JAKARTA, GRESNEWS.COM - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) memaparkan laporan kinerja tahun 2016. Diantaranya terkait bidang pencegahan, penindakan, serta koordinasi supervisi dengan berbagai penegak hukum lain maupun dengan lembaga/kementerian serta provinsi ataupun kabupaten.

Selain itu, KPK juga mempunyai beberapa target kinerja pada 2017seperti menyelesaikan perkara yang belum tuntas baik peninggalan rezim sebelumnya ataupun pada masa kepemimpinan Agus Rahardjo. Kemudian pengawasan di berbagai sektor strategis seperti perizinan di sektor Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM).

Dari beberapa target yang ada, satu hal yang cukup menjadi sorotan yaitu pemidanaan korporasi yang tata caranya telah rampung melalui Peraturan Mahkamah Agung (Perma) Nomor 13 tahun 2016 oleh Mahkamah Agung tentang tata cara penanganan korupsi oleh perusahaan. Melalui Perma ini, KPK akan mencatat sejarah dengan memidanakan korporasi untuk pertama kali semenjak lembaga ini berdiri pada 2003 lalu.

Sayangnya, pemidanaan terhadap korporasi ini masih terkesan tebang pilih. Wakil Ketua KPK Laode Muhamad Syarif mengindikasikan untuk memprioritaskan perusahaan swasta daripada Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dalam mempidanakan korporasi bermasalah. Padahal dalam beberapa perkara, beberapa perusahaan plat merah cenderung punya andil dalam perkara yang melibatkan para pejabatnya.

Sebut saja dalam kasus pembangunan Stadion Olahraga Hambalang ada nama PT Adhi Karya, kemudian PT Hutama Karya dalam perkara pembangunan Diklat Sorong Kementerian Perhubungan, ada juga PT Nindya Karya di kasus korupsi Dermaga Sabang. Baru-baru ini ada perkara suap yang diperuntukkan kepada Kajati DKI Jakarta dan Aspidsus oleh petinggi PT Brantas Abipraya serta kasus suap pengadaan pupuk di PT Berdikari.

"Sebenarnya kasusnya kita belum tetapkan yang mana. Tapi untuk BUMN itu lebih tricky karena kerugian keuangan negaranya diterima oleh BUMN. BUMN itu juga bagian dari negara, jadi itu agak tricky," kata Syarif di kantornya, Senin (9/1).

Syarif memberikan contoh mengapa BUMN cenderung sulit dijadikan prioritas dijerat kasus korupsi. "Jadi kalau misalnya kita ambil dendanya, (ibaratnya) dari kantong kanan masuk lagi ke kantong kiri, jadi sama saja dari negara ke negara," terangnya.

Sinyal lain KPK masih ragu untuk mempidanakan perusahaan plat merah karena Syarif meyakini jika korupsi yang dilakukan dinikmati oleh individu, bukan masuk ke kantong perusahaan. Berbeda dengan korupsi perusahaan swasta yang pemidanaannya akan langsung dibahas oleh KPK.

"Dan sebenarnya kalau yang masuk BUMN itu, saya yakin dinikmati oleh individu-individu di dalam BUMN itu, bukan dari BUMNnya sendiri. Tapi kalau untuk (perkara korupsi yg melibatkan) pure korporasi, nanti itu bahas. Tapi sekarang kita ada patokannya, jadi akan lebih gampang bekerja, KPK, polisi, dan jaksa," pungkas Syarif.

"Jadi kalau kita hukum korporasinya, misal BNI. BNI kan perusahaan negara, terus diambil kerugian keuangan negaranya, kan sama aja sama-sama uang negara, itu dilema teknis. Dan di luar negeri juga, kaya di Belanda, mereka lebih fokus pada korporasi murni, bukan korporasi milik negara. Misalnya itu korporasi yang melakukan BUMN, pasti (uangnya) pergi ke orang-orangnya. Nah, orangnya yang kita proses, berarti itu suap jadi kaya misalnya PT Berdikari," sambungnya.

TARGET PEMIDANAAN KORPORASI - Sedangkan untuk sektor mana yang menjadi prioritas, menurut Syarif Perma Korporasi juga akan digunakan untuk menjerat perusahaan yang terlibat kebakaran hutan. Lingkungan hidup, kata Syarif memang menjadi prioritas KPK lainnya dalam target kinerja pada 2017 nanti.

"Kebakaran hutan karena lingkungan hidup adalah sektor yang jadi prioritas. Jadi kasus-kasus baik penelitian, penindakan, pencegahan tetap jadi fokus KPK. Khusus melibatkan korporasi KPK terima kasih ke MA yang telah mengeluarkan Perma tentang tanggung jawab pidana korporasi dan kebetlulan Perma sebelum dibuat dikonsultasikan dengan Kepolisian, Kejaksaan," tutur Syarif.

Syarif sendiri enggan mengungkap korporasi mana yang menjadi target pertama yang dijerat korupsi. Namun ia memastikan tidak akan ragu untuk menjerat perusahaan yang memang terbukti melakukan tindak pidana korupsi. Selain KPK, Perma korporasi ini juga bisa memudahkan aparat penegak hukum lain seperti kepolisian dan kejaksaan.

"Apakah KPK akan menggunakan Perma untuk uji coba tidak bisa jawab kalau ada kasus yang pas yang memenuhi syarat untuk tanggung jawab korporasi tentu KPK, Kepolisian dan Kejaksaan tidak ragu menjalankan hal ini," pungkasnya.

KPK memang menargetkan untuk mempidanakan korporasi pada 2017 nanti. Hal ini sejalan dengan disahkannya Perma Nomor 13 tahun 2016 oleh Mahkamah Agung tentang tata cara penanganan korupsi oleh perusahaan.

"Menindaklanjuti penerapan Perma 13/2016 tentang tata cara penanganan tindak pidana oleh korporasi baik dari aspek penidnakan maupun pencegahan dapat membayangkan 2017 KPK sudah menyentuh korporasi sebagai tersangka," kata Wakil Ketua KPK Basaria Panjaitan.

Setidaknya ada beberapa strategi pada 2017:
1. Melanjutkan penanganan perkara tahun 2016 dan mempercepat utang kasus lama yang diselesaikan bertahap pada 2017.
2. KPK menindaklanjuti putusan MK perkara Nomor 109/PUU-13/2015 yang dibacakan 9 November 2016 yang pada prinsipnya menegaskan KPK dapat merekrut penyidik sendiri.
3. Menindaklanjuti penerapan Perma 13/2016 tentang tata cara penanganan tindak pidana oleh korporasi baik dari aspek penindakan maupun pencegahan dapat pada 2017 KPK sudah menyentuh korporasi sebagai tersangka.
4. Intensifikasi pemberantasan korupsi di sektor pertahanan dan bekerja sama dengan Kemenhan dan TNI, Panglima TNI pada tahun 2017.
5. KPK melakukan kajian dan perbaikan sektor strategis termasuk peningkatan kesejahteraaan aparat penegak hukum.
6. Peningkatan pemberantasan korupsi pelayanan publik bekerjasama dengan Ombudsman, Satger pungli dan pelayanan publik lain terkait dengan perluasan platform JAGA.
7. Penguatan pengawasan korupsi pengadaan barang dan jasa, e-budgeting, e-planning, dan e-perizinan

BACA JUGA: