yaitu sidang perkara Otto Cornelis Kaligis yang digelar pekan lalu. Awalnya, sidang dijadwalkan pada pukul 15.00 WIB, tetapi molor hingga pukul 17.00 WIB dan baru selesai pada pukul 00.00 WIB tengah malam.

Selanjutnya pada sidang Suryadharma Ali yang digelar hari ini. Jadwal sidang pada mulanya pukul 10.00 WIB, tetapi baru dimulai pada pukul 17.30 WIB atau tertunda hingga 5,5 jam. Penyebabnya, hakim anggota yang bisa hadir hanya dua orang karena harus menangani perkara lain

BACA JUGA: