JAKARTA, GRESNEWS.COM - Seorang pensiunan TNI, Purwadi (60 tahun), datang ke Mahkamah Konstitusi (MK) menguji Pasal 40 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara terhadap UUD 1945, Senin (5/12). Menurut Purwadi, keberadaan norma tersebut telah menjegal hak konstitusionalnya yang seharusnya ia terima dalam kurun waktu 35 tahun ke belakang.

"Hak saya sebagai warga negara terlanggar karena adanya norma tersebut," kata Purwadi, saat ditemui gresnews.com di Gedung MK, Jalan Medan Merdeka Barat No 6, Jakarta Pusat.

Pasal 40 Ayat (1) UU Perbendaharaan Negara berbunyi, "Hak tagih mengenai utang atas beban negara/daerah kedaluwarsa setelah (5) lima tahun sejak utang tersebut jatuh tempo, kecuali jika ditetapkan lain oleh undang-undang."

Purwadi menerangkan, dirinya adalah salah seorang warga negara yang mengikuti program wajib militer sejak tahun 1976 dan resmi dilantik pada 1 Februari 1977. Selama berstatus anggota TNI AD, Purwadi tercatat pernah mengemban sejumlah tugas, antara lain: turut serta dalam Operasi Seroja di Timor-Timur (dua kali), ikut andil dalam Operasi Mandala di Papua (satu kali), hingga kemudian ditugaskan menjaga tahanan politik G-30 S PKI di Nusakambangan, Cilacap.

Barulah pada 30 September 1981, Purwadi mengakhiri ikatan dinasnya dari TNI. "Sebetulnya ada pilihan mau diperpanjang atau tidak, tapi saya putuskan untuk tidak memperpanjang," katanya.

Atas hal itulah dalam surat pengakhiran ikatan dinas wajib militer yang diterima Purwadi, terdapat keterangan bahwa pria asal Solo tersebut berhak mendapat uang pesangon sesuai dengan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 176 Tahun 1961 tentang Uang Saku, Uang Kompensasi, Uang Pesangon dan Tunjangan-Tunjangan Bagi Wajib Militer dan sokongan sesuai PP NoMor 25 Tahun 1965 tentang Pemberian Tunjangan Yang Bersifat Pensiun Kepada Bekas Wajib Militer.

Namun demikian, sejak menerima surat tersebut, Purwadi mengaku tidak pernah menerima pesangon/sokongan sepeser pun. Bahkan berapa jumlah pesangon yang berhak dia dapat juga Purwadi tidak tahu. "Satu minggu saya tunggu pesangon itu. Satu bulan, masih tidak ada. Akhirnya saya tunggu sampai dua tahun, uang itu tidak jelas juga. Bahkan saya tidak tahu berapa jumlah uang yang mestinya saya terima," katanya.

Purwadi menambahkan, tiap kali dia menanyakan haknya kepada Batalyon Infanteri 406 Candra Kusuma- tempat dulu dia ditugaskan- pihak batalyon selalu bilang bahwa semuanya sedang diproses. Demikian juga saat aduan itu dilayangkan ke Kodam VII Diponegoro (kini Kodam IV Diponegoro). Jawabannya sama, baik pesangon maupun sokongan yang dijanjikan negara, masih dalam proses.

Akhirnya, pada 1983 Purwadi berinisiatif mengirim surat pengaduan kepada Presiden Soeharto. Dalam suratnya, Purwadi meminta agar Presiden Soeharto membantu dirinya mencairkan haknya sekaligus mencarikannya pekerjaan. Barulah 7 bulan kemudian ada surat balasan dari Sekretaris Militer Presiden. "Waktu itu Pak Kardono yang jabat. Intinya, surat itu bilang bahwa kasus saya sudah dilimpahkan ke pihak gubernur. Presiden minta agar urusan itu diselesaikan oleh Gubernur Jawa Tengah," jelas Purwadi. Surat yang diterima Purwadi bertitimangsa Jakarta 30 Juni 1983.

Nyaris setahun kemudian, tepatnya pada 12 Juni 1984, surat kedua datang. Dalam surat dengan kop Sekretariat Militer Presiden tersebut, Purwadi diimbau untuk mengikuti petunjuk dan bimbingan walikota Solo.

"Saya sampaikan bahwa masalahnya sudah dilimpahkan kepada Walikotamadya KDH Tk. II Surakarta, dan mendapat informasi bahwa Sdr telah mendapat pekerjaan tetap sebagai tukang listrik. Untuk seterusnya agar mengikuti petunjuk dan bimbingan dari pihak Kotamadya," demikian bunyi surat yang ditandatangani langsung oleh Sekretaris Militer Presiden, Marsekal Madya TNI Kardono.

Purwadi menjelaskan, setelah surat itu dia terima, tidak ada langkah apa pun yang dilakukan pihak kotamadya. "Ya sudah, berhenti. Setelah surat itu turun tidak ada tindakan apa-apa lagi. Karena dalam surat saya disebut sudah dapat pekerjaan, jadi mungkin dianggap urusan saya selesai," katanya.

Purwadi menerangkan, pernyataan bahwa dirinya telah bekerja sebagai tukang listrik didapat petugas kotamadya dari almarhum ayahnya. Waktu itu, petugas mengklarifikasi status Purwadi kepada keluarganya. Karena Purwadi sedang tidak di rumah, maka yang menerima adalah ayahnya. Sang ayah pun menyatakan bahwa putranya sudah bekerja sebagai tukang listrik.

"Padahal waktu itu saya bekerja sebagai kuli bangunan. Kebetulan bagian proyek listrik," kata Purwadi.

Meski demikian, Purwadi tidak patah arang. Dia terus menuntut haknya sampai 35 tahun kemudian. Barulah pada 2014, tunjangan militer untuknya turun, besarannya Rp42.700. Sedangkan pada 2015, Surat Putusan Pangdam IV Diponegoro Nomor B-2991-12.2015 turun memberitahukan jumlah pesangon yang berhak dia terima.

"Saya baru tahu kalau pesangon saya besarnya Rp16.800 x 5 = Rp84.000," katanya. Namun meski surat keterangan yang ia nantikan sudah turun, dalam surat itu disertakan juga satu keterangan bahwa Purwadi tidak bisa menerima haknya. Alasannya, norma Pasal 40 Ayat (1) UU Perbendaharaan Negara menyebut utang negara yang mestinya dibayarkan kepada Purwadi kini statusnya kedaluwarsa.

"Untuk itulah saya ke MK. Saya minta agar norma itu tidak dibatasi. Jadi utang negara gak ada kedaluwarsanya begitu," tambahnya. Dalam petitumnya, Purwadi menghendaki MK agar membatalkan norma tersebut dengan menyatakan bahwa Pasal 40 Ayat (1) bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.

TUNJUKKAN KEGIGIHAN - Sidang dengan nomor perkara 106/PUU-XIV/2016 yang digelar pada Senin (5/12) beragenda perbaikan permohonan. Dalam sidang singkat yang dipimpin hakim konstitusi Manahan Sitompul tersebut, Purwadi tidak banyak bicara. Dia banyak mengangguk membenarkan setiap hal yang diucapkan hakim.

"Kira-kira memang banyak dibikin perbaikan dalam permohonan itu?" tanya Manahan. "Betul, Yang Mulia," timpal Purwadi, singkat. Hanya, jawaban Purwadi malah menimbulkan kernyit di dahi para hakim. Menurut hakim, permohonan yang diajukan Purwadi justru tidak menunjukkan adanya perbaikan.

"Nah, ini jadi salah. Malah di atas ini jadi ada putusan. Apa kira-kira maksud Bapak? Kok membuat sampai begitu semua?" tanya Manahan.

Menanggapi hal itu, Purwadi hanya menjawab bahwa dirinya hanyalah lulusan SD dan ingin negara bertanggung jawab atas kerugian konstitusional yang ia alami selama lebih dari 30 tahun. Para hakim paham akan keinginan Purwadi, hal itu sudah disampaikan Purwadi di persidangan sebelumnya. Hanya, terkait perbaikan permohonan, tampaknya Purwadi tidak mematuhi apa yang disarankan hakim sebelumnya.

Pada persidangan perdana yang digelar Selasa (22/11) lalu, hakim konstitusi Aswanto menyarankan Purwadi agar mengurai pokok permohonannya lebih dalam lagi. Sementara hakim I Dewa Gede Palguna meminta Purwadi agar menekankan pertentangan norma dengan UUD 1945. Bukan hanya menjelaskan secara kronologis perkara konkret yang Purwadi alami.

Di ruang sidang pleno MK, selama persidangan berlangsung, Dani, anak Purwadi yang turut mendampingi ayahnya, tertunduk. Barulah sehabis persidangan dia bicara. "Bapak orangnya keras. Apa yang dia mau harus terus diperjuangkan," katanya. Dani juga menuturkan bahwa bapaknya pernah diminta salah satu aparat untuk menghentikan perjuangannya.

"Jangan diramaikan," ujar Dani menirukan ucapan aparat yang ia maksud. Tak jarang tiap kali bapaknya bertandang ke kantor TNI untuk menanyakan haknya, Purwadi malah diberi uang ongkos agar lekas pulang. Namun demikian, Purwadi terus maju tanpa menghiraukan hal itu.

Disinggung mengapa tidak mengajukan aduan ini ke Ombudsman, atau lewat sidang perdata, Dani menyebut bahwa bapaknya terlalu polos untuk urusan seperi itu. "Ini dia ke MK juga tahu dari TV. Ikut-ikutan saja. Bilang ingin memperjuangkan haknya. Padahal sudah kita larang-larang," kata Dani.

Dani menjelaskan, saat ini ayahnya masih bekerja sebagai kuli bangunan dan tinggal di rumah kontrakannya di Bekasi. Jika tidak ada pekerjaan, kegiatan Purwadi adalah mengurus cucunya. Adapun mengenai permohonan yang diajukan ke MK, Dani menerangkan bahwa permohonan itu ditulis sendiri oleh ayahnya selama 2 bulan, ditulis pakai tangan. "Adik saya yang kerja di Telkom yang ketik permohonannya," tambah Dani.

Dihubungi terpisah, komisioner Ombudsman Alamsyah Siragih menyatakan bahwa apa yang dialami Purwadi adalah dampak nyata dari praktek maladministrasi. Namun demikian, Alamsyah menyatakan bahwa sepengetahuan dirinya aduan semacam itu belum pernah ada yang masuk ke Ombudsman.

"Aduan soal maladministrasi di lingkungan militer biasanya soal pelanggaran oleh aparat," kata Alamsyah kepada gresnews.com.

Soal kasus konkret yang dialami Purwadi, Alamsyah berpendapat UU Perbendaharaan Negara semestinya tidak berlaku bagi Purwadi. Pasalnya, UU itu baru berlaku pada tahun 2004 sedang Purwadi pensiun sejak 1981.

"Lha kan UU Perbendaharaan Negara baru berlaku 2004. Sedangkan yang bersangkutan pensiun 1981. Harusnya tak terikat UU ini," katanya.

Alam juga menyarankan agar Purwadi meminta MK menafsirkan norma yang tengah dia ujikan. "Harusnya dia minta tafsir ke MK, apabila 5 tahun sejak pihak yang berhak atas piutang pemerintah tersebut tidak mengajukan upaya penagihan tanpa alasan yang sah, baru kedaluwarsa" katanya.

Terakhir, Alam menyayangkan berlarut-larutnya proses pencairan dana pesangon semacam itu. "Itu parah yang bikin surat. Kalau di Ombudsman namanya tidak kompeten," katanya sambil tertawa.

Terlepas dari saran di atas, Purwadi menegaskan bahwa dirinya hanya ingin mendapat hak atas apa yang sudah dijanjikan negara kepadanya. "Saya nagih itu. Lagipula saya dengar anggaran untuk militer itu jumlahnya besar," katanya.

Disinggung apa artinya uang Rp84.000 yang menjadi haknya saat ini, Purwadi menjelaskan bahwa uang itu memang terlihat kecil untuk ukuran saat ini. Hanya, andai saja uang itu ia terima pada 1981 lalu, uang sebesar itu sudah cukup untuk membeli sepetak tanah atau untuk biaya pendidikan anak-anaknya. "Banyak kerugian yang saya tanggung dari segi ekonomi, pekerjaan dan pendidikan anak. Dari segi sosial belum terhitung nilainya," katanya.

Purwadi harus menunggu putusan Rapat Permusyawaratan Hakim (RPH) untuk mengetahui perkaranya dapat dilanjut atau tidak. Namun demikian dirinya tampak pasrah dengan apa pun hasil putusan RPH MK. "Kalau diterima Alhamdulillah, kalau pun nggak, nggak apa-apa. Yang penting saya sudah berusaha. Sudah datang ke MK. Ini upaya terakhir," pungkasnya. (Zulkifli Songyanan)

BACA JUGA: