JAKARTA, GRESNEWS.COM - Kejaksaan Agung (Kejagung) tengah mengkaji kelanjutan "nasib" sejumlah kasus yang mangkrak dan mengendap. Kejagung menyatakan tak ingin menggantung kasus-kasus menahun tersebut di Gedung Bundar. Terutama untuk kasus korupsi. Jika cukup bukti, akan dimajukan ke pengadilan. Bila tidak, akan dihentikan.

Jaksa Agung Muhammad Prasetyo mengungkapkan hingga saat ini tim jaksa masih bekerja. Ia menegaskan, semua perkara harus ada penyelesaiannya. Langkah itu disebutnya sebagai program zero outstanding.

Prasetyo meminta masyarakat tak hanya melihat perkara dari muaranya, tetapi juga saat awal penanganannya. "Kami tidak mau menggantung perkara. Kita sedang kerja keras untuk  zero outstanding itu," kata Prasetyo di Gedung Kejaksaan Agung, Jakarta, Jumat (5/8).

Menurut Prasetyo, dirinya tak ingin terbebani dengan kasus-kasus lama yang mengendap dan tidak jelas penyelesaiannya. Menurutnya, semua perkara yang ditangani harus ada penyelesaiannya. Apakah lanjut ke pengadilan karena cukup bukti atau dihentikan karena tidak cukup bukti.

Dalam 10 tahun terakhir sejumlah kasus korupsi tak jelas penuntasannya di Gedung Bundar. Di antaranya kasus Bank Mandiri dengan debitur PT Lativi Media Karya. Tiga tersangka yakni Abdul Latief, Hasyim Sumiana dan Usman Dja’far tak tersentuh.

Lalu kasus pembobolan dana Bali Tour Development Corporation (BTDC) di Bank Permata, Kenari, Jakarta Pusat, dengan tersangka Dwika Noviarti (Kepala Bank Permata Cabang Kenari) dan Direktur Keuangan BTDC Solichin juga tak jelas penuntasannya.

Dalam kasus jaringan sampah di Dinas PU DKI, Kejagung juga tengah meneliti tidak berlanjutnya berkas perkara mantan Kepala Dinas PU DKI Jakarta Ery Basworo. Padahal tersangka lain telah dibuktikan bersalah.

Juga kasus kasus BJB Tower dengan tersangka Dirut PT Comradindo Lintasnusa Perkasa Tri Wiyasa. Status Tri Wiyasa tak jelas setelah Pengadilan Negeri Jakarta Selatan mengabulkan gugatan praperadilan dari Tri Wiyasa atas penetapan tersangkanya.

Kemudian kasus bioremediasi Chevron. Satu tersangkanya, Alexia Tirtawidaja, hingga kini masih buron. Sementara eksekusi uang pengganti sebesar Rp100 miliar baru dibayar Rp1 miliar. Namun jaksa terkesan diam dan tak menindaklanjutinya.

Lalu kasus penyalahgunaan frekuensi PT IM2, anak usaha PT Indosat. Saat ini masih ada empat tersangka yang belum dilimpahkan ke pengadilan yakni Johnny Swandy Sjam, Hari Sasongko dan korporasi PT Indosat Tbk dan PT IM2 Tbk.

Ada juga kasus-kasus baru yang penanganannya tak jelas. Bahkan kasus-kasus ini terancam akan dihentikan penyidikannya. Di antaranya kasus penjualan cessie PT Victoria Securities International. Ada empat orang yang telah dilakukan pencekalan. Pemilik PT Bank Panin Mukmin Ali Gunawan juga telah diperiksa. namun saat ini belum satu pun yang ditetapkan tersangka.

Kemudian kasus manipulasi restitusi pajak PT Mobile-8. CEO MNC Grup Harry Tanoesoedibjo telah diperiksa. Namun kasus ini tak kunjung ada tersangka.

Terakhir kasus dugaan "Papa Minta Saham" yang terkait perpanjangan kontrak karya PT Freeport Indonesia. Dalam kasus Freeport, Kejaksaan telah meminta keterangan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Sudirman Said, Direktur PT Freeport Indonesia Maroef Sjamsoeddin serta Ketua Umum Partai Golkar Setya Novanto. Namun kasus ini tak jelas muarannya dan cenderung diendapkan menyusul terpilihnya Setya sebagai ketua umum Partai Golkar.

Evaluasi kasus-kasus lama oleh Kejaksaan Agung disambut baik banyak pihak. Hanya saja evaluasi kasus-kasus mangkrak itu diminta agar dilakukan secara transparan.

Apalagi jika kasus tersebut telah ada penetapan tersangka, bahkan telah ada yang berkekuatan hukum tetap tetapi dihentikan. "Harus dilakukan transparan," kata pakar hukum pidana Universitas Trisakti, Abdul Fickar Hadjar, dalam beberapa kesempatan.

BUKA KASUS SP3 - Indonesia Corruption Watch (ICW) justru meminta Kejagung tak hanya mengevaluasi kasus-kasus mangkrak. Kejagung juga ditantang untuk membuka kembali kasus-kasus yang telah dihentikan perkaranya.

Minimal ada 15 perkara korupsi kakap yang dihentikan di tingkat penyelidikan dan penyidikan yang diduga melibatkan politisi, kepala daerah, obligor BLBI/swasta. Kasus tersebut antara lain perkara cessie Bank Bali, penyaluran kredit Bank Mandiri terhadap beberapa perusahaan seperti PT Cipta Graha Nusantara (CGN), PT Kiani Kertas, PT Lativi Media Karya, PT Great River International, dan PT Artha Bhama Texindo.

Kemudian kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) BDNI, Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) BCA, divestasi saham PT Kaltim Prima Coal (PT KPC) sebesar Rp576 miliar, kasus dana mobilisasi anggota DPRD Gorontalo,  pembebasan tanah eks Pabrik Kertas Martapura 2002-2003, proyek optimalisasi pabrik PT Semen Baturaja, proyek pipanisasi BBM di Pulau Jawa dan JORR, penjualan dua tanker VLCC Pertamina, pemberian fasilitas kredit ke PT Texmaco, pengadaan PLTU Borang di Sumatera Selatan, dana reboisasi penanaman hutan oleh PT Musi Hutan Persada, Sistem Administrasi Badan Hukum (Sisminbakum) di Kementerian Hukum dan HAM dan dugaan korupsi di Kementerian Luar Negeri soal dana operasional di KBRI Thailand dan biaya perjalanan Dinas.

"Diakui, secara kuantitas jumlah perkara korupsi yang ditangani oleh kejaksaan sudah luar biasa. Namun masih saja menjadi catatan, berani tidak jaksa agung buka kasus-kasus SP3 tersebut?" kata anggota Badan Pekerja ICW Emerson Yuntho.

BACA JUGA: