JAKARTA, GRESNEWS.COM - Para anggota Komisi V Dewan Perwakilan Rakyat semakin terpojok dengan adanya kesaksian dari Jaelani Paranddy. Staf khusus anggota Komisi V Yasti Soepredjo Mokoagow ini banyak memberikan keterangan yang semakin menegaskan keterlibatan beberapa anggota dewan dalam kasus suap pembahasan proyek di Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR).

Dalam kesaksiannya, Jaelani mengakui beberapa kali menjadi perantara para anggota dewan yang menerima suap dari para pengusaha. Salah satunya adalah dari Direktur Utama PT Windhu Tunggal Utama Abdul Khoir dan Soe Kok Seng atau Aseng.

Jaelani mengaku pernah mengantarkan uang suap kepada dua orang anggota dewan, yaitu Andi Taufan Tiro dan juga Musa Zainuddin. Keterangannya terkait suap kepada Musa ini dinilai penting. Pasalnya, dalam kasus ini, Andi telah ditetapkan sebagai tersangka menyusul dua koleganya Damayanti Wisnu Putranti dan juga Budi Supriyanto. Namun Musa masih bebas berkeliaran dan sampai saat ini belum menjadi pesakitan seperti para rekan-rekannya.

Kesaksian kunci yang menyudutkan Musa itu disampaikan Jaelani saat dihadirkan sebagai saksi dalam sidang lanjutan perkara tersebut dengan terdakwa Abdul Khoir, di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta, Rabu (4/5). Jaelani dalam kesempatan itu membantah keterangan Musa di persidangan sebelumnya yang menyatakan ia tidak menerima uang sepeser pun.

Dalam kesaksiannya, Jaelani mampu menerangkan secara rinci bagaimana uang yang diberikan Abdul dan Aseng memang diperuntukkan kepada Musa. "Saat pemeriksaan lanjutan di KPK, tadinya saya tidak tahu, tapi setelah ditunjukkan foto, saya yakin itulah orang yang saya temui. Baru tahu namanya Mutakim," ujar Jaelani dalam kesaksiannya.

Mutakim yang dimaksud adalah staf khusus Musa. Jaelani mengatakan dirinya memberikan uang sebesar Rp7 miliar dari Abdul Khoir kepada Musa melalui Mutakim. Penyerahan uang dilakukan sekitar tanggal 26-27 Desember 2015, di sekitar kawasan Kalibata, Jakarta Selatan.

Pada saat proses penyerahan uang, Jaelani mengaku tidak asing dengan wajah Mutakim. Dan setelah itu ia sadar bahwa ia pernah beberapa kali bertemu Mutakim ketika rapat-rapat di Gedung DPR saat dirinya mendampingi para  anggota DPR.

"Dalam rapat di Komisi V, sekitar bulan Agustus sampai Oktober 2015, saya lihat dia mendampingi Musa. Saya tidak asing dengan wajah dia," ujar Jaelani.

Jaelani membantah keras pernyataan Musa yang mengaku tidak menerima atau tidak mengetahui uang tersebut. Sebab, penyerahan uang itu justru diatur sendiri oleh Musa. Ia bahkan meminta Jaelani untuk menghubungi stafnya yang bernama Mutakim, untuk membicarakan penyerahan uang tersebut.

Dalam surat dakwaan penuntut umum atas terdakwa Abdul Khoir, Musa disebut menjadi salah satu anggota Komisi V yang turut menerima uang suap dalam upaya memuluskan proyek pembangunan jalan di Kementerian PUPR. Ia tidak hanya mendapatkan uang dari Khoir atas dana aspirasi yang dimiliki untuk membangun jalan. Namun, Musa juga mendapatkan uang dari Aseng dengan alasan dan tujuan yang sama, yaitu mendapatkan pekerjaan proyek. Nilai total yang didapatkannya sekitar Rp15 miliar.

MUSA MEMBANTAH TUDUHAN - Dalam persidangan dengan terdakwa Abdul Khoir pada Senin kemarin, Musa yang dihadirkan penuntut umum KPK sebagai saksi terus membantah dirinya menerima aliran dana tersebut. Bahkan Musa mengaku tidak mengenal sosok yang bernama Jaelani.

Musa juga berdalih bahwa dirinya tidak ikut dalam kunjungan kerja ke Maluku. Kunjungan inilah yang menjadi titik awal terjadinya proses suap menyuap antara para pengusaha dan juga anggota dewan dalam proyek pembangunan jalan di Kementerian PUPR.

"Tidak ikut kunjungan kerja ke Maluku, tiap fraksi dibagi, saya tidak ditugaskan ke sana. Tidak tahu karena begitu sudah diatur, saya kalau enggak salah ke Sumatera tapi lupa di mana," tutur Musa.

Musa memang awalnya mengakui bahwa dirinya pernah bertemu dengan Khoir di kawasan Blok M, Jakarta Selatan. Namun ia berdalih bahwa dalam pertemuan tersebut dibicarakan mengenai proyek jalan yang berasal dari dana aspirasi.

Pertemuan itu pun berlangsung beberapa kali dan diakui oleh Musa. Namun lagi-lagi ia membantah bahwa ada pembicaraan mengenai proyek-proyek di Maluku. Dan dalam pertemuan, ia mengaku hanya memenuhi undangan Amran Mustary, Kepala Balai Pembangunan Jalan Nasional IX.

Dan yang lebih menarik yaitu pengakuan Musa bahwa dirinya memang pernah dimintai pekerjaan oleh Khoir, namun ia mengaku menolaknya. Alasan yang diutarakan karena hal itu tidak sesuai dengan tugas pokok dan fungsi (tupoksinya) selaku anggota DPR RI Komisi V.

"Pernah (Khoir minta kerjaan) tapi terus terang dalam catatan tapi saya jelaskan saya sebagai anggota DPR tupoksinya hanya punya kemampuan mengusulkan dan disetujui atau tidak itu kewenangan kementerian, dan sesuai UU MD3 lebih ke daerah pemilihan dan dapil saya Lampung bukan Maluku saya jelaskan ke beliau seperti itu," kata Musa.

Bantahan Musa itu sempat membuat Hakim Faisal Henry yang memimpin sidang tersebut kesal. Dia pun menegur Musa yang kerap menjawab ´enggak kenal´ dan ´enggak ada´.

Faisal menyebut Musa bisa saja bernasib sama dengan Andi Taufan Tiro yang kerap membantah di muka persidangan namun kemudian ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK.

"Ada enggak, pembicaraan supaya melaksanakan proyek saudara?" tanya Faisal menanggapi pertemuan antara Musa dengan Abdul di kawasan Blok M, Jakarta Selatan.

"Enggak ada," jawab Musa.

"Enggak ada enggak ada, nanti kayak Andi Taufan Tiro, enggak ada enggak ada juga di sini. Tapi lama-lama besoknya jadi tersangka," sindir Faisal.

"Di sini bukan mencari kesalahan saudara, tapi mengumpulkan fakta. Kecuali saudara tertawa di sini, kami cari kesalahannya. Saudara kenal Jailani?" imbuhnya.

"Enggak kenal," jawab Musa.

"Percuma saya tanya selanjutnya kalau saudara enggak kenal Jaelani," ujar Faisal.

PUNYA PROYEK SENDIRI - Nama Musa sendiri sebenarnya sudah masuk "radar" KPK sebagai salah satu anggota Komisi V yang terindikasi menerima suap dalam proyek di Kementerian PUPR ini. Dalam dakwaan Abdul Khoir yang dibacakan jaksa KPK pada 4 April 2016, Musa disebut menerima pengalihan program aspirasi M Toha sebesar kira-kira Rp250 miliar.

Selain itu Musa juga punya proyek aspirasi sendiri yang nilainya sekitar Rp104,7 miliar yang disetujui dikerjakan oleh Abdul Khoir dan So Kok Seng alias Aseng dengan komitmen fee 8 persen dari nilai proyek atau sejumlah Rp8 miliar.

Proyek Musa tersebut terdiri dari proyek pembangunan jalan Piru-Waisala senilai Rp50,44 miliar yang dikerjakan Abdul Khoir, dan proyek jalan Taniwel-Saleman Rp54,32 miliar yang dikerjakan Aseng.

Abdul Khoir menyerahkan fee untuk Musa melalui Jailani dalam 3 tahap. Pertama sebesar Rp2,8 miliar dan Sin$103.780, kedua Rp2 miliar dan Sin$103.509, dan ketiga sebesar Sin$121.088 atau setara Rp1,2 miliar.

Jailani lalu menyerahkan Rp3,8 miliar dan Sin$328.377 kepada Musa melalui orang yang telah ditunjuk Musa di Kompleks Perumahan DPR pada 28 Desember 2015. Sementara Rp1 miliar digunakan Jailani dan Henock Setiawan alias Rino masing-masing Rp500 juta. (dtc)

BACA JUGA: