JAKARTA, GRESNEWS.COM - Mantan hakim Mahkamah Konstitusi (MK) Patrialis Akbar yang tersangkut perkara korupsi dalam perkara suap uji materi UU Peternakan dan Kesehatan Hewan mengajukan pengunduran diri. Hal tersebut tidak tepat karena sebaiknya pemberhentian Patrialis Akbar sebagai hakim MK harus didasarkan pada putusan majelis etik bukan dengan mengundurkan diri.

Mantan hakim Mahkamah Konstitusi (MK) Mahfud MD mengungkapkan pemberhentian Patrialis Akbar akan memiliki konsekuensi yang berbeda jika pemberhentian didasarkan pada pengunduran dirinya. "Pemberhentian Patrialis itu tidak bisa didasarkan pada permohonan Patrialis untuk mengundurkan diri. Tapi diberhentikan karena melanggar kode etik," ujar mantan hakim MK Periode 2008-2011 di Cikini, Jakarta Pusat, Senin (6/2).

Untuk diketahui, Patrialis Akbar memang telah mengajukan surat pengunduran dirinya sebagai hakim MK pada Senin (30/1). Pengunduran dirinya telah disampaikan melalui surat kepada kepada MK lantaran kasus yang menimpanya di Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

Menurut pakar hukum tata negara itu, kalau Patrialis Akbar diberhentikan atas dasar surat pengunduran dirinya maka konsekuensinya Patrialis diberhentikan dengan hormat. Padahal Patrialis sedang diperiksa oleh Mahkamah Kehormatan Mahkamah Konstitusi lantaran dugaan kasus suap yang menjeratnya.

Seharusnya, imbuh Mahfud, pemberhentian mesti berdasarkan kesalahan dan pelanggaran etik yang dilakukam Patrialis. Sehingga pemberhentiannya dilakukan dengan tidak hormat.

"Tapi kalau diberhentikan karena dasar melanggar maka diberhentikan dengan tidak dengan hormat itu beda konsekuensinya," ujarnya.

Mahfud mencontohkan pada kasus Akil Mochtar yang juga terjerat kasus korupsi di KPK. Waktu itu, sambung Ketua Presidium KAHMI, Akil Mochtar sempat mengirimkan surat pengunduran dirinya ke MK tetapi MK tidak menerimanya. MK harus memutuskan diluar dasar pengunduran diri yaitu hasil sidang etik berupa pemberhentian.

Mahfud juga menilai, langkah presiden yang akan membuat tim seleksi independen merupakan langkah yang baik untuk mengontrol calon-calon yang berpotensi tersangkut masalah hukum dapat diminimalisasi. Mahfud beralasan, kalau pun ada pengawasan internal tidak akan banyak membantu karena tak bisa menjangkau lebih dalam pengawasan hakim secara pribadi. Oleh karena itu, yang mesti didorong adalah pintu masuk pencalonan hakim melalui seleksi yang ketat dengan membentuk tim seleksi independen.
PERLU PENGAWASAN - Politisi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) Junimart Girsang juga melihat tertangkapnya Patrialis Akbar oleh Komisi Pemberantasan Korupsi menyiratkan lemahnya pengawasan terhadap Mahkamah Konstitusi. Selama ini tidak ada lembaga yang menjadi pengawas terhadap MK yang membuatnya MK semakin baik.

Sedikit berbeda dengan Mahfud MD, Junimart malah menilai perlunya penguatan pengawasan MK baik dengan membentuk badan tersendiri untuk mengawasinya maupun dengan memperkuat peran Komisi Yudisial (KY).

"Makanya MK harus diawasi kalau tidak diawasi bablas aja MK itu," kata Junimart Girsang kepada wartawan di Senayan, Jakarta beberapa waktu lalu.

Namun Junimart memberi catatan jika pengawasan diserahkan kepada Komisi Yudisial. Menurut politisi fraksi PDIP itu, KY telah bias dengan fungsinya untuk mengontrol perilaku hakim bukan ditekankan pada penghukuman terhadap hakim.

Lebih jauh Junimart melihat ada kelemahan sistem rekrutmen calon hakim MK yang menekan pada pemahaman akademik soal hukum namun faktor integritas luput dari poin yang dipertimbangkan. Karena itu, dia setuju jika calon hakim benar direkrut melalui seleksi dari tim yang independen untuk mengantisipasi perilaku koruptif calon hakim.

faktor seperti integritas dan independensi tidak menjadi unsur penting dalam penilaian rekrutmen hakim MK. Terkait itu pun, Junimart juga mengusulkan seleksi hakim MK cukup dengan membentuk tim Panitas Seleksi (Pansel) yang independen seperti dalam rekrutmen komisioner KPK.

"Sama seperti KPK, kenapa kita tidak lakukan seperti KPK. Dengan Pansel ini akan terjaring hakim yang memiliki kualitas yang diharapkan," pungkas DPR Komisi III itu.

BACA JUGA: