JAKARTA, GRESNEWS.COM –  Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI) menyesalkan langkah  Mahkamah Kontitusi (MK) yang mengambil keputusan tentang pengajuan uji materi Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional (UU Sisdiknas) tentang wajib belajar (wajar) 12 tahun tanpa mendengarkan keterangan ahli dan pihak terkait,  hari ini, Rabu(7/10). Putusan  MK yang akhirnya menolak gugatan uji materi itu dinilai mengecewakan para pemohon.

Kuasa hukum JPPI, Ridwan Darmawan mengatakan, kekecewaan para pemohon disebabkan proses penanganan perkara tersebut. Sebab perkara yang diajukan sejak 5 September 2014 itu sempat mandek. Bahkan tak terdengar  proses persidangan gugatan uji materi tersebut. Selama satu tahun lebih proses uji materi, pihaknya hanya diundang sebanyak dua kali proses persidangan di hadapan Hakim Panel MK, yaitu pada agenda sidang pendahuluan tanggal 7 Oktober 2014 dan sidang perbaikan permohonan pada tanggal 21 Oktober 2014.

Pasca sidang perbaikan permohonan Oktober tahun lalu, Ridwan dan para pemohon uji materi tidak pernah menerima undangan untuk mengikuti sidang lanjutan. Namun Senin (5/10) kemarin, lanjut Ridwan, pihak Kepaniteraan MK menghubungi salah satu Tim Advokasi Wajar 12 Tahun melalui sambungan seluler dan menginformasikan bahwa MK akan menyidangkan perkara Uji Materi UU Sisdiknas pada hari Rabu (7/10) dengan agenda mendengarkan putusan.

"Ini yang membuat kami meragukan keputusan MK. Setelah kami digantung selama setahun kemudian tiba-tiba kami dihubungi panitera untuk bersidang dengan agenda putusan," kata pria yang juga menjabat sebagai Ketua Eksekutif Indonesian Human Rights Committee for Sosial Justice (IHCS) itu kepada gresnews.com, Selasa (6/10).

Ridwan mengatakan putusan itu diragukan karena tanpa melewati proses mendengarkan keterangan ahli, DPR, pemerintah dan pihak terkait lainnya. Kendati demikian, Ridwan berharap MK tetap dapat mengabulkan permohonan perkara dengan Nomor : 92/PUU-XII/2014 tersebut.

Sebab, Ia menilai, uji materi yang diajukannya terkait harus ditetapkannya payung hukum Wajib Belajar (Wajar) 12 itu merupakan kepentingan nasional yang telah diamanahkan oleh  pembukaan UUD 1945 yaitu salah satu tujuan didirikannya Negara Republik Indonesia adalah untuk mencerdaskan kehidupan bangsa.

PRESEDEN BURUK MK– Koordinator Investigasi ICW, Febri Hendri, Mengatakan, keputusan yang dibacakan MK tanpa melalui agenda mendengar pihak-pihak terkait seperti DPR, Pemerintah, dan keterangan ahli merupakan preseden buruk bagi mekanisme pengambilan keputusan oleh Mahkamah Konstitusi.

Menurutnya, Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 2 tahun 2003 tentang Persidangan Mahkamah Konstitusi, Pasal 9 Bagian Sidang Pleno Mahkamah telah mengatur pihak pemohon dan pihak terkait menghadirkan ahli dan Hakim Konstitusi harus mendengarkan keterangan ahli atau pihak terkait lainnya. Selain itu, dalam Pasal 9 ayat 10 juga mengatur para pihak harus mengajukan alat bukti di muka persidangan.

"Keterangan ahli atau pihak terkait dalam permohonan uji materi dan alat bukti yang cukup dalam persidangan menjadi acuan bagi hakim konstitusi untuk memutuskan perkara permohonan uji materi. Masalahnya proses itu tidak ada pada uji materi ini, jadi dasar hukum keputusan MK besok pun berdasarkan apa, tidak jelas!" tegas Ferdi di kantornya, Kalibata Timur, Jakarta Selatan.

Hal yang sama juga disampaikan Pakar Hukum Tata Negara, Margarito Kamis. Ia menilai undangan MK terhadap pemohon dengan agenda mendengarkan putusan tanpa mendengarkan keterangan ahli atau pihak terkait dalam sebuah peradilan adalah sebuah keputusan yang tidak masuk akal.

Mekanisme pengambilan keputusan sebuah perkara harus berdasarkan alat bukti yang cukup. Alat bukti itu, lanjut Margarito, dapat diperoleh jika hakim mendengarkan keterangan ahli, atau pihak terkait lainnya sebelum mengambil keputusan.

"Kalau baru dua kali sidang tanpa mendengarkan keterangan ahli atau pihak-pihak terkait yang diajukan kedua belah pihak itu artinya hakim belum memiliki alat bukti untuk memutuskan sebuah perkara. Lalu atas dasar apa mereka (Hakim MK) akan membacakan putusan di persidangan?" katanya kepada gresnews.com melalui sambungan seluler.

Mantan anggota Tim Seleksi Hakim Mahkamah Konstitusi itu menyesalkan mekanisme pengambilan keputusan perkara oleh Mahkamah Konstitusi dengan mengabaikan alat bukti yang cukup. Baginya, apapun keputusan yang diambil oleh Hakim MK dalam uji materi harus berdasarkan bukti-bukti yang cukup.

"Mau apapun hasil persidangannya, mau Hakim nanti menerima atau menolak gugatan uji materi itu tidak penting. Yang terpenting adalah mekanisme pengambilan keputusannya dilakukan dengan baik dan benar," tegasnya.

PERLAKUAN BERBEDA – Manager Program Network for Education Watch Indonesia, Robi’atul Adawiyah, menyesalkan sikap MK yang akan memutuskan permohonan uji materi UU Sisdiknas tidak seperti proses persidangan uji materi kasus-kasus politik lainnya. Menurutnya, kasus uji materi penyelesaian sengketa Pilkada, UU MD3, atau lainnya, diputuskan oleh Hakim Konstitusi setelah melewati proses mendengar keterangan ahli atau pihak-pihak terkait lainnya dengan sebagaimana mestinya.  

"Kenapa dalam memutuskan perkara ini berbeda dengan kasus-kasus politik lainnya,” kata wanita yang akrab disapa Ruby kepada gresnews.com.

Padahal, katanya, gugatan Uji Materi UU Sisdiknas tentang Wajib Belajar (Wajar) 12 Tahun tak kalah penting dengan kasus politik lainnya. Ia menambahkan, dalam permohonan uji materi para pemohon meminta agar Negara memberikan kepastian hukum dalam sektor pendidikan dengan dilakukannya Wajar 12 tahun.

Diketahui sebelumnya, sekitar satu tahun silam, sejumlah Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) dan lima orang warga Negara Indonesia yang tergabung dalam Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI) melakukan permohonan Uji Materi UU No 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional.

Para pemohon mempersoalkan Pasal 6 ayat 1 yang mengatur batas usia dari tujuh tahun sampai dua belas tahun  tahun program Wajib Belajar 9 Tahun yang saat ini dilakukan oleh Pemerintah. Atau dengan kata lain Wajar yang dicanangkan oleh Pemerintah hanya dimulai dari tingkat SD/Madrasah Ibtidaiyah sampai SMP/MTs. Dengan demikian para pemohon meminta agar batas usia dalam program Wajar tersebut ditingkatkan sampai tingkat SMA/MA/SLTA atau sekolah sederajat lainnya dengan program Wajar 18 Tahun.

Namun dalam sidang putusan, Rabu (7/10) yang menolak gugatan uji materi ini,  karena  pertimbangan  gugatan tersebut tidak berlandaskan hukum. Sebab  permintaan wajar 12 tahun itu berkaitan dengan kebijakan nasional atau rencana kerja pemerintah pusat yang berhubungan anggaran APBN dan berhubungan dengan rencana kerja strategis bidang pendidikan. Dalam menentukan rencana kerja jangka pendek itu, pemerintah telah berkoordinasi dengan DPR dan telah menghasilkan UU tersebut.

Dalam pembacaan putusan tersebut hakim juga disampaikan alasan tidak dilakukannya proses meminta keterangan  ahli dan memanggil pihak terkait seperti pemerintah dan DPR. Menurut hakim MK Wahiduddin Adams, karena mereka berpandangan  pemeriksaan ahli sudah tidak diperlukan lagi, alasannya data dan berkas yang disampaikan  pemohon telah cukup bagi  hakim untuk  mengambil keputusan.

Menurutnya Wahidudin pempertimbangkan Pasal 54 UU MK, yang menyatakan Mahkamah Konstitusi dapat meminta keterangan dan atau risalah rapat yang berkenaan dengan permohonan yang sedang diperiksa kepada  MPR, DPR,  DPD dan atau Presiden dalam melakukan pengujian atas UU. Dengan kata lain dapat meminta atau tidak meminta keterangan dan atau risalah rapat yang berkenaan permohonan uji materi UU yang diperiksa kepada MPR, DPR, DPD dan Presiden tergantung pada urgensinya . "Oleh karena permasalahan hukum dan permohonan aquo sudah cukup jelas. MK memutuskan perkara aquo tanpa mendengar keterangan dan atau risalah rapat dari MPR DPR DPR dan Presiden," katanya.
(Rifki Arsilan)

BACA JUGA: